Wednesday, 26 February 2014

The Capital City Survivors

Ibukota. Tempat yang jadi surga buat banyak orang. Kenapa surga? Jelas. Banyak yang menggantungkan hidup dengan mengadu nasib di ibukota. Segala lapisan masyarakat terlihat jelas mengambil langkah yang sama. Meninggalkan tanah kelahiran demi mengejar mimpi atau sekedar mencari penghidupan di ibukota. Mulai dari yang sekedar bermodal nekat dan sanak-famili, tanpa bekal yang mumpuni. Sampai kalangan intelektual yang mengisi pos-pos strategis di jajaran elit ibukota. Motifnya kurang lebih sama; rupiah. Bahkan banyak yang percaya bahwa apapun gawe-annya, bisa jadi duit di ibukota. Beda dengan di daerah, apalagi pelosok. Banyak yang merasa bahwa hidup di daerah tidak akan sesejahtera di ibukota. Atau setidaknya itulah yang akan terpikir oleh orang orientasi kesejahteraannya cuma rupiah semata. Bener gak?

Secara bersamaan, ibukota seolah jadi neraka buat sejumlah orang. Kok bisa? Mungkin udah banyak yang bisa bayangin gimana rasanya bertahan hidup di ibukota. Meskipun katanya banyak peluang mata pencaharian di sana, pertumbuhan dan pembangunan kotanya sangat progresif, pasti terhindar dari segala keprimitifan hidup. Tapi, semua itu diiringi konsekuensi yang mungkin gak semua orang bisa menerima dengan penerimaan yang sama.

Seorang pegawai kantoran di perusahaan terkemuka di ibukota. Masuk kerja selama 5 hari dalam seminggu. Jam kantor terhitung mulai jam 8.30-16.00. Berangkat dari rumah jam 6 pagi, sampai rumah lagi jam 8 malam. Tentunya dengan suguhan suasana jalanan ibukota yang hiruk-pikuk alias ruwet-semrawut tiap berangkat dan pulang. Belum lagi polusi udara dan radikal bebas yang meyelimuti badan. Ditambah antrian super panjang, desak-desakan di kendaraan umum, plus bayang-bayang takut telat masuk kantor yang menghantui di sepanjang jalan. Jangan kira perjalanan berangkat-pulang kantornya itu sebentar. Jarak yang dekat aja, bisa jadi menghabiskan waktu bahkan umur orangnya sekaligus, makanya jadi tua di jalan. Itulah salah satu keluar-biasaan ibukota. Di kantor, pekerjaan numpuk dan harus selesai tepat waktu. Demi performa kerja yang optimal, fokus ke pekerjaan tentu jadi prioritas utama. Nyaris lupa gimana caranya menghabiskan waktu luang, karena waktu luangnya pun hampir gak ada. 

Pasti terbayang, kan? Efek samping minimal dari rutinitas hidup seperti itu adalah rasa capek yang ekstra berlebihan. Belum lagi bosan dan stres yang bisa jadi sumber penyakit juga kalau tidak bisa ditangani dengan baik. Belum lagi persaingan hidup yang harus dimenangkan baik dengan sesama survivor maupun dengan kehidupan itu sendiri. Memang butuh ketangguhan dan keberanian untuk hidup di ibukota.

Survivors di ibukota. Mereka yang bisa jadi hidupnya hanya sebatas bilik kamar, jalan raya, dan bilik kantor saja. Tak sempat mengetahui apalagi menikmati bukti kebesaran Allah yang tidak ada bandingnya di luar sana. Bahwa ada gunung-gunung tinggi nan alami yang lebih menantang untuk didaki daripada gedung-gedung pencakar langit di penjuru kota. Bahwa ada banyak lautan lepas pantai nan eksotis yang lebih nyaman untuk diarungi daripada genangan luapan air sungai kecoklatan saat musim hujan. Bahwa terdapat beragam sajian berbudaya khas tanah air yang lebih berharga untuk dinikmati daripada tontonan di media sekarang ini.

Ya, sayangnya semua keindahan itu tidak akan ditemukan di ibukota. Tidak akan tersedia bagi mereka yang terpenjara maupun memenjarakan dirinya di ibukota. Sayang sekali.

Siapa berani datang ke ibukota? Dia harus berani untuk tidak menyesali dan menangisi apa yang ditinggalkannya di kampung halaman. Merelakan diri dan menyerahkan kemerdekaannya pada kehidupan yang begitu tega. Atau memilih untuk mencari alternatif peluang kehidupan yang lainnya di kota-kota lain dengan keunggulan dan keistimewaan masing-masing. Berikhtiar dengan penuh keikhlasan untuk menjadikan rumah kehidupan tempat bertahan hidup di manapun itu, selayaknya surga yang membahagiakan.

Images taken from:
Google Image

No comments:

Post a Comment