Ibukota. Tempat yang
jadi surga buat banyak orang. Kenapa surga? Jelas. Banyak yang menggantungkan
hidup dengan mengadu nasib di ibukota. Segala lapisan masyarakat terlihat jelas
mengambil langkah yang sama. Meninggalkan tanah kelahiran demi mengejar mimpi
atau sekedar mencari penghidupan di ibukota. Mulai dari yang sekedar bermodal
nekat dan sanak-famili, tanpa bekal yang mumpuni. Sampai kalangan intelektual
yang mengisi pos-pos strategis di jajaran elit ibukota. Motifnya kurang lebih
sama; rupiah. Bahkan banyak yang percaya bahwa apapun gawe-annya, bisa jadi duit di
ibukota. Beda dengan di daerah, apalagi pelosok. Banyak yang merasa bahwa hidup
di daerah tidak akan sesejahtera di ibukota. Atau setidaknya itulah yang akan
terpikir oleh orang orientasi kesejahteraannya cuma rupiah semata. Bener gak?
Secara bersamaan,
ibukota seolah jadi neraka buat sejumlah orang. Kok
bisa? Mungkin udah banyak yang
bisa bayangin gimana rasanya bertahan
hidup di ibukota. Meskipun katanya banyak peluang mata pencaharian di sana,
pertumbuhan dan pembangunan kotanya sangat progresif, pasti terhindar dari
segala keprimitifan hidup. Tapi, semua itu diiringi konsekuensi yang mungkin gak semua orang bisa menerima dengan
penerimaan yang sama.
Seorang pegawai kantoran di perusahaan terkemuka di ibukota.
Masuk kerja selama 5 hari dalam seminggu. Jam kantor terhitung mulai jam
8.30-16.00. Berangkat dari rumah jam 6 pagi, sampai rumah lagi jam 8 malam.
Tentunya dengan suguhan suasana jalanan ibukota yang hiruk-pikuk alias ruwet-semrawut tiap berangkat dan pulang.
Belum lagi polusi udara dan radikal bebas yang meyelimuti badan. Ditambah
antrian super panjang, desak-desakan di kendaraan umum, plus bayang-bayang takut telat masuk kantor yang menghantui di
sepanjang jalan. Jangan kira perjalanan berangkat-pulang kantornya itu
sebentar. Jarak yang dekat aja, bisa
jadi menghabiskan waktu bahkan umur orangnya sekaligus, makanya jadi tua di
jalan. Itulah salah satu keluar-biasaan ibukota. Di kantor, pekerjaan numpuk dan harus selesai tepat waktu. Demi
performa kerja yang optimal, fokus ke pekerjaan tentu jadi prioritas utama.
Nyaris lupa gimana caranya menghabiskan
waktu luang, karena waktu luangnya pun hampir gak
ada.
Pasti terbayang,
kan? Efek samping minimal dari rutinitas hidup seperti itu adalah rasa capek
yang ekstra berlebihan. Belum lagi bosan dan stres yang bisa jadi sumber
penyakit juga kalau tidak bisa ditangani dengan baik. Belum lagi persaingan
hidup yang harus dimenangkan baik dengan sesama survivor
maupun dengan kehidupan itu sendiri. Memang butuh ketangguhan dan
keberanian untuk hidup di ibukota.
Survivors di ibukota. Mereka yang bisa jadi
hidupnya hanya sebatas bilik kamar, jalan raya, dan bilik kantor saja. Tak
sempat mengetahui apalagi menikmati bukti kebesaran Allah yang tidak ada
bandingnya di luar sana. Bahwa ada gunung-gunung tinggi nan alami yang lebih
menantang untuk didaki daripada gedung-gedung pencakar langit di penjuru kota.
Bahwa ada banyak lautan lepas pantai nan eksotis yang lebih nyaman untuk
diarungi daripada genangan luapan air sungai kecoklatan saat musim hujan. Bahwa
terdapat beragam sajian berbudaya khas tanah air yang lebih berharga untuk
dinikmati daripada tontonan di media sekarang ini.
Ya, sayangnya semua
keindahan itu tidak akan ditemukan di ibukota. Tidak akan tersedia bagi mereka
yang terpenjara maupun memenjarakan dirinya di ibukota. Sayang sekali.
Siapa berani datang
ke ibukota? Dia harus berani untuk tidak menyesali dan menangisi apa yang
ditinggalkannya di kampung halaman. Merelakan diri dan menyerahkan
kemerdekaannya pada kehidupan yang begitu tega. Atau memilih untuk mencari
alternatif peluang kehidupan yang lainnya di kota-kota lain dengan keunggulan
dan keistimewaan masing-masing. Berikhtiar dengan penuh keikhlasan untuk
menjadikan rumah kehidupan tempat bertahan hidup di manapun itu, selayaknya surga yang membahagiakan.
Images taken from:
Google Image
Images taken from:
Google Image
No comments:
Post a Comment