Saturday, 13 April 2013

Sebuah Kisah di Negeri para Penulis #3

(cont.)

Kekhawatiran ayahku terbukti benar. Padang Karya yang kini hanya berupa tanah kosong tak berkehidupan, tak mampu lagi menyediakan sumber penghidupan bagi seluruh penduduk di negeri ini. Bahan pangan yang semula dicadangkan oleh para penduduk di pondok mereka masing-masing, telah mencapai batas penghabisan. Sumber mata air yang telah lama mengering kian menyiksa kerongkongan-kerongkongan dahaga di negeri ini. Hujan yang menjadi pengharapan terakhir pun tak kunjung sudi menjatuhkan bulirnya.

Berbulan berlalu, keadaan pemukiman kian menyedihkan. Ribuan keluarga menderita. Bayi-bayi menangis kelaparan. Orang-orang renta pun satu per satu tak sanggup bertahan. Keberlangsungan hidup di negeri ini, kini bak berada di tepian jurang. Satu-satunya jalan untuk keluar dari permasalahan ini ialah menghidupkan kembali Padang Karya. Melanjutkan tradisi ‘Tutur Karya’ seperti biasanya. Namun malangnya, tradisi itu kini bagai mustahil ditunaikan kembali.

Semenjak kematian pohon Pena akibat bencana yang datang melanda hari itu, kekuatan yang melingkupi negeri ini serasa musnah seketika. Tak hanya terputusnya generasi para penulis akibat pena yang tak lagi mampu dibuahkan oleh pohon itu. Namun lebih buruk dari itu, ribuan penulis di negeri ini mendadak kehilangan kemahiran menulisnya. Pena-pena mereka kini tak ubahnya seruas bambu lapuk. Tak berguna, tak berdaya. Pikiran mereka yang dulu dibanjiri gagasan-gagasan menarik untuk dituliskan, kini bagaikan halaman kosong tak bertuan.

Sampai sekarang, belum ada satu pun karya baru tercipta dari ribuan penulis di negeri ini. Sebuah hambatan bagi berlangsungnya tradisi ‘Tutur Karya’. Pernah suatu malam para tetua memutuskan menggelar prosesi ‘Tutur Karya’ di Padang Karya. Meskipun terpaksa hanya dengan menggunakan tulisan-tulisan lama yang dulu sudah pernah dibacakan. Namun, kiat itu tak berhasil pula. Padang Karya tetap tak kunjung ditumbuhi berbagai sumber penghidupan yang sudah amat sangat dibutuhkan oleh penduduk negeri ini. Keadaan ini sungguh kian memilukan bagiku.

“Kawan, bisakah kita berbuat sesuatu? Negeri ini akan punah jika keadaan seperti ini berlangsung lebih lama lagi.” ujarku pada Aryan, Panca, dan Hasta yang kini tengah duduk berjajar di sampingku. Kali ini kami tengah berada di batu tertinggi di bukit Adnin, tempat kami biasa berkumpul. Bedanya kini kami tidak datang kemari untuk bermain bergembira seperti dulu. Kami hanya ke sini untuk sedikit berbagi kesah, sambil menahan lapar bersama.

“Entahlah, Suta. Para tetua saja tak tahu jalan keluarnya, apalagi kita yang tak tahu apa-apa ini.” keluh Aryan yang biasanya serba tahu.

“Ah, aku rindu sekali kentang tumbuk buatan ibuku.” kesah Panca yang kini terbaring lemas sambil mengusap-usap perutnya.

Tulisan itu. Sejenak ku membenak. “Tulisan! Tidakkah kalian berpikiran sama denganku?” sontakku sedikit memekik ke arah ketiga kawanku itu.

“Apa maksudmu, Suta?” tanya Hasta yang sejak tadi tak tampak raut senang di wajahnya.

“Menulis. Kita hanya perlu menulis, Kawan. Menghasilkan karya seperti yang dilakukan oleh penduduk negeri ini dulu.” sahutku mencoba meyakinkan mereka.

“Ah! Jangan bermimpi, Kawan! Bagaimana pula kita yang tak berpengalaman ini bisa menulis seperti pendahulu-pendahulu kita? Memegang pena sendiri saja kita tak pernah sempat. Kau juga tahu itu, bukan?” gerutu Hasta putus asa.

“Betul, Suta. Aku sendiri merasa iba pada ibuku. Setiap malam kulihat beliau duduk di dipan tempatnya biasa menulis. Ibuku tampak memaksakan diri untuk menggoreskan penanya. Sepanjang malam berusaha keras sampai menangis tersedu. Tapi tak satu pun tulisan berhasil diciptakannya. Semakin hilang saja harapanku jika begini keadaannya.” imbuh Panca yang kini tampak mengusap wajahnya.

Aryan yang sejak tadi terdiam mendengarkan pun angkat suara, “Aku sudah berusaha mencari tahu bagaimana cara menulis dari para tetua. Tapi, nihil hasilnya, Suta. Mereka berkata bahwa pohon Pena sudah mati, sehingga kemahiran para penulis di negeri ini pun ikut mati karenanya. Menurut mereka, pohon bertuah itu merupakan sumber inspirasi bagi para penulis di negeri ini. Tak ada lagi pohon Pena, maka tak ada lagi karya dari para penulis.”

Mendengar penjelasan itu, rasanya aku tak bisa tinggal diam, “Ah! Kenapa harus seperti itu? Lalu kita akan menyerah begitu saja dengan keadaan seperti ini, hah? Hanya bisa menyaksikan satu per satu penduduk negeri ini meregang nyawa, bahkan hingga nanti giliran kita tiba? Mati dalam keadaan kelaparan seperti ini? Menyedihkan sekali, Kawan. Apa kita ini hanya kawanan pecundang, hah?”

“Kau itu yang pecundang! Hei, Suta! Buka matamu lebar-lebar! Kalau para tetua saja tidak bisa menulis lagi, bagaimana kita bisa menulis? Bahkan tak ada satu orang pun yang bisa mengajari kita. Menulis adalah tuah dari pohon Pena mandraguna yang kini telah mati itu. Sadarlah, Suta! Kita tak punya kesempatan lagi untuk bisa menulis. Kecuali kau bisa menghidupkan kembali pohon Pena yang telah menjadi onggokan kayu tak berguna itu.” hardik Hasta yang telah berdiri menuding-nudingkan telunjuknya ke arahku. Panca yang terkejut, sontak bangkit dari merebah lalu menghalau Hasta yang mulai naik pitam.

Aku pun tersulut, “Pemikiran macam apa itu, hah? Dulu aku memang begitu mengagumi pohon Pena. Aku percaya pohon itu lah yang akan mampu mewujudkan mimpiku menjadi seorang penulis. Tapi pohon itu sekarang memang hanya seonggok kayu tak berguna, persis seperti katamu barusan. Lalu kenapa sampai sekarang kita masih menggantungkan semuanya pada pohon yang telah mati itu? Bukankah itu di luar akal sehat? Bodoh sekali jika kita berpikir seperti itu!”

“Hei, hei, kalian ini sedang apa? Sudahlah, kalian tak perlu bertengkar.” ujar Aryan berusaha menengahi. Panca sendiri masih tampak menghalau tubuhku dan Hasta.

Hasta masih berang, tak diindahkannya ucapan Aryan barusan. “Hah! Kalau memang begitu, buktikan saja kata-katamu, Suta! Jangan hanya pandai berbicara! Itu baru pecundang namanya!”

“Baiklah! Aku akan membuktikannya! Lihat saja nanti! Aku akan menciptakan tulisan-tulisan terbaik meskipun pohon Pena sudah mati!” kalimat sumpah bercampur amarah itu menjadi penutup sengketa kami senja itu. Kutinggalkan segera ketiga kawanku itu di sana. Entah, aku tak tahu ke mana aku akan pergi. Tapi aku yakin. Aku akan bisa memenuhi sumpahku.
***
Malam ini begitu pekat. Gelap. Dinginnya begitu menusuk tubuhku yang kini hanya tinggal kulit membalut tulang. Lapar itu tak perlu dipertanyakan lagi. Sudah empat hari perutku tak terganjal sesuatu pun. Aku telah bertekad tak akan kembali sebelum sumpahku terpenuhi. Ya, aku akan terus mencari. Menemukan bagaimana cara melakukannya, menulis. Menciptakan karya-karya indah yang akan mampu menghidupkan negeriku kembali.

Ke mana lagi aku harus pergi? Hatiku terus bertanya sendiri. Tak tahu siapa yang akan menjawabnya. Tubuhku kian diserang kelemahan yang makin menjadi-jadi. Kelemahan yang tidak hanya menyerang jasmaniku, tapi juga mulai meruntuhkan keyakinanku. Tekadku mulai terkikis. Sejauh apapun aku berjalan, tak kunjung kutemukan apa yang kucari. Kecewa itu mulai menyerbu. Rasa putus asa perlahan menjangkitiku. Apa lagi yang harus kulakukan? Lagi-lagi aku bertanya tanpa tahu siapa yang akan menjawabnya.

Habis sudah tenagaku untuk berjalan. Bahkan berdiri pun rasanya aku tak sanggup. Selama ini aku berjalan tak tentu arah, seperti berputar-putar saja. Kini, aku tak mampu berdiri lagi. Tubuhku tak hanya lapar dan dahaga. Namun aku kini bagai seorang pesakitan yang teraniaya. Hanya nyeri yang kurasakan di sekujur tubuhku hingga menusuk tulang. Tangan dan kakiku pun terasa kebas, enggan digerakkan lagi. Seketika aku hanya bisa tertelungkup selemah-lemahnya.

Kepayahan ini begitu menyiksaku. Apa aku benar-benar pecundang? Air mataku mulai berderai. Membasahi pipi tirusku yang melekat di tanah. Di tengah tangisku, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Mencoba mengenali tempat ini. Ini... kenapa aku harus terhenti di sini? Betapa terpuruknya aku ketika kusadari di mana aku sekarang. Ini Padang Karya. Tempat di mana seharusnya karya-karya terbaik dituturkan. Termasuk karya terbaikku kelak. Ya, jika memang karyaku akan sempat terlahir.

Tangisku semakin menjadi. Tak sanggup kuterima kenyataan ini. Tubuhku yang sepertinya tak mampu lagi menuruti keinginan hatiku untuk bangkit. Kuangkat sedikit wajahku, kutatap langit luas yang membentang di atas padang ini. Rembulan itu ternyata sempurna bundar malam ini. Menambah rasa sesak di dalam hatiku. Membuatku tak bisa lagi membendung keinginan itu. Satu keinginan terakhirku yang sejak dulu teramat sangat ingin kuwujudkan. Aku ingin menulis!

Dengan segenap tenagaku yang tersisa, kupaksakan tubuhku untuk bangkit duduk. Di benakku terus berkelebat bayangan-bayangan yang selalu mengusikku selama ini. Padang Karya yang subur, upacara ‘Tutur Karya’ yang begitu khidmat, pohon Pena yang amat memesona, dongeng ibu yang begitu kusukai, tulisan-tulisan indah para penulis di negeri ini, semuanya bergantian memenuhi pikiranku. Aku sudah tak sanggup menolak ini semua. Seketika kuraih benda apapun yang ada di dekatku. Aku tak tahu apa yang hendak kulakukan. Tubuhku hanya mengikuti gerakan hatiku.

Masih dalam isakan, tanganku mulai menggores-goreskan kerikil yang tadi kupungut dari tanah. Tanganku bergerak dengan sendirinya. Aku tak begitu paham kekuatan apa yang mampu menggerakkannya. Aku hanya melakukannya dan melakukannya. Tangisanku masih tetap mengiang, namun tanpa kusadari tawaku memecah di sela isakanku. Tawaku yang tiba-tiba muncul seketika setelah aku menyadari apa yang telah kulakukan. Aku menulis. Ya, aku bisa melakukannya!

Tanganku enggan berhenti menggoreskan kerikil itu di atas tanah Padang Karya yang gersang. Kutuliskan apa saja kata yang terlintas di kepalaku. Tergores di sana bauran emosi, rasa, dan segenap perasaan. Aku begitu menikmatinya. Keinginan yang selama ini kuimpikan, akhirnya berhasil kuwujudkan malam ini. Aku terus melakukan hal itu sepanjang malam, hingga pagi menjelang. Tidak hanya di satu tempat saja, melainkan hampir di seluruh permukaan Padang Karya. Hingga tubuhku pun terasa begitu berat, dan perlahan mataku mulai menggelap.
***
Siang ini seperti biasa kulangkahkan kaki menuju ke tempat itu. Satu tempat di negeri ini yang begitu bersejarah bagiku. Padang Karya. Di sanalah bertahun silam kulahirkan karya pertamaku. Tulisan pertama yang akhirnya kuciptakan meski tanpa pena. Peristiwa bersejarah itu tak akan mampu terhapus dari ingatanku.

Saat itu, tiba-tiba aku terbangun karena kilauan cahaya yang berkelabat di depan kelopak mataku yang tertutup. Perlahan keduanya pun terbuka. Betapa terkejutnya aku, ketika kubangkitkan tubuhku. Aku memang masih berada di sana. Di Padang Karya. Samar kuingat keberadaanku di sini semalam sebelumnya. Nyaris saja kukira apa yang kuingat itu hanya sebuah khayalan, mimpi belaka. Sebab, benar kejadian semalam memang nyata adanya.

Aku pun terperanjat ketika kusadari bahwa tempat ini telah berubah. Ya, Padang Karya telah berubah. Tanah tandus yang kugoresi dengan kerikil malam itu, kini telah dipenuhi tetumbuhan yang gemuk lagi ranum. Persis seperti Padang Karya saat sebelum bencana itu datang. Apa yang telah terjadi? Aku sendiri belum bisa memahami keadaan itu. Penduduk mulai berkerumun. Keramaian mulai terjadi. Dari kejauhan, samar kulihat beberapa orang melangkah menuju ke arahku. Sepertinya di antaranya terdapat wajah-wajah yang tak asing bagiku.

“Suta! Kau… apa yang kau lakukan di sini?” pemilik suara itu mengguncang-guncang lenganku.

“A… ayah! Aku… aku menulis. Ya, semalam aku menulis, Ayah.” jawabku terbata seraya berusaha mengingat potongan kejadian tadi malam.

“Benarkah? Bagaimana bisa, Suta? Lalu, di mana tulisan itu?” ayah melanjutkan pertanyaannya.

“Di sini, Ayah. Aku menggoreskan tulisanku di atas tanah ini. Sepertinya sekarang telah tertutup tumbuh-tumbuhan lebat ini.” tuturku sambil merentang-rentangkan tanganku di atas tanah tempatku berpijak.

Sejenak, pandangan mata ayah menelusuri sekeliling Padang Karya. “Jadi, padang ini hidup kembali berkat tulisan yang telah kau ciptakan, Suta?”

“Aku… aku juga tidak tahu, Ayah. Ketika aku bangun, tempat ini sudah jadi seperti ini.” jawabku lurus.

Ayah tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Ia segera menarikku ke dalam pelukannya. “Suta, kau memang kebanggaan ayah, Nak.”

Sejak peristiwa yang bagaikan mukjizat itu, mulai tumbuh keyakinan baru dalam diri para tetua serta seluruh penulis di negeri ini. Keyakinan yang muncul setelah mereka menyaksikan sendiri keajaiban yang terjadi padaku. Ya, aku yang belum pernah memegang pena sebelumnya. Aku yang sebelumnya tidak pernah tahu bagaimana cara menulis. Aku yang telah berhasil melahirkan tulisan pertamaku, bahkan tanpa sebatang pena pun. Tulisan yang akhirnya mampu mengembalikan kehidupan di negeri ini.

Segenap penduduk negeri ini pun kini telah percaya, bahwa untuk bisa menulis mereka hanya membutuhkan keinginan yang kuat serta keyakinan dari dalam diri mereka sendiri. Ya, seluruh penduduk di negeri ini kini meyakini hal yang sama denganku. Termasuk ketiga kawan lekatku, Panca, Aryan, dan Hasta. Bahkan, kini mereka bertiga telah bersama mendirikan pondok khusus tempat menjaga karya-karya dari seluruh penulis di negeri ini.

Kini tak satu pun penduduk di negeri ini yang tak ingin menulis. Mereka semua pun mau dan mampu menulis dengan kedua tangan mereka sendiri. Meski tidak menggunakan pena yang tumbuh dari pohon Pena, para penulis di negeri ini tetap bisa menghasilkan karya terbaiknya setiap hari. Berbagai benda alam telah menjadi alat tulis mereka. Mulai dari arang kayu, sampai dedaunan beraneka warna. Tak peduli siapapun orangnya dan berapapun usianya, semua penduduk di negeri ini kini menjadi penulis. Setiap hari, ribuan karya indah sarat makna kembali terlahir dari para penulis di negeri ini. Negeri ini pun kembali hidup, dengan tulisan-tulisan terbaik yang mewarnainya.

Sesiangan ini, sama gembiranya dengan siang hari kemarin, ku melangkah dengan ringannya menuju ke Padang Karya. Tempat di mana aku berjumpa dengan murid-murid kecilku setiap harinya. Ya, mereka lah penulis-penulis cilik di negeri ini. Bakal penulis-penulis berbakat yang selalu penuh semangat berguru padaku. Ya, para penulis di negeri ini akan selalu siap berkarya, demi mewarnai setiap sudut kehidupan di sini.

“Siap menulis, Murid-murid?”

“Siap, Paman Guru!”

(end)

No comments:

Post a Comment