(cont.)
Kekhawatiran ayahku terbukti benar. Padang Karya yang kini hanya
berupa tanah kosong tak berkehidupan, tak mampu lagi menyediakan sumber
penghidupan bagi seluruh penduduk di negeri ini. Bahan pangan yang semula
dicadangkan oleh para penduduk di pondok mereka masing-masing, telah mencapai batas
penghabisan. Sumber mata air yang telah lama mengering kian menyiksa
kerongkongan-kerongkongan dahaga di negeri ini. Hujan yang menjadi pengharapan
terakhir pun tak kunjung sudi menjatuhkan bulirnya.
Berbulan berlalu, keadaan pemukiman kian menyedihkan. Ribuan keluarga
menderita. Bayi-bayi menangis kelaparan. Orang-orang renta pun satu per satu
tak sanggup bertahan. Keberlangsungan hidup di negeri ini, kini bak berada di
tepian jurang. Satu-satunya jalan untuk keluar dari permasalahan ini ialah
menghidupkan kembali Padang Karya. Melanjutkan tradisi ‘Tutur Karya’ seperti
biasanya. Namun malangnya, tradisi itu kini bagai mustahil ditunaikan kembali.
Semenjak kematian pohon Pena akibat bencana yang datang melanda hari
itu, kekuatan yang melingkupi negeri ini serasa musnah seketika. Tak hanya
terputusnya generasi para penulis akibat pena yang tak lagi mampu dibuahkan
oleh pohon itu. Namun lebih buruk dari itu, ribuan penulis di negeri ini
mendadak kehilangan kemahiran menulisnya. Pena-pena mereka kini tak ubahnya seruas
bambu lapuk. Tak berguna, tak berdaya. Pikiran mereka yang dulu dibanjiri
gagasan-gagasan menarik untuk dituliskan, kini bagaikan halaman kosong tak
bertuan.
Sampai sekarang, belum ada satu pun karya baru tercipta dari ribuan
penulis di negeri ini. Sebuah hambatan bagi berlangsungnya tradisi ‘Tutur
Karya’. Pernah suatu malam para tetua memutuskan menggelar prosesi ‘Tutur
Karya’ di Padang Karya. Meskipun terpaksa hanya dengan menggunakan
tulisan-tulisan lama yang dulu sudah pernah dibacakan. Namun, kiat itu tak
berhasil pula. Padang Karya tetap tak kunjung ditumbuhi berbagai sumber
penghidupan yang sudah amat sangat dibutuhkan oleh penduduk negeri ini. Keadaan
ini sungguh kian memilukan bagiku.
“Kawan, bisakah kita berbuat sesuatu? Negeri ini akan punah jika
keadaan seperti ini berlangsung lebih lama lagi.” ujarku pada Aryan, Panca, dan
Hasta yang kini tengah duduk berjajar di sampingku. Kali ini kami tengah berada
di batu tertinggi di bukit Adnin, tempat kami biasa berkumpul. Bedanya kini kami
tidak datang kemari untuk bermain bergembira seperti dulu. Kami hanya ke sini
untuk sedikit berbagi kesah, sambil menahan lapar bersama.
“Entahlah, Suta. Para tetua saja tak tahu jalan keluarnya, apalagi
kita yang tak tahu apa-apa ini.” keluh Aryan yang biasanya serba tahu.
“Ah, aku rindu sekali kentang tumbuk buatan ibuku.” kesah Panca yang
kini terbaring lemas sambil mengusap-usap perutnya.
Tulisan itu. Sejenak ku
membenak. “Tulisan! Tidakkah kalian berpikiran sama denganku?” sontakku sedikit
memekik ke arah ketiga kawanku itu.
“Apa maksudmu, Suta?” tanya Hasta yang sejak tadi tak tampak raut
senang di wajahnya.
“Menulis. Kita hanya perlu menulis, Kawan. Menghasilkan karya seperti
yang dilakukan oleh penduduk negeri ini dulu.” sahutku mencoba meyakinkan
mereka.
“Ah! Jangan bermimpi, Kawan! Bagaimana pula kita yang tak
berpengalaman ini bisa menulis seperti pendahulu-pendahulu kita? Memegang pena
sendiri saja kita tak pernah sempat. Kau juga tahu itu, bukan?” gerutu Hasta
putus asa.
“Betul, Suta. Aku sendiri merasa iba pada ibuku. Setiap malam kulihat
beliau duduk di dipan tempatnya biasa menulis. Ibuku tampak memaksakan diri
untuk menggoreskan penanya. Sepanjang malam berusaha keras sampai menangis
tersedu. Tapi tak satu pun tulisan berhasil diciptakannya. Semakin hilang saja
harapanku jika begini keadaannya.” imbuh Panca yang kini tampak mengusap
wajahnya.
Aryan yang sejak tadi terdiam mendengarkan pun angkat suara, “Aku
sudah berusaha mencari tahu bagaimana cara menulis dari para tetua. Tapi, nihil
hasilnya, Suta. Mereka berkata bahwa pohon Pena sudah mati, sehingga kemahiran
para penulis di negeri ini pun ikut mati karenanya. Menurut mereka, pohon
bertuah itu merupakan sumber inspirasi bagi para penulis di negeri ini. Tak ada
lagi pohon Pena, maka tak ada lagi karya dari para penulis.”
Mendengar penjelasan itu, rasanya aku tak bisa tinggal diam, “Ah!
Kenapa harus seperti itu? Lalu kita akan menyerah begitu saja dengan keadaan
seperti ini, hah? Hanya bisa menyaksikan satu per satu penduduk negeri ini
meregang nyawa, bahkan hingga nanti giliran kita tiba? Mati dalam keadaan
kelaparan seperti ini? Menyedihkan sekali, Kawan. Apa kita ini hanya kawanan
pecundang, hah?”
“Kau itu yang pecundang! Hei, Suta! Buka matamu lebar-lebar! Kalau
para tetua saja tidak bisa menulis lagi, bagaimana kita bisa menulis? Bahkan
tak ada satu orang pun yang bisa mengajari kita. Menulis adalah tuah dari pohon
Pena mandraguna yang kini telah mati itu. Sadarlah, Suta! Kita tak punya
kesempatan lagi untuk bisa menulis. Kecuali kau bisa menghidupkan kembali pohon
Pena yang telah menjadi onggokan kayu tak berguna itu.” hardik Hasta yang telah
berdiri menuding-nudingkan telunjuknya ke arahku. Panca yang terkejut, sontak
bangkit dari merebah lalu menghalau Hasta yang mulai naik pitam.
Aku pun tersulut, “Pemikiran macam apa itu, hah? Dulu aku memang
begitu mengagumi pohon Pena. Aku percaya pohon itu lah yang akan mampu
mewujudkan mimpiku menjadi seorang penulis. Tapi pohon itu sekarang memang
hanya seonggok kayu tak berguna, persis seperti katamu barusan. Lalu kenapa
sampai sekarang kita masih menggantungkan semuanya pada pohon yang telah mati
itu? Bukankah itu di luar akal sehat? Bodoh sekali jika kita berpikir seperti
itu!”
“Hei, hei, kalian ini sedang apa? Sudahlah, kalian tak perlu
bertengkar.” ujar Aryan berusaha menengahi. Panca sendiri masih tampak
menghalau tubuhku dan Hasta.
Hasta masih berang, tak diindahkannya ucapan Aryan barusan. “Hah!
Kalau memang begitu, buktikan saja kata-katamu, Suta! Jangan hanya pandai
berbicara! Itu baru pecundang namanya!”
“Baiklah! Aku akan membuktikannya! Lihat saja nanti! Aku akan
menciptakan tulisan-tulisan terbaik meskipun pohon Pena sudah mati!” kalimat sumpah
bercampur amarah itu menjadi penutup sengketa kami senja itu. Kutinggalkan
segera ketiga kawanku itu di sana. Entah, aku tak tahu ke mana aku akan pergi. Tapi
aku yakin. Aku akan bisa memenuhi sumpahku.
***
Malam ini begitu pekat. Gelap. Dinginnya begitu menusuk tubuhku yang
kini hanya tinggal kulit membalut tulang. Lapar itu tak perlu dipertanyakan
lagi. Sudah empat hari perutku tak terganjal sesuatu pun. Aku telah bertekad
tak akan kembali sebelum sumpahku terpenuhi. Ya, aku akan terus mencari.
Menemukan bagaimana cara melakukannya, menulis. Menciptakan karya-karya indah
yang akan mampu menghidupkan negeriku kembali.
Ke mana lagi aku harus pergi? Hatiku
terus bertanya sendiri. Tak tahu siapa yang akan menjawabnya. Tubuhku kian
diserang kelemahan yang makin menjadi-jadi. Kelemahan yang tidak hanya
menyerang jasmaniku, tapi juga mulai meruntuhkan keyakinanku. Tekadku mulai
terkikis. Sejauh apapun aku berjalan, tak kunjung kutemukan apa yang kucari.
Kecewa itu mulai menyerbu. Rasa putus asa perlahan menjangkitiku. Apa lagi yang harus kulakukan? Lagi-lagi
aku bertanya tanpa tahu siapa yang akan menjawabnya.
Habis sudah tenagaku untuk berjalan. Bahkan berdiri pun rasanya aku
tak sanggup. Selama ini aku berjalan tak tentu arah, seperti berputar-putar
saja. Kini, aku tak mampu berdiri lagi. Tubuhku tak hanya lapar dan dahaga. Namun
aku kini bagai seorang pesakitan yang teraniaya. Hanya nyeri yang kurasakan di
sekujur tubuhku hingga menusuk tulang. Tangan dan kakiku pun terasa kebas,
enggan digerakkan lagi. Seketika aku hanya bisa tertelungkup selemah-lemahnya.
Kepayahan ini begitu menyiksaku. Apa
aku benar-benar pecundang? Air mataku mulai berderai. Membasahi pipi
tirusku yang melekat di tanah. Di tengah tangisku, kuedarkan pandangan ke
sekeliling. Mencoba mengenali tempat ini. Ini...
kenapa aku harus terhenti di sini? Betapa terpuruknya aku ketika kusadari
di mana aku sekarang. Ini Padang Karya. Tempat di mana seharusnya karya-karya
terbaik dituturkan. Termasuk karya terbaikku kelak. Ya, jika memang karyaku
akan sempat terlahir.
Tangisku semakin menjadi. Tak sanggup kuterima kenyataan ini. Tubuhku
yang sepertinya tak mampu lagi menuruti keinginan hatiku untuk bangkit. Kuangkat
sedikit wajahku, kutatap langit luas yang membentang di atas padang ini.
Rembulan itu ternyata sempurna bundar malam ini. Menambah rasa sesak di dalam
hatiku. Membuatku tak bisa lagi membendung keinginan itu. Satu keinginan
terakhirku yang sejak dulu teramat sangat ingin kuwujudkan. Aku ingin menulis!
Dengan segenap tenagaku yang tersisa, kupaksakan tubuhku untuk bangkit
duduk. Di benakku terus berkelebat bayangan-bayangan yang selalu mengusikku
selama ini. Padang Karya yang subur, upacara ‘Tutur Karya’ yang begitu khidmat,
pohon Pena yang amat memesona, dongeng ibu yang begitu kusukai, tulisan-tulisan
indah para penulis di negeri ini, semuanya bergantian memenuhi pikiranku. Aku
sudah tak sanggup menolak ini semua. Seketika kuraih benda apapun yang ada di
dekatku. Aku tak tahu apa yang hendak kulakukan. Tubuhku hanya mengikuti
gerakan hatiku.
Masih dalam isakan, tanganku mulai menggores-goreskan kerikil yang
tadi kupungut dari tanah. Tanganku bergerak dengan sendirinya. Aku tak begitu
paham kekuatan apa yang mampu menggerakkannya. Aku hanya melakukannya dan
melakukannya. Tangisanku masih tetap mengiang, namun tanpa kusadari tawaku
memecah di sela isakanku. Tawaku yang tiba-tiba muncul seketika setelah aku
menyadari apa yang telah kulakukan. Aku
menulis. Ya, aku bisa melakukannya!
Tanganku enggan berhenti menggoreskan kerikil itu di atas tanah Padang
Karya yang gersang. Kutuliskan apa saja kata yang terlintas di kepalaku. Tergores
di sana bauran emosi, rasa, dan segenap perasaan. Aku begitu menikmatinya.
Keinginan yang selama ini kuimpikan, akhirnya berhasil kuwujudkan malam ini. Aku
terus melakukan hal itu sepanjang malam, hingga pagi menjelang. Tidak hanya di
satu tempat saja, melainkan hampir di seluruh permukaan Padang Karya. Hingga
tubuhku pun terasa begitu berat, dan perlahan mataku mulai menggelap.
***
Siang ini seperti biasa kulangkahkan kaki menuju ke tempat itu. Satu tempat
di negeri ini yang begitu bersejarah bagiku. Padang Karya. Di sanalah bertahun
silam kulahirkan karya pertamaku. Tulisan pertama yang akhirnya kuciptakan
meski tanpa pena. Peristiwa bersejarah itu tak akan mampu terhapus dari
ingatanku.
Saat itu, tiba-tiba aku terbangun karena kilauan cahaya yang berkelabat
di depan kelopak mataku yang tertutup. Perlahan keduanya pun terbuka. Betapa
terkejutnya aku, ketika kubangkitkan tubuhku. Aku memang masih berada di sana.
Di Padang Karya. Samar kuingat keberadaanku di sini semalam sebelumnya. Nyaris
saja kukira apa yang kuingat itu hanya sebuah khayalan, mimpi belaka. Sebab,
benar kejadian semalam memang nyata adanya.
Aku pun terperanjat ketika kusadari bahwa tempat ini telah berubah.
Ya, Padang Karya telah berubah. Tanah tandus yang kugoresi dengan kerikil malam
itu, kini telah dipenuhi tetumbuhan yang gemuk lagi ranum. Persis seperti
Padang Karya saat sebelum bencana itu datang. Apa yang telah terjadi? Aku sendiri belum bisa memahami keadaan
itu. Penduduk mulai berkerumun. Keramaian mulai terjadi. Dari kejauhan, samar
kulihat beberapa orang melangkah menuju ke arahku. Sepertinya di antaranya
terdapat wajah-wajah yang tak asing bagiku.
“Suta! Kau… apa yang kau lakukan di sini?” pemilik suara itu
mengguncang-guncang lenganku.
“A… ayah! Aku… aku menulis. Ya, semalam aku menulis, Ayah.” jawabku
terbata seraya berusaha mengingat potongan kejadian tadi malam.
“Benarkah? Bagaimana bisa, Suta? Lalu, di mana tulisan itu?” ayah
melanjutkan pertanyaannya.
“Di sini, Ayah. Aku menggoreskan tulisanku di atas tanah ini.
Sepertinya sekarang telah tertutup tumbuh-tumbuhan lebat ini.” tuturku sambil
merentang-rentangkan tanganku di atas tanah tempatku berpijak.
Sejenak, pandangan mata ayah menelusuri sekeliling Padang Karya.
“Jadi, padang ini hidup kembali berkat tulisan yang telah kau ciptakan, Suta?”
“Aku… aku juga tidak tahu, Ayah. Ketika aku bangun, tempat ini sudah
jadi seperti ini.” jawabku lurus.
Ayah tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Ia segera menarikku ke dalam
pelukannya. “Suta, kau memang kebanggaan ayah, Nak.”
Sejak peristiwa yang bagaikan mukjizat itu, mulai tumbuh keyakinan
baru dalam diri para tetua serta seluruh penulis di negeri ini. Keyakinan yang
muncul setelah mereka menyaksikan sendiri keajaiban yang terjadi padaku. Ya,
aku yang belum pernah memegang pena sebelumnya. Aku yang sebelumnya tidak
pernah tahu bagaimana cara menulis. Aku yang telah berhasil melahirkan tulisan
pertamaku, bahkan tanpa sebatang pena pun. Tulisan yang akhirnya mampu
mengembalikan kehidupan di negeri ini.
Segenap penduduk negeri ini pun kini telah percaya, bahwa untuk bisa
menulis mereka hanya membutuhkan keinginan yang kuat serta keyakinan dari dalam
diri mereka sendiri. Ya, seluruh penduduk di negeri ini kini meyakini hal yang
sama denganku. Termasuk ketiga kawan lekatku, Panca, Aryan, dan Hasta. Bahkan,
kini mereka bertiga telah bersama mendirikan pondok khusus tempat menjaga
karya-karya dari seluruh penulis di negeri ini.
Kini tak satu pun penduduk di negeri ini yang tak ingin menulis. Mereka
semua pun mau dan mampu menulis dengan kedua tangan mereka sendiri. Meski tidak
menggunakan pena yang tumbuh dari pohon Pena, para penulis di negeri ini tetap
bisa menghasilkan karya terbaiknya setiap hari. Berbagai benda alam telah
menjadi alat tulis mereka. Mulai dari arang kayu, sampai dedaunan beraneka warna.
Tak peduli siapapun orangnya dan berapapun usianya, semua penduduk di negeri
ini kini menjadi penulis. Setiap hari, ribuan karya indah sarat makna kembali
terlahir dari para penulis di negeri ini. Negeri ini pun kembali hidup, dengan
tulisan-tulisan terbaik yang mewarnainya.
Sesiangan ini, sama gembiranya dengan siang hari kemarin, ku melangkah
dengan ringannya menuju ke Padang Karya. Tempat di mana aku berjumpa dengan
murid-murid kecilku setiap harinya. Ya, mereka lah penulis-penulis cilik di
negeri ini. Bakal penulis-penulis berbakat yang selalu penuh semangat berguru
padaku. Ya, para penulis di negeri ini akan selalu siap berkarya, demi mewarnai
setiap sudut kehidupan di sini.
“Siap menulis, Murid-murid?”
(end)
No comments:
Post a Comment