Thursday, 11 April 2013

Sebuah Kisah di Negeri para Penulis #2

(cont.)

Dua hari lagi. Ya, tak lama lagi hari itu akan tiba. Saat-saat yang telah kunantikan semenjak Ayah menceritakan semuanya padaku setahun yang lalu. Sepanjang malam ini, mataku tak dapat terpejam sedikit pun. Di hadapannya terus saja terlintas bayangan seperti apa wujud penaku kelak. Pena yang hanya terlahir untukku. Aku juga tak bisa berhenti menerka bagaimana rasanya nanti ketika aku menggunakannya dan menciptakan tulisan pertamaku dengan tanganku sendiri. Apakah akan sama rasanya seperti ketika aku berhasil menembak sasaran dengan supit untuk pertama kalinya? Atau akan seperti ketika pertama kali aku berhasil memanjat ke atas batu tertinggi di bukit Adnin? Ah, aku  sungguh tak tahu bagaimana rasanya kelak. Tapi satu hal yang kutahu pasti, bahwa aku ingin sekali menulis. Menciptakan karya-karya kaya makna seperti ribuan karya yang telah kunikmati selama ini.

Malam itu, setelah begitu sulit memejamkan mata, akhirnya aku dapat membenamkan alam bawah sadarku ke dalam buaian mimpi. Mimpi yang mampu memberiku pengalaman singkat menulis dengan penaku. Ya, singkat saja. Karena tiba-tiba aku terbangun. Suara gemuruh di luar sana begitu mengejutkanku. Seketika menghapus pengalaman singkat menulis dalam mimpiku barusan.

“Suta! Suta!” suara ibu datang bersama dengan ketukan dari balik pintu kamarku. Kuburu langkahku menuju ke daun pintu. “Ibu, ada apa?” tanyaku dengan cepat setelah kubuka pintu kamarku.

“Ibu juga tidak mengerti, Nak. Baru saja para tetua menjemput ayahmu. Mereka kemudian pergi begitu saja tanpa penjelasan yang dapat ibu mengerti. Firasat ibu berkata, sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi, Suta.” ibu berkata cepat. Kekalutan tampak jelas di wajahnya.

Setelah mendengar kata-kata ibu, aku mencoba menilik situasi di luar pondok. Sepertinya firasat ibu benar. Entah mengapa aku merasa ada yang ganjil dengan cuaca pada malam menjelang fajar ini. Angin yang berhembus malam ini terasa aneh. Tak seperti biasanya. Seperti membawa hawa kesakitan yang mencekam. Entahlah, aku tak mengerti dengan perasaan seperti ini. Kututup pintu pondok, dan kuputuskan untuk menemani ibu yang kini tampak ketakutan.

Sisa malam itu, kuhabiskan dengan terjaga. Mataku tak bisa lagi terpejam. Malam itu hanya menyisakan tanda tanya dalam pikiran dan perasaanku. Sepertinya tak jauh berbeda apa yang dirasakan ibu. Sejak tadi, ibu terus saja mengkhawatirkan ayah di luar sana. Berkali aku berusaha menenangkan ibu dan menyarankannya untuk kembali tidur. Tapi kecemasan itu rupanya lebih kuat dibandingkan rasa kantuk ibu. Melihat keadaan ibu yang diserang ketakutan hebat, sepertinya aku tak dapat meninggalkannya sendiri. Kuputuskan untuk menunggu kepulangan ayah di sini.

Perlahan cahaya keemasan menyusup dari kisi-kisi jendela pondok. Menandakan malam yang telah berganti pagi. Kesunyian yang sejak semalam mengungkung suasana di luar sana, sepertinya mulai terusir. Sayup kudengar suara percakapan manusia yang makin lama makin ramai. Sepertinya ada suatu hal yang terjadi hingga menjadi bahan perbincangan banyak orang. Kuputuskan untuk segera mencari tahu.

Kubuka pintu pondok yang sejak tadi masih terkunci. Silau sinar surya yang baru saja bangun, sedikit mengganggu pandanganku. Perlahan gambaran pemandangan di hadapanku mulai tertangkap oleh sepasang lensa mataku. Seketika aku tak sanggup berkata-kata.

Apa ini? Mengapa jadi begini? Apa ini mimpi? Ah, tidak! Aku pasti tertidur tadi. Seketika aku bertanya-tanya di dalam hati, yang segera kulanjutkan dengan menepuk-nepuk pipiku sendiri. Berusaha membangunkan diriku jika memang aku tengah bermimpi. Tapi ini semua terasa nyata. Pipiku dapat dengan jelas merasai tepukan yang kulayangkan berulang kali. Jadi, ini bukan mimpi? Hatiku merasa enggan menerima kenyataan itu. 

Aku sungguh tak bisa mempercayai ini semua begitu saja. Suasana di muka pondok tempat tinggalku, kini tampak berbeda sama sekali. Jauh berbeda dari apa yang tampak di hari kemarin. Semula semuanya tampak hijau menyejukkan, kini berubah menjadi gelap mencekam. Semula tanah itu begitu subur sentosa, kini tampak kering kerontang. Tandus tak berkehidupan. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Ayah. Di mana ayah?

Seketika aku berlari tanpa tujuan. Bermaksud menemukan keberadaan ayah. Batapa carut-marut perasaanku saat ini. Cemas dan kalut teraduk menjadi satu. Padang Karya? Ah, ya! Mungkin ayah di sana. Kulesatkan langkahku menuju ke tempat yang tiba-tiba saja terlintas di benakku itu. Kutempuh pintasan yang belum lama ini kuketahui dari Aryan. Tak lama kemudian aku tiba di sana.

Situasi di sini tak jauh berbeda. Sama gersangnya dengan keadaan di pemukiman penduduk. Sumber penghidupan penduduk yang semula terhampar melimpah di padang ini, kini lenyap tak bersisa. Jajaran tetumbuhan yang tempo hari tertanam rapi, kini telah porak-poranda. Begitu pun mata air yang kemarin masih terbendung penuh, kini surut seketika. Sebagian besar penduduk telah berkerumun di sana. Air muka mereka kurang lebih sama. Tak jauh dari raut wajah kesedihan, kekecewaan, dan ketakutan. Tak sedikit yang telah tumpah air matanya. Jelas sudah tak hanya aku yang tak bisa menerima kenyataan ini.

Kedua mataku masih menyapu kerumunan itu. Pemandangan memilukan di sini tak lantas membuatku lupa akan tujuan awalku mencari ayah. Tidak ada. Ayahku tak ada di sana. Ke mana lagi aku harus mencari ayah? “Suta!” “Suta!” Tiba-tiba terdengar suara bersahutan menyebut namaku dari arah belakang. Segera kuputar tubuhku untuk mengetahui sumber suara itu.

“Panca! Hasta! Aryan!” kupanggil mereka yang ternyata memanggil namaku tadi. “Kalian baik-baik saja? Kalian tahu apa yang telah terjadi, hah?” pertanyaanku menghujani mereka seketika yang masih terengah di depanku.

“Buruk. Buruk sekali yang telah terjadi, Suta. Tidak hanya pemukiman atau Padang Karya, bahkan bukit Adnin pun tak luput dari serangan bencana ini.” terang Panca dengan napas yang masih terburu. Rambut leherku berdiri seketika membayangkan keadaan bukit terindah di negeri ini yang juga terlanda bencana.

“Tak ada seorang pun yang mengerti perihal ini semua. Bencana ini tak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan para tetua pun tak kunjung menemukan jalan keluar dari keburukan ini, Suta.” lanjut Aryan.

Tetua? Ayah! “Para tetua. Di mana mereka? Tadi malam mereka membawa ayahku pergi entah ke mana. Aku dan ibuku begitu mengkhawatirkannya.” desakku sambil mengguncang kedua lengan Aryan.

“Mereka berkumpul di sekitar pohon Pena. Tadi aku sempat melihat ayah kau juga ada di sana. Tampaknya situasi ini pelik sekali, Suta.” terang Aryan.

Tanpa berpikir panjang, segera kularikan tubuhku ke satu tujuan, pohon Pena. Aku baru teringat pada pohon itu. Salah satu hal terpenting bagiku. Bagaimana keadaannya saat ini? Kini kekhawatiranku bertambah satu. “Suta, hendak ke mana kau?” sempat kudengar pekikan suara Hasta. Namun, tak sempat kupedulikan pertanyaannya.

Setelah berlari sekuat tenaga, akhirnya aku berhasil kupijakkan kakiku di sana. Tanah tempat berdirinya pohon Pena. Sekali lagi, aku tak sanggup berkata-kata. Pohon ajaib yang telah begitu kukagumi setahun terakhir itu, kini berubah seketika. Batangnya yang dulu tampak kokoh, kini berongga di sana-sini. Rantingnya yang dulu bagaikan mencakar langit, kini tampak begitu rapuh. Satu-dua di antaranya tak berhenti berjatuhan ke tanah. Daunnya. Tidak! Dedaunan indah itu. Warna-warninya. Hatiku bagai tersayat ujung bambu teruncing yang pernah ada. Aku pun tertunduk sedu. Warna-warni dedaunan itu kini tak bersisa satu pun. Mereka menghitam, terserak di atas tanah.

“Suta! Kau kenapa, hah?” Hasta mengguncang-guncang tubuhku yang kini terduduk lemas di sana. Ketiga kawanku itu ternyata mengikutiku yang tiba-tiba pergi dari Padang Karya tadi. Kutatap wajah mereka, yang memang sama kecewanya sepertiku. Karena tahun ini pun seharusnya mereka mendapat kesempatan memetik pena pertama mereka.

Aku tahu. Harapanku dan kawan-kawanku yang lain terpaksa harus terputus di sini. Melihat wujud pohon Pena yang kini begitu mengenaskan, sepertinya tak kan ada satu pena pun yang mungkin tertumbuh dari sana. Kenapa? Bukankah esok adalah hariku? Hari yang sudah kunanti sejak setahun lalu? Isakku kembali membuncah ketika teringat penantianku selama ini.

“Suta!” suara yang begitu kukenal itu seketika menghentikan ratapan hatiku. Kuusap pipiku yang basah dengan kedua telapak tangan. “Ayah,” kubangkitkan tubuhku menghadap sosok pria yang begitu kusegani itu. “Ayah baik-baik saja? Ibu begitu mengkhawatirkan keadaan ayah.” ucapku yang masih tersedan.

“Ayah baik-baik saja, Suta. Tapi, sepertinya tidak begitu dengan nasib negeri ini.” jawab ayahku yang merupakan penulis tersohor di negeri ini. Itulah mengapa para tetua sering melibatkannya dalam penyelesaian berbagai permasalahan negeri ini. Tatapan matanya kini mengarah takzim pada pohon Pena yang tak ubahnya seonggok benda tak bernyawa saat ini.

“Pohon Pena telah mati, Suta. Para tetua telah memastikan hal itu. Tak ada yang sanggup kami lakukan untuk mencegah kematiannya. Alam ini sendiri yang telah mencabut kehidupan dari pohon itu.” jelas ayah dengan kesan duka yang begitu mendalam.

Mati? Pohon Pena sungguh telah mati? Padahal tadi sempat aku berharap bahwa ketika bencana ini berlalu, maka pohon itu akan hidup seperti sedia kala. Jelas sudah kini hal itu hanya bisa jadi anganku semata. “Lalu, apa yang akan terjadi pada negeri ini kelak, Ayah?” tak sanggup kubayangkan sendiri bagaimana kehidupan di negeri ini selanjutnya. Mengingat peran pohon bertuah itu yang teramat sangat penting bagi negeri ini.

Ayah menghela napas berat. “Entahlah, Suta. Sepertinya setelah ini segalanya akan menjadi lebih berat bagi negeri ini.” (to be continued...)
***

No comments:

Post a Comment