(cont.)
Dua hari lagi. Ya, tak lama lagi hari itu akan tiba. Saat-saat yang
telah kunantikan semenjak Ayah menceritakan semuanya padaku setahun yang lalu. Sepanjang
malam ini, mataku tak dapat terpejam sedikit pun. Di hadapannya terus saja
terlintas bayangan seperti apa wujud penaku kelak. Pena yang hanya terlahir
untukku. Aku juga tak bisa berhenti menerka bagaimana rasanya nanti ketika aku
menggunakannya dan menciptakan tulisan pertamaku dengan tanganku sendiri.
Apakah akan sama rasanya seperti ketika aku berhasil menembak sasaran dengan
supit untuk pertama kalinya? Atau akan seperti ketika pertama kali aku berhasil
memanjat ke atas batu tertinggi di bukit Adnin? Ah, aku sungguh tak tahu bagaimana rasanya kelak. Tapi
satu hal yang kutahu pasti, bahwa aku ingin sekali menulis. Menciptakan
karya-karya kaya makna seperti ribuan karya yang telah kunikmati selama ini.
Malam itu, setelah begitu sulit memejamkan mata, akhirnya aku dapat membenamkan
alam bawah sadarku ke dalam buaian mimpi. Mimpi yang mampu memberiku pengalaman
singkat menulis dengan penaku. Ya, singkat saja. Karena tiba-tiba aku
terbangun. Suara gemuruh di luar sana begitu mengejutkanku. Seketika menghapus
pengalaman singkat menulis dalam mimpiku barusan.
“Suta! Suta!” suara ibu datang bersama dengan ketukan dari balik pintu
kamarku. Kuburu langkahku menuju ke daun pintu. “Ibu, ada apa?” tanyaku dengan
cepat setelah kubuka pintu kamarku.
“Ibu juga tidak mengerti, Nak. Baru saja para tetua menjemput ayahmu.
Mereka kemudian pergi begitu saja tanpa penjelasan yang dapat ibu mengerti. Firasat
ibu berkata, sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi, Suta.” ibu berkata
cepat. Kekalutan tampak jelas di wajahnya.
Setelah mendengar kata-kata ibu, aku mencoba menilik situasi di luar
pondok. Sepertinya firasat ibu benar. Entah mengapa aku merasa ada yang ganjil
dengan cuaca pada malam menjelang fajar ini. Angin yang berhembus malam ini
terasa aneh. Tak seperti biasanya. Seperti membawa hawa kesakitan yang
mencekam. Entahlah, aku tak mengerti dengan perasaan seperti ini. Kututup pintu
pondok, dan kuputuskan untuk menemani ibu yang kini tampak ketakutan.
Sisa malam itu, kuhabiskan dengan terjaga. Mataku tak bisa lagi
terpejam. Malam itu hanya menyisakan tanda tanya dalam pikiran dan perasaanku.
Sepertinya tak jauh berbeda apa yang dirasakan ibu. Sejak tadi, ibu terus saja
mengkhawatirkan ayah di luar sana. Berkali aku berusaha menenangkan ibu dan
menyarankannya untuk kembali tidur. Tapi kecemasan itu rupanya lebih kuat
dibandingkan rasa kantuk ibu. Melihat keadaan ibu yang diserang ketakutan
hebat, sepertinya aku tak dapat meninggalkannya sendiri. Kuputuskan untuk
menunggu kepulangan ayah di sini.
Perlahan cahaya keemasan menyusup dari kisi-kisi jendela pondok. Menandakan
malam yang telah berganti pagi. Kesunyian yang sejak semalam mengungkung
suasana di luar sana, sepertinya mulai terusir. Sayup kudengar suara percakapan
manusia yang makin lama makin ramai. Sepertinya ada suatu hal yang terjadi
hingga menjadi bahan perbincangan banyak orang. Kuputuskan untuk segera mencari
tahu.
Kubuka pintu pondok yang sejak tadi masih terkunci. Silau sinar surya
yang baru saja bangun, sedikit mengganggu pandanganku. Perlahan gambaran pemandangan
di hadapanku mulai tertangkap oleh sepasang lensa mataku. Seketika aku tak
sanggup berkata-kata.
Apa ini? Mengapa jadi begini?
Apa ini mimpi? Ah, tidak! Aku pasti tertidur tadi. Seketika aku
bertanya-tanya di dalam hati, yang segera kulanjutkan dengan menepuk-nepuk
pipiku sendiri. Berusaha membangunkan diriku jika memang aku tengah bermimpi. Tapi
ini semua terasa nyata. Pipiku dapat dengan jelas merasai tepukan yang
kulayangkan berulang kali. Jadi, ini
bukan mimpi? Hatiku merasa enggan menerima kenyataan itu.
Aku sungguh tak bisa mempercayai ini semua begitu saja. Suasana di
muka pondok tempat tinggalku, kini tampak berbeda sama sekali. Jauh berbeda
dari apa yang tampak di hari kemarin. Semula semuanya tampak hijau menyejukkan,
kini berubah menjadi gelap mencekam. Semula tanah itu begitu subur sentosa,
kini tampak kering kerontang. Tandus tak berkehidupan. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Ayah. Di mana ayah?
Seketika aku berlari tanpa tujuan. Bermaksud menemukan keberadaan
ayah. Batapa carut-marut perasaanku saat ini. Cemas dan kalut teraduk menjadi
satu. Padang Karya? Ah, ya! Mungkin ayah
di sana. Kulesatkan langkahku menuju ke tempat yang tiba-tiba saja
terlintas di benakku itu. Kutempuh pintasan yang belum lama ini kuketahui dari
Aryan. Tak lama kemudian aku tiba di sana.
Situasi di sini tak jauh berbeda. Sama gersangnya dengan keadaan di
pemukiman penduduk. Sumber penghidupan penduduk yang semula terhampar melimpah di
padang ini, kini lenyap tak bersisa. Jajaran tetumbuhan yang tempo hari tertanam
rapi, kini telah porak-poranda. Begitu pun mata air yang kemarin masih
terbendung penuh, kini surut seketika. Sebagian besar penduduk telah berkerumun
di sana. Air muka mereka kurang lebih sama. Tak jauh dari raut wajah kesedihan,
kekecewaan, dan ketakutan. Tak sedikit yang telah tumpah air matanya. Jelas
sudah tak hanya aku yang tak bisa menerima kenyataan ini.
Kedua mataku masih menyapu kerumunan itu. Pemandangan memilukan di
sini tak lantas membuatku lupa akan tujuan awalku mencari ayah. Tidak ada.
Ayahku tak ada di sana. Ke mana lagi aku
harus mencari ayah? “Suta!” “Suta!” Tiba-tiba terdengar suara bersahutan
menyebut namaku dari arah belakang. Segera kuputar tubuhku untuk mengetahui
sumber suara itu.
“Panca! Hasta! Aryan!” kupanggil mereka yang ternyata memanggil namaku
tadi. “Kalian baik-baik saja? Kalian tahu apa yang telah terjadi, hah?”
pertanyaanku menghujani mereka seketika yang masih terengah di depanku.
“Buruk. Buruk sekali yang telah terjadi, Suta. Tidak hanya pemukiman
atau Padang Karya, bahkan bukit Adnin pun tak luput dari serangan bencana ini.”
terang Panca dengan napas yang masih terburu. Rambut leherku berdiri seketika
membayangkan keadaan bukit terindah di negeri ini yang juga terlanda bencana.
“Tak ada seorang pun yang mengerti perihal ini semua. Bencana ini tak
pernah terjadi sebelumnya. Bahkan para tetua pun tak kunjung menemukan jalan
keluar dari keburukan ini, Suta.” lanjut Aryan.
Tetua? Ayah! “Para tetua. Di
mana mereka? Tadi malam mereka membawa ayahku pergi entah ke mana. Aku dan
ibuku begitu mengkhawatirkannya.” desakku sambil mengguncang kedua lengan
Aryan.
“Mereka berkumpul di sekitar pohon Pena. Tadi aku sempat melihat ayah
kau juga ada di sana. Tampaknya situasi ini pelik sekali, Suta.” terang Aryan.
Tanpa berpikir panjang, segera kularikan tubuhku ke satu tujuan, pohon
Pena. Aku baru teringat pada pohon itu. Salah satu hal terpenting bagiku. Bagaimana keadaannya saat ini? Kini kekhawatiranku
bertambah satu. “Suta, hendak ke mana kau?” sempat kudengar pekikan suara
Hasta. Namun, tak sempat kupedulikan pertanyaannya.
Setelah berlari sekuat tenaga, akhirnya aku berhasil kupijakkan kakiku
di sana. Tanah tempat berdirinya pohon Pena. Sekali lagi, aku tak sanggup
berkata-kata. Pohon ajaib yang telah begitu kukagumi setahun terakhir itu, kini
berubah seketika. Batangnya yang dulu tampak kokoh, kini berongga di sana-sini.
Rantingnya yang dulu bagaikan mencakar langit, kini tampak begitu rapuh.
Satu-dua di antaranya tak berhenti berjatuhan ke tanah. Daunnya. Tidak! Dedaunan indah itu. Warna-warninya. Hatiku
bagai tersayat ujung bambu teruncing yang pernah ada. Aku pun tertunduk sedu.
Warna-warni dedaunan itu kini tak bersisa satu pun. Mereka menghitam, terserak
di atas tanah.
“Suta! Kau kenapa, hah?” Hasta mengguncang-guncang tubuhku yang kini
terduduk lemas di sana. Ketiga kawanku itu ternyata mengikutiku yang tiba-tiba
pergi dari Padang Karya tadi. Kutatap wajah mereka, yang memang sama kecewanya
sepertiku. Karena tahun ini pun seharusnya mereka mendapat kesempatan memetik
pena pertama mereka.
Aku tahu. Harapanku dan kawan-kawanku yang lain terpaksa harus
terputus di sini. Melihat wujud pohon Pena yang kini begitu mengenaskan,
sepertinya tak kan ada satu pena pun yang mungkin tertumbuh dari sana. Kenapa? Bukankah esok adalah hariku? Hari yang sudah kunanti sejak setahun lalu?
Isakku kembali membuncah ketika teringat penantianku selama ini.
“Suta!” suara yang begitu kukenal itu seketika menghentikan ratapan
hatiku. Kuusap pipiku yang basah dengan kedua telapak tangan. “Ayah,”
kubangkitkan tubuhku menghadap sosok pria yang begitu kusegani itu. “Ayah
baik-baik saja? Ibu begitu mengkhawatirkan keadaan ayah.” ucapku yang masih
tersedan.
“Ayah baik-baik saja, Suta. Tapi, sepertinya tidak begitu dengan nasib
negeri ini.” jawab ayahku yang merupakan penulis tersohor di negeri ini. Itulah
mengapa para tetua sering melibatkannya dalam penyelesaian berbagai
permasalahan negeri ini. Tatapan matanya kini mengarah takzim pada pohon Pena
yang tak ubahnya seonggok benda tak bernyawa saat ini.
“Pohon Pena telah mati, Suta. Para tetua telah memastikan hal itu. Tak
ada yang sanggup kami lakukan untuk mencegah kematiannya. Alam ini sendiri yang
telah mencabut kehidupan dari pohon itu.” jelas ayah dengan kesan duka yang
begitu mendalam.
Mati? Pohon Pena sungguh telah
mati? Padahal tadi sempat aku berharap bahwa ketika bencana ini berlalu,
maka pohon itu akan hidup seperti sedia kala. Jelas sudah kini hal itu hanya
bisa jadi anganku semata. “Lalu, apa yang akan terjadi pada negeri ini kelak,
Ayah?” tak sanggup kubayangkan sendiri bagaimana kehidupan di negeri ini
selanjutnya. Mengingat peran pohon bertuah itu yang teramat sangat penting bagi
negeri ini.
Ayah menghela napas berat. “Entahlah, Suta. Sepertinya setelah ini
segalanya akan menjadi lebih berat bagi negeri ini.” (to be continued...)
***
No comments:
Post a Comment