Negeri ini selalu menyimpan cerita tersendiri bagiku. Negeri yang
telah kupijaki semenjak aku hadir ke dunia. Tujuh belas tahun silam, aku
dilahirkan di tanah ini. Sepekan lagi tepatnya aku menginjak usia itu. Sepekan
lagi pula hariku akan datang. Waktu bagiku untuk mengikuti jejak mereka.
Saatnya bagiku untuk mengemban amanah itu. Sama seperti mereka. Kedua orang
tuaku, dan seluruh penduduk di negeri ini.
Semenjak aku mulai memahami kehidupan sebenarnya yang berlangsung di
negeri ini, aku pun ingin segera menjadi bagian dari orang-orang yang telah
mendapat tugas mulia itu, menghidupi negeri ini dengan karyanya. Ya, mulanya
aku sama sekali tak mengetahui perihal tugas mulia seluruh penduduk di negeri
ini. Aku yang hanya seorang bocah cilik dulu, hanya mengerti bagaimana
menikmati hari dengan menyenangkan. Setiap hari tidak ada pekerjaan selain bermain
bersama kawan sebaya menyusuri tempat-tempat menyenangkan di pelosok negeri
ini. Tak paham benar dengan kehidupan sebenarnya yang berlangsung di negeri ini.
Aku masih ingat jelas kejadian hari itu. Suatu hari saat aku baru
menginjak usia 10 tahun. Dimulai ketika aku tengah duduk bersama kawan-kawanku
menikmati tenggelamnya matahari di batu besar tertinggi di bukit Adnin, bukit
terindah di negeriku. Salah seorang kawanku tiba-tiba membuyarkan tatapan
takzimku ke arah semburat merah di kejauhan itu. “Hei Suta, malam ini kau ikut
dengan kami, kan?” sahut Panca sambil menepuk bahuku sekuat tenaganya. Aku yang
sedikit terperanjat dan merasa kurang paham dengan pembicaraan kawanku itu pun
membalasnya dengan pertanyaan balik, “Memangnya nanti malam kalian hendak
kemana?”
“Ah, kau ini bagaimana, Suta? Jangan-jangan kau tidak mengikuti
pembicaraan kami sejak tadi, ya?” protes Hasta dengan wajah yang sedikit
memerah.
“Maafkan aku, kawan. Matahari terbenam itu elok sekali rupanya. Aku
sampai tidak bisa berkonsentrasi mendengar perbincangan kalian. Sekarang coba
kalian jelaskan lagi padaku, memangnya kemana kalian akan pergi nanti malam?”
ujarku sambil tersenyum demi mencoba menenangkan Hasta yang sudah mengepalkan tangannya
ke hadapanku. Hasta memang sering meledak-ledak tanpa sebab yang berarti.
“Malam ini kita ke tempat rahasia, Kawan. Tempat yang sudah pasti
belum pernah kau datangi selama ini. Tanya saja pada Aryan.” sambung Panca yang
kemudian menyikut lengan Aryan yang tengah sibuk menggaruk lehernya. Sepertinya
serangga-serangga malam sudah mulai usil mencubiti kulitnya.
“Oh, eh, iya Suta. Kau hanya perlu mengikutiku. Aku sendiri yang akan
menunjukkan jalannya pada kalian. Tapi, jangan sampai kau mengabarkan ini pada
siapapun, ya. Kau tau sendiri, anak-anak di negeri ini tidak boleh berkeliaran
di malam hari. Selepas makan nanti, kita bertemu di dekat pohon beringin
tumbang, ya.” terang Aryan yang berhasil melejitkan rasa ingin tahuku.
Memangnya ada tempat rahasia seperti apa di negeri ini?
Sesuai kesepakatan, selepas makan malam kami berkumpul di dekat batang
beringin besar yang terbaring tumbang sejak zaman dahulu itu. Aku terpaksa
berdalih pada ibu hendak pergi meminjam supit[1]
Hasta untuk sayembara esok hari. Padahal sebenarnya esok hari pun tak ada yang
hendak menggelar sayembara supit. Aku dan ketiga kawan lekatku itu pun mulai
berjalan menyusuri semak lebat di dalam hutan. Kami berjalan berbaris, dengan
Aryan yang memimpin di depan. Demi mencegah keributan, kami berjalan dalam
diam. Mengendap-endap, macam kawanan tikus yang menghindari sergapan ular.
Tanah yang basah akibat gerimis petang tadi, mengotori telapak kaki
kami yang telanjang. Setelah lumpur liat sempurna melumuri jari-jemari kaki
kami, barulah kami berhenti. Aryan, si penunjuk jalan mengangkat tangan
kanannya setinggi bahu, sebagai isyarat untuk menghentikan langkah. Aku, Panca,
dan Hasta pun bertingkah macam itik-itik kecil yang menurut saja pada induknya.
Sepertinya kami sudah berada cukup jauh dari pemukiman. Ubi tumbuk dan sayuran matang
yang kusantap malam ini rasanya lenyap begitu saja dari perutku. Hasta yang
walaupun masih terengah bergerak maju berdiri di samping Aryan yang tampak menyibak
semak setinggi mata kami.
“Apa yang kau lihat, Aryan?” usik Hasta tak sabar.
“Sst… Jangan ribut! Lihat kerumunan orang itu! Kita tak ingin menarik
perhatian mereka, bukan?” bisik Aryan sambil menunjuk apa yang dilihatnya dari
balik semak. Aku dan Panca kini sudah bergabung sejajar dengan Hasta dan Aryan.
Mencuri pandang dari balik semak.
***
Sejak saat itulah aku mengetahuinya walaupun hanya samar-samar saja. Rahasia
besar negeri ini yang belum akan diceritakan pada bocah-bocah lugu sepertiku dulu.
Malam itu aku melihat ribuan penduduk negeri ini yang berkumpul di sebuah
padang luas. Mereka tampak duduk berkeliling, menyaksikan salah satu dari
mereka bergantian maju ke tengah kerumunan untuk membacakan sesuatu. Saat itu
aku hanya mendengar dari Aryan, bahwa orang-orang dewasa biasa melakukan hal
itu ketika malam hari, saat rembulan sempurna bundar. Rupanya Aryan telah
mencari tahu tentang hal itu semenjak ia mendapati kedua orang tuanya yang
selalu pergi entah kemana pada malam seperti ini. Aku mafhum saja,
keingintahuan Aryan memang paling besar di antara kami berempat.
Setahun silam, aku baru mengetahui secara pasti perihal rahasia yang
diam-diam telah kuketahui semenjak masih kanak-kanak dulu itu. Ayah dan ibuku
yang merasa bahwa sudah saatnya aku mengetahui rahasia itu, memutuskan untuk
menjelaskan semuanya padaku. Dari keduanya lah akhirnya aku tahu bahwa tradisi
itu tak bisa ditinggalkan oleh penduduk negeri ini sampai kapan pun. Ayah
bercerita bahwa penduduk negeri ini menyebutnya dengan tradisi ‘Tutur Karya’.
Setiap malam ketika rembulan sempurna bundar, seluruh penduduk dewasa akan
berkumpul di Padang Karya. Rupanya itulah nama padang luas yang ditunjukkan
Aryan padaku tujuh tahun yang lalu.
Tradisi ‘Tutur Karya’ merupakan salah satu upacara penting bagi negeri
ini. Pada malam itu, penduduk negeri ini harus bergantian membacakan tulisan
mereka sepanjang malam, hingga fajar menjelang. Ya, tulisan. Karya yang memang mampu
diciptakan oleh semua penduduk dewasa di negeri ini.
Saat kecil dulu, aku hanya tahu bahwa banyak penduduk negeri ini yang
pandai sekali menulis. Menciptakan kisah-kisah menarik sarat hikmah nasihat.
Kisah-kisah itulah yang dibacakan setiap malam menjelang tidur pada anak-anak
sepertiku dulu. Beragam cerita buah karya ayah dan ibu sendiri. Satu kisah
berbeda untuk setiap malamnya. Menyenangkan sekali. Keesokan harinya, aku dan
kawan-kawan sebayaku biasa berbagi cerita tentang kisah yang dibacakan oleh
orang tua kami pada malam harinya. Itulah yang membuatku bercita-cita untuk
bisa menciptakan tulisan-tulisan menarik semacam itu juga.
Sebatas itu saja yang kuketahui dulu. Namun, selepas ayahku
melanjutkan penjelasannya, aku baru tahu bahwa tulisan-tulisan itu bukan
sekedar karya yang diperuntukkan bagi hiburan semata. Memang, seringkali kulihat
sinar mata bahagia dari orang-orang di sekitarku, setelah berhasil menciptakan
tulisan baru. Mereka seringkali saling bertukar karya, dan berpendapat tentang
tulisan satu sama lain. Ternyata itu semua bukan wujud dari kesenangan semata.
Tapi merupakan upaya mereka untuk memperbaiki tulisan satu sama lain. Karena
tulisan dari setiap penduduk di negeri ini memang teramat sangat penting.
Setelah satu per satu tulisan terbaik dibacakan pada malam ‘Tutur
Karya’ itu, maka keesokan harinya Padang Karya akan berubah dengan ajaibnya.
Padang luas yang semula kosong itu, akan ditumbuhi dengan segala sumber
penghidupan bagi negeri ini. Mata air bersih, umbi-umbian yang gemuk dan
berisi, tanaman sayur-mayur, hingga pohon bebuahan tumbuh di sana. Semua sumber
penghidupan itu akan tersedia di Padang Karya bagi seluruh penduduk di negeri
ini. Jumlahnya selalu bisa mencukupi kebutuhan semua orang. Tak akan habis
hingga rembulan yang sempurna bundar berikutnya muncul, dan penduduk negeri ini
harus kembali melaksanakan upacara ‘Tutur Karya’ dengan tulisan-tulisan mereka
yang baru.
Mendengar hal itu, aku pun mulai memahami mengapa karya-karya tulis
itu menjadi begitu penting bagi penduduk di negeri ini. Karya tulis yang menjadi
kunci penghidupan mereka dan merupakan satu-satunya jaminan keberlanjutan hidup
generasi penerus negeri ini.
“Ayah, mulia sekali tugas ayah, ibu, dan seluruh penduduk negeri ini.
Kenapa aku tidak bisa melakukannya juga? Aku tidak tahu bagaimana cara menulis
seperti yang ayah, ibu, dan penduduk lain lakukan. Sejak dulu, aku sudah begitu
menyukai tulisan-tulisan itu. Aku juga ingin bisa menciptakan tulisan-tulisan
semacam itu.” ujarku yang masih duduk takzim di hadapan ayah dan ibu.
Ayah sedikit berdeham dan lalu melanjutkan penjelasannya. “Belum
saatnya, Suta. Ketika waktunya tiba, kau juga akan mulai bisa menulis seperti
kami. Kau hanya perlu menunggu dengan sabar.”
“Benarkah itu, Ayah? Lalu, kapan waktu itu tiba? Dan bagaimana caranya
aku bisa menulis sementara selama ini aku tak pernah tahu bagaimana cara
melakukannya?” keningku pun makin tampak berkerut.
“Ikuti ayah, Suta!” tiba-tiba ayah beranjak dari duduknya menuju
keluar pondok tempat tinggal kami. Aku pun memutuskan untuk mengikuti langkah
ayah setelah melihat anggukan kepala ibu. Ayah berjalan tanpa berkata sepatah
kata pun. Pertanyaanku tentang kemana tujuan kami pun tak digubrisnya sama
sekali. Aku pun kemudian hanya bisa mengikutinya dalam diam. Tak berani
berkata-kata lagi.
Tak lama kemudian, langkah kaki ayah pun berhenti. Aku yang seketika
juga berhenti melangkah, terperangah dengan pemandangan yang kusaksikan di
hadapanku. Sebatang pohon besar berdiri gagah di hadapan kami. Batangnya
terlihat kokoh, akarnya menghujam kuat ke dasar tanah, rantingnya bak
tangan-tangan perkasa yang berusaha menggapai langit. Satu lagi yang begitu
memukau pandanganku kala itu. Daunnya. Dedaunan di pohon itu memang begitu
rimbun. Tapi tak hanya rimbun, dedaunan itu juga sangat berbeda dari daun
lainnya. Setiap helai daunnya memiliki warna yang berbeda satu sama lain. aka
da sehelai daun pun yang berwarna persis sama dengan daun yang lain. Sungguh sebuah
keajaiban yang belum pernah kutemukan di manapun. Seketika aku tak sanggup
berkata-kata.
“Ini pohon Pena.” Ayah berkata singkat sesampainya di tempat itu.
Seketika menghenyakkanku yang mematung di belakangnya. “Po… Pohon Pena?” hanya
pertanyaan singkat itu yang terlontar dari mulutku.
“Pohon ini lah yang menjadi kunci kemampuan kami, Suta. Seluruh
penulis di negeri ini. Ayah dan penduduk dewasa lainnya dulu juga sepertimu.
Hanya seorang anak muda biasa yang tak tahu banyak hal. Tak tahu pula bagaimana
cara menulis. Ketika kami memasuki usia tujuh belas tahun, kami dibawa ke
tempat ini untuk mengikuti upacara ‘Petik Pena’.” sambung ayah. “Upacara ‘Petik
Pena’? Apalagi itu, Ayah?” tanyaku ingin tahu lebih jauh lagi.
Ayah kini melangkah mendekati pohon yang tampak begitu ajaib itu.
Tangannya kini menyentuh batang pohon yang begitu kokoh itu. “Seperti namanya,
pohon ini memang berbuah pena. Setiap manusia yang beranjak dewasa, akan bisa
memetik pena miliknya dari pohon ini. Satu pena untuk setiap penduduk di negeri
ini. Termasuk kau, Suta.”
“Jadi maksud Ayah, aku juga akan bisa memetik satu pena milikku dari
pohon ini? Tapi, aku tidak pernah menggunakan benda semacam itu sebelumnya.
Bagaimana aku bisa menggunakannya, Ayah?” tanyaku kemudian yang seketika
teringat bahwa aku hanya pernah melihat benda yang dinamakan pena itu digunakan
oleh ibuku untuk menulis. Aku tak pernah tahu bagaimana cara menggunakannya.
“Jangan khawatir, Suta. Pena itulah yang nantinya akan membimbingmu.
Menjadi kunci kemampuanmu sebagai seorang penulis. Itulah yang terjadi pada
kami dulu. Begitu memiliki pena itu, secara alami kami telah mengetahui
bagaimana cara menulis. Berbagai macam karya tulis pun dapat dengan mudah kami
ciptakan berkat pena itu. Gagasan dan inspirasi rasanya tak berhenti mengalir
dari kepala kami. Tenang saja, Suta. Semua akan berjalan begitu dengan
sendirinya.” jawab ayah yang tadi menepuk bahuku, dan kemudian meninggalkanku
yang baru saja mulai memahami kehidupan sesungguhnya di negeri ini. (to be continued...)
No comments:
Post a Comment