Tuesday, 9 April 2013

Sebuah Kisah di Negeri para Penulis #1

Negeri ini selalu menyimpan cerita tersendiri bagiku. Negeri yang telah kupijaki semenjak aku hadir ke dunia. Tujuh belas tahun silam, aku dilahirkan di tanah ini. Sepekan lagi tepatnya aku menginjak usia itu. Sepekan lagi pula hariku akan datang. Waktu bagiku untuk mengikuti jejak mereka. Saatnya bagiku untuk mengemban amanah itu. Sama seperti mereka. Kedua orang tuaku, dan seluruh penduduk di negeri ini.

Semenjak aku mulai memahami kehidupan sebenarnya yang berlangsung di negeri ini, aku pun ingin segera menjadi bagian dari orang-orang yang telah mendapat tugas mulia itu, menghidupi negeri ini dengan karyanya. Ya, mulanya aku sama sekali tak mengetahui perihal tugas mulia seluruh penduduk di negeri ini. Aku yang hanya seorang bocah cilik dulu, hanya mengerti bagaimana menikmati hari dengan menyenangkan. Setiap hari tidak ada pekerjaan selain bermain bersama kawan sebaya menyusuri tempat-tempat menyenangkan di pelosok negeri ini. Tak paham benar dengan kehidupan sebenarnya yang berlangsung di negeri ini.

Aku masih ingat jelas kejadian hari itu. Suatu hari saat aku baru menginjak usia 10 tahun. Dimulai ketika aku tengah duduk bersama kawan-kawanku menikmati tenggelamnya matahari di batu besar tertinggi di bukit Adnin, bukit terindah di negeriku. Salah seorang kawanku tiba-tiba membuyarkan tatapan takzimku ke arah semburat merah di kejauhan itu. “Hei Suta, malam ini kau ikut dengan kami, kan?” sahut Panca sambil menepuk bahuku sekuat tenaganya. Aku yang sedikit terperanjat dan merasa kurang paham dengan pembicaraan kawanku itu pun membalasnya dengan pertanyaan balik, “Memangnya nanti malam kalian hendak kemana?”

“Ah, kau ini bagaimana, Suta? Jangan-jangan kau tidak mengikuti pembicaraan kami sejak tadi, ya?” protes Hasta dengan wajah yang sedikit memerah.

“Maafkan aku, kawan. Matahari terbenam itu elok sekali rupanya. Aku sampai tidak bisa berkonsentrasi mendengar perbincangan kalian. Sekarang coba kalian jelaskan lagi padaku, memangnya kemana kalian akan pergi nanti malam?” ujarku sambil tersenyum demi mencoba menenangkan Hasta yang sudah mengepalkan tangannya ke hadapanku. Hasta memang sering meledak-ledak tanpa sebab yang berarti.

“Malam ini kita ke tempat rahasia, Kawan. Tempat yang sudah pasti belum pernah kau datangi selama ini. Tanya saja pada Aryan.” sambung Panca yang kemudian menyikut lengan Aryan yang tengah sibuk menggaruk lehernya. Sepertinya serangga-serangga malam sudah mulai usil mencubiti kulitnya.

“Oh, eh, iya Suta. Kau hanya perlu mengikutiku. Aku sendiri yang akan menunjukkan jalannya pada kalian. Tapi, jangan sampai kau mengabarkan ini pada siapapun, ya. Kau tau sendiri, anak-anak di negeri ini tidak boleh berkeliaran di malam hari. Selepas makan nanti, kita bertemu di dekat pohon beringin tumbang, ya.” terang Aryan yang berhasil melejitkan rasa ingin tahuku. Memangnya ada tempat rahasia seperti apa di negeri ini?

Sesuai kesepakatan, selepas makan malam kami berkumpul di dekat batang beringin besar yang terbaring tumbang sejak zaman dahulu itu. Aku terpaksa berdalih pada ibu hendak pergi meminjam supit[1] Hasta untuk sayembara esok hari. Padahal sebenarnya esok hari pun tak ada yang hendak menggelar sayembara supit. Aku dan ketiga kawan lekatku itu pun mulai berjalan menyusuri semak lebat di dalam hutan. Kami berjalan berbaris, dengan Aryan yang memimpin di depan. Demi mencegah keributan, kami berjalan dalam diam. Mengendap-endap, macam kawanan tikus yang menghindari sergapan ular.

Tanah yang basah akibat gerimis petang tadi, mengotori telapak kaki kami yang telanjang. Setelah lumpur liat sempurna melumuri jari-jemari kaki kami, barulah kami berhenti. Aryan, si penunjuk jalan mengangkat tangan kanannya setinggi bahu, sebagai isyarat untuk menghentikan langkah. Aku, Panca, dan Hasta pun bertingkah macam itik-itik kecil yang menurut saja pada induknya. Sepertinya kami sudah berada cukup jauh dari pemukiman. Ubi tumbuk dan sayuran matang yang kusantap malam ini rasanya lenyap begitu saja dari perutku. Hasta yang walaupun masih terengah bergerak maju berdiri di samping Aryan yang tampak menyibak semak setinggi mata kami.

“Apa yang kau lihat, Aryan?” usik Hasta tak sabar.

“Sst… Jangan ribut! Lihat kerumunan orang itu! Kita tak ingin menarik perhatian mereka, bukan?” bisik Aryan sambil menunjuk apa yang dilihatnya dari balik semak. Aku dan Panca kini sudah bergabung sejajar dengan Hasta dan Aryan. Mencuri pandang dari balik semak.
***

Sejak saat itulah aku mengetahuinya walaupun hanya samar-samar saja. Rahasia besar negeri ini yang belum akan diceritakan pada bocah-bocah lugu sepertiku dulu. Malam itu aku melihat ribuan penduduk negeri ini yang berkumpul di sebuah padang luas. Mereka tampak duduk berkeliling, menyaksikan salah satu dari mereka bergantian maju ke tengah kerumunan untuk membacakan sesuatu. Saat itu aku hanya mendengar dari Aryan, bahwa orang-orang dewasa biasa melakukan hal itu ketika malam hari, saat rembulan sempurna bundar. Rupanya Aryan telah mencari tahu tentang hal itu semenjak ia mendapati kedua orang tuanya yang selalu pergi entah kemana pada malam seperti ini. Aku mafhum saja, keingintahuan Aryan memang paling besar di antara kami berempat.

Setahun silam, aku baru mengetahui secara pasti perihal rahasia yang diam-diam telah kuketahui semenjak masih kanak-kanak dulu itu. Ayah dan ibuku yang merasa bahwa sudah saatnya aku mengetahui rahasia itu, memutuskan untuk menjelaskan semuanya padaku. Dari keduanya lah akhirnya aku tahu bahwa tradisi itu tak bisa ditinggalkan oleh penduduk negeri ini sampai kapan pun. Ayah bercerita bahwa penduduk negeri ini menyebutnya dengan tradisi ‘Tutur Karya’. Setiap malam ketika rembulan sempurna bundar, seluruh penduduk dewasa akan berkumpul di Padang Karya. Rupanya itulah nama padang luas yang ditunjukkan Aryan padaku tujuh tahun yang lalu.

Tradisi ‘Tutur Karya’ merupakan salah satu upacara penting bagi negeri ini. Pada malam itu, penduduk negeri ini harus bergantian membacakan tulisan mereka sepanjang malam, hingga fajar menjelang. Ya, tulisan. Karya yang memang mampu diciptakan oleh semua penduduk dewasa di negeri ini.

Saat kecil dulu, aku hanya tahu bahwa banyak penduduk negeri ini yang pandai sekali menulis. Menciptakan kisah-kisah menarik sarat hikmah nasihat. Kisah-kisah itulah yang dibacakan setiap malam menjelang tidur pada anak-anak sepertiku dulu. Beragam cerita buah karya ayah dan ibu sendiri. Satu kisah berbeda untuk setiap malamnya. Menyenangkan sekali. Keesokan harinya, aku dan kawan-kawan sebayaku biasa berbagi cerita tentang kisah yang dibacakan oleh orang tua kami pada malam harinya. Itulah yang membuatku bercita-cita untuk bisa menciptakan tulisan-tulisan menarik semacam itu juga.

Sebatas itu saja yang kuketahui dulu. Namun, selepas ayahku melanjutkan penjelasannya, aku baru tahu bahwa tulisan-tulisan itu bukan sekedar karya yang diperuntukkan bagi hiburan semata. Memang, seringkali kulihat sinar mata bahagia dari orang-orang di sekitarku, setelah berhasil menciptakan tulisan baru. Mereka seringkali saling bertukar karya, dan berpendapat tentang tulisan satu sama lain. Ternyata itu semua bukan wujud dari kesenangan semata. Tapi merupakan upaya mereka untuk memperbaiki tulisan satu sama lain. Karena tulisan dari setiap penduduk di negeri ini memang teramat sangat penting.

Setelah satu per satu tulisan terbaik dibacakan pada malam ‘Tutur Karya’ itu, maka keesokan harinya Padang Karya akan berubah dengan ajaibnya. Padang luas yang semula kosong itu, akan ditumbuhi dengan segala sumber penghidupan bagi negeri ini. Mata air bersih, umbi-umbian yang gemuk dan berisi, tanaman sayur-mayur, hingga pohon bebuahan tumbuh di sana. Semua sumber penghidupan itu akan tersedia di Padang Karya bagi seluruh penduduk di negeri ini. Jumlahnya selalu bisa mencukupi kebutuhan semua orang. Tak akan habis hingga rembulan yang sempurna bundar berikutnya muncul, dan penduduk negeri ini harus kembali melaksanakan upacara ‘Tutur Karya’ dengan tulisan-tulisan mereka yang baru.

Mendengar hal itu, aku pun mulai memahami mengapa karya-karya tulis itu menjadi begitu penting bagi penduduk di negeri ini. Karya tulis yang menjadi kunci penghidupan mereka dan merupakan satu-satunya jaminan keberlanjutan hidup generasi penerus negeri ini.

“Ayah, mulia sekali tugas ayah, ibu, dan seluruh penduduk negeri ini. Kenapa aku tidak bisa melakukannya juga? Aku tidak tahu bagaimana cara menulis seperti yang ayah, ibu, dan penduduk lain lakukan. Sejak dulu, aku sudah begitu menyukai tulisan-tulisan itu. Aku juga ingin bisa menciptakan tulisan-tulisan semacam itu.” ujarku yang masih duduk takzim di hadapan ayah dan ibu.

Ayah sedikit berdeham dan lalu melanjutkan penjelasannya. “Belum saatnya, Suta. Ketika waktunya tiba, kau juga akan mulai bisa menulis seperti kami. Kau hanya perlu menunggu dengan sabar.”

“Benarkah itu, Ayah? Lalu, kapan waktu itu tiba? Dan bagaimana caranya aku bisa menulis sementara selama ini aku tak pernah tahu bagaimana cara melakukannya?” keningku pun makin tampak berkerut.

“Ikuti ayah, Suta!” tiba-tiba ayah beranjak dari duduknya menuju keluar pondok tempat tinggal kami. Aku pun memutuskan untuk mengikuti langkah ayah setelah melihat anggukan kepala ibu. Ayah berjalan tanpa berkata sepatah kata pun. Pertanyaanku tentang kemana tujuan kami pun tak digubrisnya sama sekali. Aku pun kemudian hanya bisa mengikutinya dalam diam. Tak berani berkata-kata lagi.

Tak lama kemudian, langkah kaki ayah pun berhenti. Aku yang seketika juga berhenti melangkah, terperangah dengan pemandangan yang kusaksikan di hadapanku. Sebatang pohon besar berdiri gagah di hadapan kami. Batangnya terlihat kokoh, akarnya menghujam kuat ke dasar tanah, rantingnya bak tangan-tangan perkasa yang berusaha menggapai langit. Satu lagi yang begitu memukau pandanganku kala itu. Daunnya. Dedaunan di pohon itu memang begitu rimbun. Tapi tak hanya rimbun, dedaunan itu juga sangat berbeda dari daun lainnya. Setiap helai daunnya memiliki warna yang berbeda satu sama lain. aka da sehelai daun pun yang berwarna persis sama dengan daun yang lain. Sungguh sebuah keajaiban yang belum pernah kutemukan di manapun. Seketika aku tak sanggup berkata-kata.

“Ini pohon Pena.” Ayah berkata singkat sesampainya di tempat itu. Seketika menghenyakkanku yang mematung di belakangnya. “Po… Pohon Pena?” hanya pertanyaan singkat itu yang terlontar dari mulutku.

“Pohon ini lah yang menjadi kunci kemampuan kami, Suta. Seluruh penulis di negeri ini. Ayah dan penduduk dewasa lainnya dulu juga sepertimu. Hanya seorang anak muda biasa yang tak tahu banyak hal. Tak tahu pula bagaimana cara menulis. Ketika kami memasuki usia tujuh belas tahun, kami dibawa ke tempat ini untuk mengikuti upacara ‘Petik Pena’.” sambung ayah. “Upacara ‘Petik Pena’? Apalagi itu, Ayah?” tanyaku ingin tahu lebih jauh lagi.

Ayah kini melangkah mendekati pohon yang tampak begitu ajaib itu. Tangannya kini menyentuh batang pohon yang begitu kokoh itu. “Seperti namanya, pohon ini memang berbuah pena. Setiap manusia yang beranjak dewasa, akan bisa memetik pena miliknya dari pohon ini. Satu pena untuk setiap penduduk di negeri ini. Termasuk kau, Suta.”

“Jadi maksud Ayah, aku juga akan bisa memetik satu pena milikku dari pohon ini? Tapi, aku tidak pernah menggunakan benda semacam itu sebelumnya. Bagaimana aku bisa menggunakannya, Ayah?” tanyaku kemudian yang seketika teringat bahwa aku hanya pernah melihat benda yang dinamakan pena itu digunakan oleh ibuku untuk menulis. Aku tak pernah tahu bagaimana cara menggunakannya.

“Jangan khawatir, Suta. Pena itulah yang nantinya akan membimbingmu. Menjadi kunci kemampuanmu sebagai seorang penulis. Itulah yang terjadi pada kami dulu. Begitu memiliki pena itu, secara alami kami telah mengetahui bagaimana cara menulis. Berbagai macam karya tulis pun dapat dengan mudah kami ciptakan berkat pena itu. Gagasan dan inspirasi rasanya tak berhenti mengalir dari kepala kami. Tenang saja, Suta. Semua akan berjalan begitu dengan sendirinya.” jawab ayah yang tadi menepuk bahuku, dan kemudian meninggalkanku yang baru saja mulai memahami kehidupan sesungguhnya di negeri ini. (to be continued...)
***

[1] Supit: senapan mainan terbuat dari tabung bambu kecil

No comments:

Post a Comment