Friday, 5 April 2013

Mai Cinta Korea (?)

[1] Mae Moon Ah likes this.
Maimunah tampak baru saja mengklik tanda bertuliskan ‘Like’ pada iklan yang muncul di halaman muka akun jejaring sosialnya itu. Sebuah info komersial yang mempromosikan acara konser salah satu program musik ternama di Korea Selatan. Acara musik tersebut akan mendatangkan sejumlah boy band dan girl band asal negeri ginseng itu. 

“Sa, liat sini, deh!” lonjak Maimunah seraya menarik lengan baju Salsabila, sahabatnya yang tengah berkonsentrasi menyelesaikan proposal penelitian tugas akhirnya.

“Apaan sih, Mai? Heboh banget kayaknya. Proposal gue lagi nanggung, nih.” ujar Salsa yang merasa ketenangannya terusik oleh tingkah Mai yang mengejutkan.

“Ini lho, Sa. Mu Bank mau ke Jakarta! Ya ampun, pasti keren banget. Ada Suju, Shinee, Sistar, banyak banget, Sa. Gue pengen banget nonton ke sana. Bisa gak ya, Sa? Aduh, bentar lagi nih, acaranya.” ucap Mai dengan penuh antusias.

Salsa yang semula ikut penasaran akibat pekikan antusias Mai tadi, seketika mengubah air mukanya begitu mendengar jawaban dari teman sekamarnya itu. “Yailah. Korea lagi? Gue kira apaan, Mai. Bikin kaget aja, lo. Nyesel gue penasaran segala.” Salsa pun segera kembali berkutat dengan pekerjaannya semula setelah dikecewakan oleh apa yang baru saja didengarnya.

Salsa amat mengenal Maimunah. Dia sangat memahami segala hal tentang sahabatnya yang satu itu. Termasuk kecintaan Mai terhadap beraneka hal yang berbau budaya salah satu negara yang kini tengah naik daun itu. Salsa tahu bahwa Mai selama ini tidak pernah bisa melepaskan diri dari demam budaya Korea yang sudah menjelma bagaikan virus di negeri ini. Mai teramat sangat menggemari segala hal yang berasal dari negara itu.

Setiap waktu luang selalu dimanfaatkan Mai untuk mendengarkan lagu-lagu K-Pop[2] koleksinya. Setiap malam pun Salsa selalu menemukan Mai yang tengah asyik menonton drama Korea terbaru hasil unduhannya sendiri dari internet. Sebagian dari drama-drama tersebut juga Mai peroleh dari teman-temannya sesama pecinta K-Pop. Salsa sendiri tahu bahwa Mai menyediakan jadwal khusus setiap malam untuk menonton drama-drama Korea favoritnya itu.

Meskipun sudah tinggal sekamar dengan Mai selama hampir 3 tahun, namun Salsa tidak pernah merasa menggemari apa yang digilai oleh teman sekamarnya itu. Entah mengapa. Hanya saja Salsa tidak merasa tertarik pada jenis hiburan semacam itu. Salsa memang seorang gadis yang terkesan tidak banyak bertingkah. Bagi Salsa yang menjadi fokus utama baginya ialah studi yang sedang ia jalani di perguruan tinggi. Ia tidak ingin menganggu konsentrasinya dengan bermacam hal yang menurutnya kurang penting.

Meskipun begitu, Salsa tidak pernah sedikit pun membenci apa yang dilakukan oleh Mai. Bagi Salsa, apapun yang dilakukan sahabatnya itu adalah pilihan Mai sendiri. Salsa hanya bisa berusaha menghormati apa yang menjadi pilihan Mai itu. Salsa pun selama ini tak pernah merasa terganggu dengan kebiasaan unik teman sekamarnya itu.
***
Kecintaan Maimunah pada musik dan budaya Korea memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Aksi piawai selebritis Korea idolanya di atas panggung musik maupun di dalam layar drama yang sering ditonton Mai, mampu membuatnya terkesima dan semakin mengidolakan mereka.

Saking cintanya Mai pada budaya Korea, ia bahkan memiliki cita-cita untuk bisa pergi ke negeri ginseng itu, demi menjalani sendiri pengalaman kehidupan dengan budaya Korea dalam kesehariannya.

Salah satu bukti cintanya pada budaya Korea ditunjukkan Mai dalam akun jejaring sosialnya. Mai tidak menggunakan nama aslinya-Maimunah Fitria-sebagai nama akunnya. Tapi Mai sengaja menggunakan namanya yang ia modifikasi sendiri ala Korea, sebagai nama pada akun jejaring sosialnya itu.

“Mai, nama FB lo kok gitu, sih? Mae Moon Ah? Apa coba? Alay, tau!” kata Salsa ketika baru mengetahui nama akun Facebook Mai.

“Ah, biarin aja, Sa. Keren lagi, kayak nama Korea, kan? Kalo nama FB gue kayak gitu, nanti kan bisa disangkain orang Korea beneran. Terus, entar orang-orang Korea asli kan jadi tertarik buat add gue juga.” terang Mai sambil tersenyum-senyum sendiri.

Mai memang tak pernah merasa bermasalah dengan kegemarannya terhadap budaya Korea itu. Selama ini ia hanya menganggap itu sebagai bentuk hiburan. Makin dinikmatinya hiburan itu, Mai makin merasa tidak bisa meninggalkannya. Ada semacam rasa ketergantungan yang membuat Mai selalu ingin menikmati kesenangan yang sama ketika mendengarkan musik atau menonton drama-drama Korea. Begitulah kebiasaan itu tumbuh menjadi kebutuhan untuk memuaskan keinginan Mai akan hiburan-hiburan Korea. Mai pun telah mejadi bagian dari para pecinta Korea yang begitu mendewakan kebudayaan asing itu.
***
“Mai, weekend besok lo sibuk gak?” tanya Salsa pada Mai siang itu, saat tengah menikmati santap siang mereka di kantin kampus.

Mai masih tampak mengunyah tempe bacem yang baru saja dilahapnya. “Gue gak ada agenda, sih. Emang kenapa, Sa?” jawabnya yang langsung dilanjutkan dengan menyantap sesendok lagi nasi campur yang dipesannya.

“Gue kan baru mulai penelitian nih, Mai. Nah, gue itu mau bikin analisis sosial gitu. Rencananya nanti gue mau pergi ke suatu tempat. Di sana gue bakal wawancarain beberapa narasumber. Nah, gue butuh bantuan lo nih, buat jadi kameramen. Soalnya nanti gue butuh bikin video dokumentasinya juga, Mai. Kira-kira lo bisa bantu gue gak? Cuma dua hari, kok. Sabtu-Minggu ini doang.” jelas Salsa yang juga tengah menghadap sepiring karedok di mejanya.

“Ooh… hmm… boleh dah. Tapi lo traktir makan siang gue dua hari itu, ya.” jawab Mai singkat. Mendengar permintaan Salsa itu, Mai tiba-tiba jadi sedikit penasaran dengan apa yang sedang diteliti temannya itu.

Hari Sabtu itu, Mai dan Salsa mempersiapkan diri sejak pagi hari. Salsa baru saja selesai memberi instruksi pada Mai tentang apa saja yang harus dilakukannya nanti.

“Gimana? Udah jelas kan, Mai? Ada yang masih bingung gak?” tanya Salsa menguji kepahaman Mai.

Mai yang tampak mengecek handy cam yang akan digunakannya nanti pun menjawab, “Oh, gampang kok kerjaan gue entar. Tenang aja, Sa. Lo bisa ngandalin gue.”

“Oke deh, Mai. Gue percaya sama lo kalo gitu. Ya udah, yuk berangkat sekarang. Keburu siang, nih.” ajak Salsa seraya membereskan perlengkapan observasi lingkungannya. Langkahnya pun diikuti oleh Mai yang kini sudah memasang head set di telinganya. Seperti biasa, lagu-lagu K-Pop yang mengisi Ipod-nya juga akan menjadi musik pengiring aktivitasnya hari itu.

Mai dan Salsa kini sudah berada di atas sepeda motor Salsa. Mai yang berada di jok belakang tiba-tiba menanyakan satu hal pada Salsa. “Eh, Sa. Ngomong-ngomong lo mau observasi di mana, sih? Lo kan belom cerita sama sekali ke gue kemana kita bakal pergi.”

Salsa yang mendengar pertanyaan itu segera menjawab, “Lah, gue kira lo gak mau tau, Mai. Lagian lo cuma butuh ngerekam aja kok entar. Udah tunggu aja kita sampai di sana nanti, ya. Pegangan, gue mau ngebut, nih!”

Setelah berkendara kurang lebih selama hampir 2 jam, mereka akhirnya sampai juga di lokasi observasi lapangan Salsa. Begitu turun dari sepeda motor, Mai tampak mengamati daerah itu. Masih dapat diingatnya gapura besar yang mereka lewati ketika masuk tadi. Gapura utama dengan tulisan besar berbunyi ‘Pintu Masuk I Bang Pitung, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan’.

“Sa, ini tempat apaan? Gue belom pernah kemari sebelumnya. Kok, lo penelitian di sini, sih?” tanya Mai sedikit heran.

“Lah, kagak usah heran gitu, Mai. Gue kan anak Sosiologi. Gue itu mau ansos tentang kehidupan sosial dan kultural di pemukiman ini, Mai.” terang Salsa menyampaikan maksud penelitiannya yang belum pernah diberitahukannya pada Mai.

Mai masih tampak terpaku pada penampakan wilayah itu. Sebuah pemukiman penduduk di bilangan Jakarta Selatan. Perkampungan ini berada di perbatasan provinsi DKI Jakarta dengan kota Depok. Begitu menginjakkan kaki di sana, Mai langsung disuguhi pemandangan yang begitu tak biasa. Jelas saja, karena daerah yang tengah ia pijaki sekarang ini merupakan perkampungan budaya dan wisata DKI Jakarta. Wilayah ini merupakan sebuah kampung wisata yang memang dibangun dengan nilai-nilai budaya Betawi yang sangat kental. Daerah ini dikenal dengan nama Setu Babakan, sesuai nama yang terpampang di gapura pintu masuk tadi.

Di sana-sini dapat dilihat oleh Mai keseharian warga yang diwarnai dengan sentuhan budaya, Betawi. Sebagian besar warga yang tinggal di kawasan ini adalah orang Betawi asli. Hal ini terbukti dengan logat bicara khas Betawi yang terdengar jelas dari sejumlah percakapan mereka.

Masih banyak pula ditemukan hunian tradisional asli Betawi yang disebut rumah kebaya atau rumah bapang. Rumah ini berkonsep semi terbuka dengan teras yang luas. Atapnya dihiasi ornamen khas Betawi yang disebut gigi balang. Rumah-rumah itu benar-benar masih berdiri dan digunakan oleh warga sebagai tempat tinggal mereka. Tidak seperti dugaan Mai sebelumnya yang menyangka bahwa rumah-rumah itu hanya museum untuk tujuan wisata.

Warga di sana juga banyak yang tampak masih mengenakan pakaian khas Betawi. Tak peduli berapa pun usia mereka. Mereka tampak nyaman-nyaman saja mengenakan model busana itu kesana-kemari. Kaos lengan pendek dengan celana kain batik yang sangat khas. Ditambah sabuk tradisonal Betawi yang masih setia dikenakan oleh para pria muda sampai orang tua.

“Ayo, Mai. Kita cabut sekarang aja. Gue ada janji sama Babe Sadeli di sanggar.” Salsa tak sengaja menghenyakkan Mai yang tadi sempat terlamun di tempatnya semula.

“Eh, e… iya.” Mai yang terperanjat membalas ajakan Salsa seadanya. Ia segera mengikuti langkah kaki Salsa menuju tempat bertemunya dengan seseorang yang tadi Salsa sebutkan. Mata Mai masih saja mengawasi daerah di sekitarnya lekat.
***
Sesuai instruksi dari Salsa tadi, Mai merekam keseharian sekitar sanggar sementara Salsa tengah mencari orang yang akan ditemuinya di dalam. Mai mengarahkan lensa handy cam yang dipegangnya ke segala penjuru tempat itu. Sebuah bangunan bernuansa khas Betawi, dengan pelataran luas di bagian depan. Pelataran ini merupakan semacam bale-bale, dan ternyata digunakan untuk menggelar pelatihan kesenian yang diajarkan di sanggar ini.

Sepertinya kegiatan rutin di sanggar belum dimulai hari itu. Tempat itu tampak masih sepi. Sehingga Mai baru bisa memperoleh sedikit gambaran profil yang bisa didokumentasikannya. Sambil mengambil gambar sudut-sudut ruangan yang semi terbuka itu, Mai tampak sedikit menggerak-gerakkan kepala dan menggumamkan kata-kata lirih. Rupanya lagu-lagu K-Pop kesayangannya masih setia berdendang di telinganya.

Tak lama kemudian, Salsa keluar bersama seorang pria separuh baya yang juga mengenakan pakaian yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenakan oleh pria-pria yang mereka temui tadi di muka kampung. Salsa tampak langsung terlibat perbincangan yang cukup serius dengan orang itu. Rupanya Salsa tidak berniat membuang waktunya di sana. Mai segera mengambil inisiatif untuk mendokumentasikan perbincangan itu, setelah sebelumnya diperkenalkan oleh Salsa sebagai teman yang membantu penelitiannya.

Dari perbincangan yang Mai ikuti melalui layar kecil handy cam di genggamannya, Mai mengetahui bahwa orang yang dipanggil Salsa dengan nama Babe Sadeli ini merupakan kepala pengelola sanggar kesenian Betawi itu. Dalam wawancara itu, Babe Sadeli banyak menjelaskan pada Salsa tentang keseharian di sanggar keseniannya yang diramaikan oleh warga sekitar, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.

Di tengah perbincangan itu, bale-bale tempat mereka berdiri tiba-tiba diramaikan oleh anak-anak yang mulai berdatangan. Rupanya mereka adalah anak-anak yang rutin berlatih kesenian di sanggar sepulang sekolah. Pantas saja sepagi tadi sanggar itu tampak lengang, ternyata yang meramaikannya saja masih di sekolah.

Babe Sadeli menerangkan bahwa anak-anak ini tergabung dalam kelompok tari Ngaronjeng anak didik sanggar keseniannya. Yang kelas 1 SD masih tergolong pemula, karena mereka baru mulai bergabung sejak 6 bulan yang lalu. Sementara yang kelas 2 dan 3 SD, merupakan penari topeng cilik yang sudah mahir. Mereka kerap memenuhi undangan pentas di berbagai acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta, selain tampil di pagelaran seni yang rutin diselenggarakan di kampung Setu Babakan. Sehari-hari mereka dilatih oleh Nurlaila, puteri sulung Babe Sadeli yang akrab dipanggil Mpok Lela. Mpok Lela sendiri tampak baru keluar dari dalam sanggar dengan membawa sejumlah selendang sebagai perlengkapan latihan. Sudah waktunya ia melatih anak-anak itu menari.

Mai dan Salsa pun berkesempatan menyaksikan anak-anak kecil itu berlatih menarikan tari Ngaronjeng. Sebuah pengalaman pertama bagi mereka. Pemandangan itu pun tak disia-siakan oleh Mai yang segera mengabadikannya dengan kamera. Penari-penari cilik itu tampak piawai sekali membawakan tarian itu mengikuti instruksi dari Mpok Lela.

Mai yang semula mengira bahwa tarian itu akan membosankan untuk ditonton, segera berubah pikiran setelah memperhatikan keluwesan bocah-bocah cilik itu selama beberapa menit. Lagu K-Pop yang semula masih asyik didengarkan Mai pun seketika ia matikan demi menikmati keselarasan gerak adik-adik penari itu dengan alunan musik pengiring khas Betawi.

Entah mengapa Mai merasa seolah tersihir oleh penampilan gadis-gadis kecil itu. Menurut Babe Sadeli, anak-anak itu mendaftarkan diri mereka sendiri ke sanggar dengan sukarela untuk menjadi penari Ngaronjeng. Tak ada satu pun yang berlatih menari atas paksaan dari orang tuanya. Mereka semua selalu tampak ceria selama mengikuti latihan tari Ngaronjeng. Itulah mengapa Babe Sadeli tak pernah sedikit pun berpikir untuk menghentikan kegiatan rutin di sanggar keseniannya itu. Karena Babe Sadeli bisa merasakan keinginan yang sangat besar dari anak-anak sekitar kampung Setu Babakan untuk mempelajari budaya Betawi, terutama tari Ngaronjeng. Begitulah penuturan pria berusia 55 tahun itu dalam perbincangannya dengan Salsa, yang juga masih diikuti oleh Mai dari balik lensa kameranya.

Mendengar jawaban itu, Mai begitu terkesima pada semangat anak-anak belia yang begitu mencintai kesenian Betawi itu. Benar-benar sebuah kenyataan yang jarang sekali ditemukan Mai di zaman sekarang ini.
***
Keesokan harinya, Mai yang masih setia menyertai perjalanan observasi lapangan Salsa di kampong budaya Betawi Setu Babakan, mendapati sebuah kenyataan yang begitu menghentakkan hati Mai.

Hari Minggu itu menjadi jadwal kelompok kesenian gambang kromong untuk menyuguhkan penampilan mereka di atas pentas. Mai dan Salsa yang tengah melewati panggung kesenian di tengah kampung pun tertarik untuk menyaksikan pertunjukkan itu. Satu hal yang membuat Mai begitu terhenyak ialah bahwa pemain alat-alat musik di kelompok gambang kromong itu merupakan para pria yang sudah tidak tergolong muda lagi. Bahkan ada salah seorang di antara mereka yang sudah tampak sepuh, namun terlihat masih begitu bersemangat memukul alat musik perkusi yang dimainkannya.

Kali ini Mai tidak hanya terkesima oleh alunan musik gambang kromong yang begitu syahdu dan klasik. Namun Mai juga sangat terkejut menyadari kenyataan bahwa di daerah yang cukup subur dengan budaya seperti ini saja, masih ditemukannya seorang tua yang masih setia menekuni kesenian Betawi itu. Mai begitu tak habis pikir, memangnya pergi kemana anak-anak muda itu? Mengapa bapak yang sudah sepuh itu masih harus naik panggung untuk melantunkan musik gambang kromong itu sendiri? Tidakkah ada pemuda-pemuda yang bersedia menggantikannya? Pikiran-pikiran itu seketika mengganggu Mai. Namun di saat yang sama, ia pun menyadari sesuatu. Pertanyaan yang sama untuk dirinya sendiri.

“Mai, balik sekarang, yuk! Kayaknya data dan dokumentasi yang gue butuhin udah cukup, deh.” suara Salsa seketika membuyarkan lamunan Mai.

“Oh, gitu. Ayo, dah! Oh iya, by the way, makasih banget ya, Sa.” tanggap Mai sambil mengikuti langkah Salsa menuju tempat parkir.

“Gue kali yang terima kasih sama lo, Mai. Jadi ngerepotin lo, nih. Ngapain lo terima kasih ke gue segala? Oh, makan siang gratis 2 hari ini?” timpal Salsa yang tengah mengenakan helmnya.

“Makasih juga buat yang itu, sih. Tapi ada hal lain yang bikin gue berterima kasih sama lo, Sa.” ujar Mai.

“Ah, sok melankolis lo, Mai. Terserah lo aja, lah. Yuk, buruan naik! Keburu malem, nih. Bentar lagi jadwalnya nonton drama Korea kesukaan lo juga, kan?” perintah Salsa yang sudah siap di atas sepeda motornya.

“Eh… Drama Korea, ya?” Tiba-tiba hanya tersisa senyum miris Mai begitu ia mengingat hal itu.
***
Pagi itu Salsa tampak sedang menikmati sarapannya di ruang makan sambil membolak-balik tabloid harian langganannya yang baru saja diantar. Satu demi satu berita di dalamnya Salsa telusuri sambil mengunyah sesendok nasi goreng buatan ibunya yang baru saja dilahapnya. Itulah rutinitasnya setiap pagi sebelum berangkat ke kampus. Kali ini Salsa tengah menjalani pendidikan pascasarjananya di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di kota kelahirannya, Yogyakarta.

Salsa masih asyik dengan nasi gorengnya yang kini tinggal setengah piring, ketika ia berhenti di satu halaman berita di tabloid itu yang amat sangat mengejutkannya. Salsa sampai kesulitan menelan butiran nasi goreng yang telah dikunyahnya ketika dibacanya berita itu sekali lagi. “Maimunah Fitria? Duta Budaya?” kata-kata itu keluar begitu saja, sebab Salsa seolah tidak bisa mempercayai apa yang baru saja diketahuinya.

Artikel itu menuliskan berita tentang dinobatkannya Maimunah-teman sekamar kosnya dulu yang kini telah berpisah dengannya semenjak menyelesaikan pendidikan S1-sebagai Duta Budaya oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Berita itu dilengkapi dengan foto Mai yang tampil cantik dengan kebaya berwarna biru, lengkap dengan rok batik nan serasi yang dikenakannya ketika menghadiri undangan Kemenbudpar untuk menerima tugas khusus sebagai Duta Budaya Indonesia.

Menurut berita yang ditulis di halaman tabloid tersebut, Mai berhasil meraih prestasi yang membanggakan itu berkat kontribusinya selama ini yang telah berhasil memperkenalkan berbagai budaya dan kesenian daerah di Indonesia melalui sebuah situs resmi yang dikelolanya. Situs itu menjadi favorit banyak pembaca, bahkan sampai menarik perhatian dunia internasional. Selain itu aktivitasnya selama 2 tahun belakangan ini sebagai penggiat di salah satu komunitas pemerhati budaya di Indonesia, juga menjadi salah satu alasan yang membuatnya pantas menyandang gelar tersebut. Mai pun akan mulai menjalankan tugasnya sebagai Duta Budaya yang akan memperkenalkan kebudayaan Indonesia langsung ke sejumlah negara di Eropa, Amerika, dan Australia selama masa jabatannya satu tahun ke depan.

Salsa yang baru bisa mempercayai berita itu setelah memperhatikan wajah di foto itu lekat-lekat, benar-benar tak habis pikir. Mai, ini beneran lo? Lo udah banyak berubah ya, Mai. Gue salut banget sama lo. Senyum Salsa terkembang mengakhiri gumaman dalam hatinya, ketika teringat sahabatnya yang satu itu yang dulu dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai pecinta Korea sejati. Mai… Mai. Gue seneng akhirnya lo bisa nemuin kecintaan lo yang sebenernya. Semangat terus ya, Mai!


[1] Sumber gambar: http://koreanindo.net/2012/12/26/info-9-maret-2013-music-bank-in-jakarta/
[2] K-Pop: istilah untuk musik dan hiburan yang berasal dari Korea Selatan.

No comments:

Post a Comment