![]() |
[1] Mae Moon Ah likes this. |
Maimunah tampak baru saja mengklik tanda
bertuliskan ‘Like’ pada iklan yang
muncul di halaman muka akun jejaring sosialnya itu. Sebuah info komersial yang
mempromosikan acara konser salah satu program musik ternama di Korea Selatan.
Acara musik tersebut akan mendatangkan sejumlah boy band dan girl band asal
negeri ginseng itu.
“Sa, liat sini, deh!”
lonjak Maimunah seraya menarik lengan baju Salsabila, sahabatnya yang tengah
berkonsentrasi menyelesaikan proposal penelitian tugas akhirnya.
“Apaan
sih, Mai? Heboh banget kayaknya. Proposal gue lagi nanggung, nih.” ujar Salsa
yang merasa ketenangannya terusik oleh tingkah Mai yang mengejutkan.
“Ini lho, Sa. Mu Bank
mau ke Jakarta! Ya ampun, pasti keren banget. Ada Suju, Shinee, Sistar, banyak
banget, Sa. Gue pengen banget nonton ke sana. Bisa gak ya, Sa? Aduh, bentar
lagi nih, acaranya.” ucap Mai dengan penuh antusias.
Salsa yang semula ikut
penasaran akibat pekikan antusias Mai tadi, seketika mengubah air mukanya
begitu mendengar jawaban dari teman sekamarnya itu. “Yailah. Korea lagi? Gue
kira apaan, Mai. Bikin kaget aja, lo. Nyesel gue penasaran segala.” Salsa pun
segera kembali berkutat dengan pekerjaannya semula setelah dikecewakan oleh apa
yang baru saja didengarnya.
Salsa amat mengenal
Maimunah. Dia sangat memahami segala hal tentang sahabatnya yang satu itu.
Termasuk kecintaan Mai terhadap beraneka hal yang berbau budaya salah satu negara
yang kini tengah naik daun itu. Salsa tahu bahwa Mai selama ini tidak pernah
bisa melepaskan diri dari demam budaya Korea yang sudah menjelma bagaikan virus
di negeri ini. Mai teramat sangat menggemari segala hal yang berasal dari
negara itu.
Setiap waktu luang
selalu dimanfaatkan Mai untuk mendengarkan lagu-lagu K-Pop[2]
koleksinya. Setiap malam pun Salsa selalu menemukan Mai yang tengah asyik
menonton drama Korea terbaru hasil unduhannya sendiri dari internet. Sebagian dari drama-drama tersebut juga Mai peroleh dari
teman-temannya sesama pecinta K-Pop. Salsa sendiri tahu bahwa Mai menyediakan
jadwal khusus setiap malam untuk menonton drama-drama Korea favoritnya itu.
Meskipun sudah tinggal
sekamar dengan Mai selama hampir 3 tahun, namun Salsa tidak pernah merasa
menggemari apa yang digilai oleh teman sekamarnya itu. Entah mengapa. Hanya
saja Salsa tidak merasa tertarik pada jenis hiburan semacam itu. Salsa memang
seorang gadis yang terkesan tidak banyak bertingkah. Bagi Salsa yang menjadi
fokus utama baginya ialah studi yang sedang ia jalani di perguruan tinggi. Ia
tidak ingin menganggu konsentrasinya dengan bermacam hal yang menurutnya kurang
penting.
Meskipun begitu, Salsa
tidak pernah sedikit pun membenci apa yang dilakukan oleh Mai. Bagi Salsa,
apapun yang dilakukan sahabatnya itu adalah pilihan Mai sendiri. Salsa hanya
bisa berusaha menghormati apa yang menjadi pilihan Mai itu. Salsa pun selama
ini tak pernah merasa terganggu dengan kebiasaan unik teman sekamarnya itu.
***
Kecintaan Maimunah pada
musik dan budaya Korea memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Aksi piawai
selebritis Korea idolanya di atas panggung musik maupun di dalam layar drama
yang sering ditonton Mai, mampu membuatnya terkesima dan semakin mengidolakan
mereka.
Saking cintanya Mai
pada budaya Korea, ia bahkan memiliki cita-cita untuk bisa pergi ke negeri
ginseng itu, demi menjalani sendiri pengalaman kehidupan dengan budaya Korea
dalam kesehariannya.
Salah satu bukti
cintanya pada budaya Korea ditunjukkan Mai dalam akun jejaring sosialnya. Mai tidak
menggunakan nama aslinya-Maimunah Fitria-sebagai nama akunnya. Tapi Mai sengaja
menggunakan namanya yang ia modifikasi sendiri ala Korea, sebagai nama pada
akun jejaring sosialnya itu.
“Mai, nama FB lo kok
gitu, sih? Mae Moon Ah? Apa coba? Alay, tau!” kata Salsa ketika baru mengetahui
nama akun Facebook Mai.
“Ah, biarin aja, Sa.
Keren lagi, kayak nama Korea, kan? Kalo nama FB gue kayak gitu, nanti kan bisa
disangkain orang Korea beneran. Terus, entar orang-orang Korea asli kan jadi
tertarik buat add gue juga.” terang
Mai sambil tersenyum-senyum sendiri.
Mai memang tak pernah
merasa bermasalah dengan kegemarannya terhadap budaya Korea itu. Selama ini ia
hanya menganggap itu sebagai bentuk hiburan. Makin dinikmatinya hiburan itu,
Mai makin merasa tidak bisa meninggalkannya. Ada semacam rasa ketergantungan
yang membuat Mai selalu ingin menikmati kesenangan yang sama ketika
mendengarkan musik atau menonton drama-drama Korea. Begitulah kebiasaan itu
tumbuh menjadi kebutuhan untuk memuaskan keinginan Mai akan hiburan-hiburan
Korea. Mai pun telah mejadi bagian dari para pecinta Korea yang begitu
mendewakan kebudayaan asing itu.
***
“Mai, weekend besok lo sibuk gak?” tanya Salsa
pada Mai siang itu, saat tengah menikmati santap siang mereka di kantin kampus.
Mai masih tampak
mengunyah tempe bacem yang baru saja dilahapnya. “Gue gak ada agenda, sih.
Emang kenapa, Sa?” jawabnya yang langsung dilanjutkan dengan menyantap sesendok
lagi nasi campur yang dipesannya.
“Gue kan baru mulai penelitian
nih, Mai. Nah, gue itu mau bikin analisis sosial gitu. Rencananya nanti gue mau
pergi ke suatu tempat. Di sana gue bakal wawancarain beberapa narasumber. Nah,
gue butuh bantuan lo nih, buat jadi kameramen. Soalnya nanti gue butuh bikin
video dokumentasinya juga, Mai. Kira-kira lo bisa bantu gue gak? Cuma dua hari,
kok. Sabtu-Minggu ini doang.” jelas Salsa yang juga tengah menghadap sepiring
karedok di mejanya.
“Ooh… hmm… boleh dah.
Tapi lo traktir makan siang gue dua hari itu, ya.” jawab Mai singkat. Mendengar
permintaan Salsa itu, Mai tiba-tiba jadi sedikit penasaran dengan apa yang
sedang diteliti temannya itu.
Hari Sabtu itu, Mai dan
Salsa mempersiapkan diri sejak pagi hari. Salsa baru saja selesai memberi
instruksi pada Mai tentang apa saja yang harus dilakukannya nanti.
“Gimana? Udah jelas
kan, Mai? Ada yang masih bingung gak?” tanya Salsa menguji kepahaman Mai.
Mai yang tampak mengecek
handy cam yang akan digunakannya
nanti pun menjawab, “Oh, gampang kok kerjaan gue entar. Tenang aja, Sa. Lo bisa
ngandalin gue.”
“Oke deh, Mai. Gue
percaya sama lo kalo gitu. Ya udah, yuk berangkat sekarang. Keburu siang, nih.”
ajak Salsa seraya membereskan perlengkapan observasi lingkungannya. Langkahnya
pun diikuti oleh Mai yang kini sudah memasang head set di telinganya. Seperti biasa, lagu-lagu K-Pop yang mengisi
Ipod-nya juga akan menjadi musik pengiring aktivitasnya hari itu.
Mai dan Salsa kini
sudah berada di atas sepeda motor Salsa. Mai yang berada di jok belakang
tiba-tiba menanyakan satu hal pada Salsa. “Eh, Sa. Ngomong-ngomong lo mau
observasi di mana, sih? Lo kan belom cerita sama sekali ke gue kemana kita
bakal pergi.”
Salsa yang mendengar
pertanyaan itu segera menjawab, “Lah, gue kira lo gak mau tau, Mai. Lagian lo cuma
butuh ngerekam aja kok entar. Udah tunggu aja kita sampai di sana nanti, ya.
Pegangan, gue mau ngebut, nih!”
Setelah berkendara
kurang lebih selama hampir 2 jam, mereka akhirnya sampai juga di lokasi observasi
lapangan Salsa. Begitu turun dari sepeda motor, Mai tampak mengamati daerah
itu. Masih dapat diingatnya gapura besar yang mereka lewati ketika masuk tadi.
Gapura utama dengan tulisan besar berbunyi ‘Pintu Masuk I Bang Pitung,
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan’.
“Sa, ini tempat apaan? Gue
belom pernah kemari sebelumnya. Kok, lo penelitian di sini, sih?” tanya Mai
sedikit heran.
“Lah, kagak usah heran
gitu, Mai. Gue kan anak Sosiologi. Gue itu mau ansos tentang kehidupan sosial
dan kultural di pemukiman ini, Mai.” terang Salsa menyampaikan maksud
penelitiannya yang belum pernah diberitahukannya pada Mai.
Mai masih tampak
terpaku pada penampakan wilayah itu. Sebuah pemukiman penduduk di bilangan
Jakarta Selatan. Perkampungan ini berada di perbatasan provinsi DKI Jakarta
dengan kota Depok. Begitu menginjakkan kaki di sana, Mai langsung disuguhi
pemandangan yang begitu tak biasa. Jelas saja, karena daerah yang tengah ia
pijaki sekarang ini merupakan perkampungan budaya dan wisata DKI Jakarta. Wilayah
ini merupakan sebuah kampung wisata yang memang dibangun dengan nilai-nilai
budaya Betawi yang sangat kental. Daerah ini dikenal dengan nama Setu Babakan,
sesuai nama yang terpampang di gapura pintu masuk tadi.
Di sana-sini dapat
dilihat oleh Mai keseharian warga yang diwarnai dengan sentuhan budaya, Betawi.
Sebagian besar warga yang tinggal di kawasan ini adalah orang Betawi asli. Hal
ini terbukti dengan logat bicara khas Betawi yang terdengar jelas dari sejumlah
percakapan mereka.
Masih banyak pula
ditemukan hunian tradisional asli Betawi yang disebut rumah kebaya atau rumah
bapang. Rumah ini berkonsep semi terbuka dengan teras yang luas. Atapnya
dihiasi ornamen khas Betawi yang disebut gigi balang. Rumah-rumah itu benar-benar
masih berdiri dan digunakan oleh warga sebagai tempat tinggal mereka. Tidak
seperti dugaan Mai sebelumnya yang menyangka bahwa rumah-rumah itu hanya museum
untuk tujuan wisata.
Warga di sana juga banyak
yang tampak masih mengenakan pakaian khas Betawi. Tak peduli berapa pun usia
mereka. Mereka tampak nyaman-nyaman saja mengenakan model busana itu
kesana-kemari. Kaos lengan pendek dengan celana kain batik yang sangat khas.
Ditambah sabuk tradisonal Betawi yang masih setia dikenakan oleh para pria muda
sampai orang tua.
“Ayo, Mai. Kita cabut
sekarang aja. Gue ada janji sama Babe Sadeli di sanggar.” Salsa tak sengaja
menghenyakkan Mai yang tadi sempat terlamun di tempatnya semula.
“Eh, e… iya.” Mai yang
terperanjat membalas ajakan Salsa seadanya. Ia segera mengikuti langkah kaki
Salsa menuju tempat bertemunya dengan seseorang yang tadi Salsa sebutkan. Mata
Mai masih saja mengawasi daerah di sekitarnya lekat.
***
Sesuai instruksi dari
Salsa tadi, Mai merekam keseharian sekitar sanggar sementara Salsa tengah
mencari orang yang akan ditemuinya di dalam. Mai mengarahkan lensa handy cam yang dipegangnya ke segala
penjuru tempat itu. Sebuah bangunan bernuansa khas Betawi, dengan pelataran
luas di bagian depan. Pelataran ini merupakan semacam bale-bale, dan ternyata
digunakan untuk menggelar pelatihan kesenian yang diajarkan di sanggar ini.
Sepertinya kegiatan
rutin di sanggar belum dimulai hari itu. Tempat itu tampak masih sepi. Sehingga
Mai baru bisa memperoleh sedikit gambaran profil yang bisa didokumentasikannya.
Sambil mengambil gambar sudut-sudut ruangan yang semi terbuka itu, Mai tampak
sedikit menggerak-gerakkan kepala dan menggumamkan kata-kata lirih. Rupanya
lagu-lagu K-Pop kesayangannya masih setia berdendang di telinganya.
Tak lama kemudian,
Salsa keluar bersama seorang pria separuh baya yang juga mengenakan pakaian
yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenakan oleh pria-pria yang mereka
temui tadi di muka kampung. Salsa tampak langsung terlibat perbincangan yang
cukup serius dengan orang itu. Rupanya Salsa tidak berniat membuang waktunya di
sana. Mai segera mengambil inisiatif untuk mendokumentasikan perbincangan itu,
setelah sebelumnya diperkenalkan oleh Salsa sebagai teman yang membantu
penelitiannya.
Dari perbincangan yang Mai
ikuti melalui layar kecil handy cam di
genggamannya, Mai mengetahui bahwa orang yang dipanggil Salsa dengan nama Babe
Sadeli ini merupakan kepala pengelola sanggar kesenian Betawi itu. Dalam
wawancara itu, Babe Sadeli banyak menjelaskan pada Salsa tentang keseharian di sanggar
keseniannya yang diramaikan oleh warga sekitar, mulai dari anak-anak sampai
orang dewasa.
Di tengah perbincangan
itu, bale-bale tempat mereka berdiri tiba-tiba diramaikan oleh anak-anak yang
mulai berdatangan. Rupanya mereka adalah anak-anak yang rutin berlatih kesenian
di sanggar sepulang sekolah. Pantas saja sepagi tadi sanggar itu tampak
lengang, ternyata yang meramaikannya saja masih di sekolah.
Babe Sadeli menerangkan
bahwa anak-anak ini tergabung dalam kelompok tari Ngaronjeng anak didik sanggar
keseniannya. Yang kelas 1 SD masih tergolong pemula, karena mereka baru mulai
bergabung sejak 6 bulan yang lalu. Sementara yang kelas 2 dan 3 SD, merupakan
penari topeng cilik yang sudah mahir. Mereka kerap memenuhi undangan pentas di
berbagai acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta,
selain tampil di pagelaran seni yang rutin diselenggarakan di kampung Setu
Babakan. Sehari-hari mereka dilatih oleh Nurlaila, puteri sulung Babe Sadeli
yang akrab dipanggil Mpok Lela. Mpok Lela sendiri tampak baru keluar dari dalam
sanggar dengan membawa sejumlah selendang sebagai perlengkapan latihan. Sudah
waktunya ia melatih anak-anak itu menari.
Mai dan Salsa pun
berkesempatan menyaksikan anak-anak kecil itu berlatih menarikan tari
Ngaronjeng. Sebuah pengalaman pertama bagi mereka. Pemandangan itu pun tak
disia-siakan oleh Mai yang segera mengabadikannya dengan kamera. Penari-penari
cilik itu tampak piawai sekali membawakan tarian itu mengikuti instruksi dari
Mpok Lela.
Mai yang semula mengira
bahwa tarian itu akan membosankan untuk ditonton, segera berubah pikiran
setelah memperhatikan keluwesan bocah-bocah cilik itu selama beberapa menit.
Lagu K-Pop yang semula masih asyik didengarkan Mai pun seketika ia matikan demi
menikmati keselarasan gerak adik-adik penari itu dengan alunan musik pengiring
khas Betawi.
Entah mengapa Mai merasa
seolah tersihir oleh penampilan gadis-gadis kecil itu. Menurut Babe Sadeli,
anak-anak itu mendaftarkan diri mereka sendiri ke sanggar dengan sukarela untuk
menjadi penari Ngaronjeng. Tak ada satu pun yang berlatih menari atas paksaan
dari orang tuanya. Mereka semua selalu tampak ceria selama mengikuti latihan
tari Ngaronjeng. Itulah mengapa Babe Sadeli tak pernah sedikit pun berpikir
untuk menghentikan kegiatan rutin di sanggar keseniannya itu. Karena Babe
Sadeli bisa merasakan keinginan yang sangat besar dari anak-anak sekitar
kampung Setu Babakan untuk mempelajari budaya Betawi, terutama tari Ngaronjeng.
Begitulah penuturan pria berusia 55 tahun itu dalam perbincangannya dengan
Salsa, yang juga masih diikuti oleh Mai dari balik lensa kameranya.
Mendengar jawaban itu,
Mai begitu terkesima pada semangat anak-anak belia yang begitu mencintai
kesenian Betawi itu. Benar-benar sebuah kenyataan yang jarang sekali ditemukan
Mai di zaman sekarang ini.
***
Keesokan harinya, Mai
yang masih setia menyertai perjalanan observasi lapangan Salsa di kampong
budaya Betawi Setu Babakan, mendapati sebuah kenyataan yang begitu
menghentakkan hati Mai.
Hari Minggu itu menjadi
jadwal kelompok kesenian gambang kromong untuk menyuguhkan penampilan mereka di
atas pentas. Mai dan Salsa yang tengah melewati panggung kesenian di tengah
kampung pun tertarik untuk menyaksikan pertunjukkan itu. Satu hal yang membuat
Mai begitu terhenyak ialah bahwa pemain alat-alat musik di kelompok gambang
kromong itu merupakan para pria yang sudah tidak tergolong muda lagi. Bahkan
ada salah seorang di antara mereka yang sudah tampak sepuh, namun terlihat
masih begitu bersemangat memukul alat musik perkusi yang dimainkannya.
Kali ini Mai tidak
hanya terkesima oleh alunan musik gambang kromong yang begitu syahdu dan klasik.
Namun Mai juga sangat terkejut menyadari kenyataan bahwa di daerah yang cukup
subur dengan budaya seperti ini saja, masih ditemukannya seorang tua yang masih
setia menekuni kesenian Betawi itu. Mai begitu tak habis pikir, memangnya pergi
kemana anak-anak muda itu? Mengapa bapak yang sudah sepuh itu masih harus naik
panggung untuk melantunkan musik gambang kromong itu sendiri? Tidakkah ada
pemuda-pemuda yang bersedia menggantikannya? Pikiran-pikiran itu seketika
mengganggu Mai. Namun di saat yang sama, ia pun menyadari sesuatu. Pertanyaan
yang sama untuk dirinya sendiri.
“Mai, balik sekarang,
yuk! Kayaknya data dan dokumentasi yang gue butuhin udah cukup, deh.” suara
Salsa seketika membuyarkan lamunan Mai.
“Oh, gitu. Ayo, dah! Oh
iya, by the way, makasih banget ya,
Sa.” tanggap Mai sambil mengikuti langkah Salsa menuju tempat parkir.
“Gue kali yang terima
kasih sama lo, Mai. Jadi ngerepotin lo, nih. Ngapain lo terima kasih ke gue
segala? Oh, makan siang gratis 2 hari ini?” timpal Salsa yang tengah mengenakan
helmnya.
“Makasih juga buat yang
itu, sih. Tapi ada hal lain yang bikin gue berterima kasih sama lo, Sa.” ujar
Mai.
“Ah, sok melankolis lo,
Mai. Terserah lo aja, lah. Yuk, buruan naik! Keburu malem, nih. Bentar lagi jadwalnya
nonton drama Korea kesukaan lo juga, kan?” perintah Salsa yang sudah siap di
atas sepeda motornya.
“Eh… Drama Korea, ya?”
Tiba-tiba hanya tersisa senyum miris Mai begitu ia mengingat hal itu.
***
Pagi itu Salsa tampak
sedang menikmati sarapannya di ruang makan sambil membolak-balik tabloid harian
langganannya yang baru saja diantar. Satu demi satu berita di dalamnya Salsa
telusuri sambil mengunyah sesendok nasi goreng buatan ibunya yang baru saja
dilahapnya. Itulah rutinitasnya setiap pagi sebelum berangkat ke kampus. Kali
ini Salsa tengah menjalani pendidikan pascasarjananya di sebuah perguruan
tinggi negeri ternama di kota kelahirannya, Yogyakarta.
Salsa masih asyik
dengan nasi gorengnya yang kini tinggal setengah piring, ketika ia berhenti di
satu halaman berita di tabloid itu yang amat sangat mengejutkannya. Salsa
sampai kesulitan menelan butiran nasi goreng yang telah dikunyahnya ketika
dibacanya berita itu sekali lagi. “Maimunah Fitria? Duta Budaya?” kata-kata itu
keluar begitu saja, sebab Salsa seolah tidak bisa mempercayai apa yang baru
saja diketahuinya.
Artikel itu menuliskan
berita tentang dinobatkannya Maimunah-teman sekamar kosnya dulu yang kini telah
berpisah dengannya semenjak menyelesaikan pendidikan S1-sebagai Duta Budaya
oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Berita itu
dilengkapi dengan foto Mai yang tampil cantik dengan kebaya berwarna biru,
lengkap dengan rok batik nan serasi yang dikenakannya ketika menghadiri
undangan Kemenbudpar untuk menerima tugas khusus sebagai Duta Budaya Indonesia.
Menurut berita yang
ditulis di halaman tabloid tersebut, Mai berhasil meraih prestasi yang
membanggakan itu berkat kontribusinya selama ini yang telah berhasil memperkenalkan
berbagai budaya dan kesenian daerah di Indonesia melalui sebuah situs resmi
yang dikelolanya. Situs itu menjadi favorit banyak pembaca, bahkan sampai menarik
perhatian dunia internasional. Selain itu aktivitasnya selama 2 tahun
belakangan ini sebagai penggiat di salah satu komunitas pemerhati budaya di Indonesia,
juga menjadi salah satu alasan yang membuatnya pantas menyandang gelar
tersebut. Mai pun akan mulai menjalankan tugasnya sebagai Duta Budaya yang akan
memperkenalkan kebudayaan Indonesia langsung ke sejumlah negara di Eropa,
Amerika, dan Australia selama masa jabatannya satu tahun ke depan.
Salsa yang baru bisa
mempercayai berita itu setelah memperhatikan wajah di foto itu lekat-lekat,
benar-benar tak habis pikir. Mai, ini
beneran lo? Lo udah banyak berubah ya, Mai. Gue salut banget sama lo. Senyum
Salsa terkembang mengakhiri gumaman dalam hatinya, ketika teringat sahabatnya
yang satu itu yang dulu dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai pecinta
Korea sejati. Mai… Mai. Gue seneng
akhirnya lo bisa nemuin kecintaan lo yang sebenernya. Semangat terus ya, Mai!
No comments:
Post a Comment