Wednesday, 20 March 2013

Calon Menantu Idaman?

Lihatlah setelan necis itu! Jas hitam, dipadu dengan dasi bergaris berwarna senada, juga celana pantalon yang pas dengan kedua kaki jenjangnya. Rambut Jajang pun tampak bergaya dengan jeli rambut yang membuatnya tak berubah kuyu meski diterpa angin. Belum lagi sepatunya yang hitam mengkilat, makin mempertegas penampilannya hari ini. 
 
Keluar dari mobil hadiah wisuda dari ayahnya, Jajang berjalan tanpa ragu menuju ke tempat diadakannya pertemuan khusus dengan orang yang sangat penting baginya. Sejak tadi ia terus mematut dirinya di depan kaca mobil. Seturun dari mobil pun ia menyempatkan diri untuk kembali bercermin di spion mobil. Semuanya demi menjaga penampilan agar tetap total dan mengesankan. Ah, namun sebenarnya itu hanya peralihan dari rasa gugup yang tak bisa dihindarinya. 

Macam mana ia tidak gugup? Jajang tahu sekali siapa orang yang hendak ditemuinya sebentar lagi. Meski mengetahui dengan baik siapa orang ini, Jajang belum mengenal karakter dan tabiat asli dari orang tersebut. Itulah mengapa ia jadi gugup tak karuan sejak tadi. Belum lagi mengingat betapa pentingnya orang yang akan ditemuinya itu. Bagaikan juri pertaruhan hidup dan matinya.

Setelah menekan bel sesampainya di depan pintu, Jajang disambut langsung oleh seorang dengan wajah yang begitu menenteramkan hatinya. Dialah Ayu, seorang yang menjadi alasannya bertemu dengan orang terpenting di rumah itu. Beruntungnya sambutan Ayu di muka pintu mampu sedikit mengurangi rasa gugupnya. Senyum manisnya seperti biasa mampu membuat Jajang lebih bersemangat.

“Masuk langsung aja, Mas. Mas bisa tunggu sebentar di ruang tamu.” kata Ayu dengan santun sambil mempersilakan Jajang duduk di sofa ruang tamu yang meski tampak begitu empuk, namun bagi Jajang tetap terlihat seperti kursi panas berduri. Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan. Ayu yang segera pamit undur diri, langsung pergi ke belakang. Mungkin hendak membuatkan minum, atau malah memanggilkan orang itu! Jajang selintas membenak, makin tak terkendali jantungnya.
***
“Ehem…” Suara dehaman berat seketika membuyarkan kesendirian Jajang yang masih sibuk merapal kata-kata yang hendak disampaikannya nanti. Ini dia, orang penting yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Di belakangnya, menyusul Ayu yang tampak anggun membawa nampan berisi 2 cangkir teh hangat.

“Ayah, ini Mas Jajang, yang sudah Ayu bilang mau bertemu Ayah siang ini.” ujar Ayu memperkenalkan Jajang segera setelah ia dan ayahnya duduk di sofa ruang tamu.  

Jajang yang merasa dirinya diperkenalkan segera menjulurkan tangannya hendak mencium tangan ayah Ayu. Semoga gemetar tanganku tidak kelihatan. Jajang masih harap-harap cemas di dalam hati. 

Tampang berkumis lebat ayah Ayu tampak begitu horor bagi Jajang. Kini Jajang tak hanya merasa tegang, tapi juga begitu takut pada kata-kata yang akan dikeluarkan oleh pria tinggi tegap di hadapannya itu. Senyum seadanya tampak dilontarkan dari bibir tebal ayah Ayu saat menyerahkan telapak tangannya untuk dicium Jajang. 

“Perkenalkan, saya Jajang, Om. Mudah-mudahan… Ayu sudah cerita tentang maksud kedatangan saya hari ini.” akhirnya Jajang memberanikan diri mengeluarkan sepatah-dua patah kata, meski dengan sedikit terbata.
Tentu saja Ayu sudah menceritakan maksud keinginan Jajang bertemu dengan ayahnya hari ini. Jajang memutuskan untuk memperkenalkan diri pada calon mertuanya secara langsung, sebelum rencana pernikahannya dengan Ayu disetujui. Setelah mendapat kata sepakat dari ayah Ayu, barulah mereka akan menggelar pertemuan kedua keluarga.

Melihat tampang Jajang yang kini sudah bermandikan keringat dingin, Ayu memutuskan untuk mengambil alih pembicaraan. “Ayah, Mas Jajang ini orang yang Ayu ceritakan kemarin. Mas Jajang mau melamar Ayu, Yah. Sekarang Mas Jajang adalah asisten manajer di perusahaan otomotif, Yah. Baru lulus sarjana tiga bulan yang lalu padahal. Cumlaude lho, Yah. Papanya Mas Jajang ini punya resort di Lombok. Keluarga besar mereka tinggal di sana, Yah. Tapi Mas Jajang ingin tinggal di sini katanya, ingin mandiri, jadi engineer.” Wajah Ayu tampak tersipu saat menyebut kata melamar.

Jajang yang masih berusaha tersenyum sopan tak mendengar sepatah pun komentar dari ayah Ayu. Yang ditunggu komentarnya justru masih tampak menatap tajam pada Jajang dari ujung kepala sampai ujung kaki. Jantung Jajang kini makin kebat-kebit dibuatnya. 

“I…iya Om. Kurang lebih yang diceritakan Ayu itu benar. Mohon maaf saya baru berani melamar Ayu secara langsung sekarang, Om. Karena saya… saya ingin lulus sarjana dulu, Om. Punya pekerjaan tetap dan mapan. Biar bisa membahagiakan Ayu nanti.” Lega sekali wajah Jajang yang masih berusaha mengulum senyum terbaiknya setelah berhasil mengeluarkan kata-kata itu. 

Rupanya ayah Ayu masih belum bereaksi. Ia masih enggan mengucapkan sepatah kata pun tampaknya. Suasana pun mejadi agak canggung. Derajat kemiringan senyum bibir Jajang lambat laun makin menurun. Kini ia merasa nyawanya bagai berada di ujung tanduk. Berulang kali ditelannya liur kosong dari dalam mulutnya sendiri. 

“Kalau begitu, diminum dulu tehnya, Yah. Ayo, Mas Jajang juga.” Suara lembut Ayu berusaha memecah keheningan. Jajang begitu bersyukur dengan adanya tawaran Ayu barusan, semoga saja ayah Ayu jadi lebih jinak setelah menghirup aroma teh yang begitu harum itu.

“Om cuma punya satu pertanyaan yang harus kamu jawab, Nak Jajang.” Suara berat ayah Ayu seketika terdengar seperti menggeram di telinga Jajang. Praktis menghentikan tangannya yang sudah terjulur hendak meraih gagang cangkir teh.

“Eh, iya apa itu, Om?” suara Jajang kini terdengar jelas bergetar.

“Dulu waktu kuliah, apa kamu sering nyontek, Nak Jajang?” Pertanyaan itu cepat saja dilesatkan oleh mulut ayah Ayu. Langsung mengarah tepat, menusuk jantung Jajang yang masih kebat-kebit.

“Ayah, kok tanya gitu, sih?” Ayu langsung bertanya pada ayahnya dengan tampang bingung. 

“Ayu, ayah ndak mau kamu nanti dinafkahi dengan gaji dari pekerjaan yang didapatkan dengan modal IPK hasil nyontek. Apalagi kalau cucu ayah nanti jadi tukang nyontek juga, nurun bapaknya.” tambah ayah Ayu yang kini sudah tampak bertanduk merah di mata Jajang.

Yang ditanya kini malah menggaruk kepalanya meski tidak gatal. Urung menghirup aroma teh hangat yang harum itu. Senyuman santunnya? Jangan ditanya. Sekarang Jajang hanya bisa nyengir. Nyinyir. (fannie)

No comments:

Post a Comment