Lihatlah setelan necis itu! Jas
hitam, dipadu dengan dasi bergaris berwarna senada, juga celana pantalon yang pas
dengan kedua kaki jenjangnya. Rambut Jajang pun tampak bergaya dengan jeli
rambut yang membuatnya tak berubah kuyu meski diterpa angin. Belum lagi
sepatunya yang hitam mengkilat, makin mempertegas penampilannya hari ini.
Keluar dari mobil hadiah wisuda
dari ayahnya, Jajang berjalan tanpa ragu menuju ke tempat diadakannya pertemuan
khusus dengan orang yang sangat penting baginya. Sejak tadi ia terus mematut
dirinya di depan kaca mobil. Seturun dari mobil pun ia menyempatkan diri untuk
kembali bercermin di spion mobil. Semuanya demi menjaga penampilan agar tetap
total dan mengesankan. Ah, namun sebenarnya itu hanya peralihan dari rasa gugup
yang tak bisa dihindarinya.
Macam mana ia tidak gugup? Jajang
tahu sekali siapa orang yang hendak ditemuinya sebentar lagi. Meski mengetahui
dengan baik siapa orang ini, Jajang belum mengenal karakter dan tabiat asli
dari orang tersebut. Itulah mengapa ia jadi gugup tak karuan sejak tadi. Belum
lagi mengingat betapa pentingnya orang yang akan ditemuinya itu. Bagaikan juri
pertaruhan hidup dan matinya.
Setelah menekan bel sesampainya
di depan pintu, Jajang disambut langsung oleh seorang dengan wajah yang begitu
menenteramkan hatinya. Dialah Ayu, seorang yang menjadi alasannya bertemu
dengan orang terpenting di rumah itu. Beruntungnya sambutan Ayu di muka pintu
mampu sedikit mengurangi rasa gugupnya. Senyum manisnya seperti biasa mampu
membuat Jajang lebih bersemangat.
“Masuk langsung aja, Mas. Mas
bisa tunggu sebentar di ruang tamu.” kata Ayu dengan santun sambil
mempersilakan Jajang duduk di sofa ruang tamu yang meski tampak begitu empuk,
namun bagi Jajang tetap terlihat seperti kursi panas berduri. Setidaknya untuk
beberapa waktu ke depan. Ayu yang segera pamit undur diri, langsung pergi ke
belakang. Mungkin hendak membuatkan
minum, atau malah memanggilkan orang itu! Jajang selintas membenak, makin
tak terkendali jantungnya.
***
“Ehem…” Suara dehaman berat
seketika membuyarkan kesendirian Jajang yang masih sibuk merapal kata-kata yang
hendak disampaikannya nanti. Ini dia, orang penting yang ditunggu-tunggu
akhirnya datang juga. Di belakangnya, menyusul Ayu yang tampak anggun membawa
nampan berisi 2 cangkir teh hangat.
“Ayah, ini Mas Jajang, yang sudah
Ayu bilang mau bertemu Ayah siang ini.” ujar Ayu memperkenalkan Jajang segera
setelah ia dan ayahnya duduk di sofa ruang tamu.
Jajang yang merasa dirinya
diperkenalkan segera menjulurkan tangannya hendak mencium tangan ayah Ayu. Semoga gemetar tanganku tidak kelihatan.
Jajang masih harap-harap cemas di dalam hati.
Tampang berkumis lebat ayah Ayu
tampak begitu horor bagi Jajang. Kini Jajang tak hanya merasa tegang, tapi juga
begitu takut pada kata-kata yang akan dikeluarkan oleh pria tinggi tegap di
hadapannya itu. Senyum seadanya tampak dilontarkan dari bibir tebal ayah Ayu
saat menyerahkan telapak tangannya untuk dicium Jajang.
“Perkenalkan, saya Jajang, Om.
Mudah-mudahan… Ayu sudah cerita tentang maksud kedatangan saya hari ini.”
akhirnya Jajang memberanikan diri mengeluarkan sepatah-dua patah kata, meski
dengan sedikit terbata.
Tentu saja Ayu sudah menceritakan
maksud keinginan Jajang bertemu dengan ayahnya hari ini. Jajang memutuskan
untuk memperkenalkan diri pada calon mertuanya secara langsung, sebelum rencana
pernikahannya dengan Ayu disetujui. Setelah mendapat kata sepakat dari ayah Ayu,
barulah mereka akan menggelar pertemuan kedua keluarga.
Melihat tampang Jajang yang kini
sudah bermandikan keringat dingin, Ayu memutuskan untuk mengambil alih
pembicaraan. “Ayah, Mas Jajang ini orang yang Ayu ceritakan kemarin. Mas Jajang
mau melamar Ayu, Yah. Sekarang Mas Jajang adalah asisten manajer di perusahaan
otomotif, Yah. Baru lulus sarjana tiga bulan yang lalu padahal. Cumlaude lho, Yah. Papanya Mas Jajang
ini punya resort di Lombok. Keluarga
besar mereka tinggal di sana, Yah. Tapi Mas Jajang ingin tinggal di sini
katanya, ingin mandiri, jadi engineer.”
Wajah Ayu tampak tersipu saat menyebut kata melamar.
Jajang yang masih berusaha
tersenyum sopan tak mendengar sepatah pun komentar dari ayah Ayu. Yang ditunggu
komentarnya justru masih tampak menatap tajam pada Jajang dari ujung kepala
sampai ujung kaki. Jantung Jajang kini makin kebat-kebit dibuatnya.
“I…iya Om. Kurang lebih yang
diceritakan Ayu itu benar. Mohon maaf saya baru berani melamar Ayu secara
langsung sekarang, Om. Karena saya… saya ingin lulus sarjana dulu, Om. Punya
pekerjaan tetap dan mapan. Biar bisa membahagiakan Ayu nanti.” Lega sekali
wajah Jajang yang masih berusaha mengulum senyum terbaiknya setelah berhasil
mengeluarkan kata-kata itu.
Rupanya ayah Ayu masih belum
bereaksi. Ia masih enggan mengucapkan sepatah kata pun tampaknya. Suasana pun
mejadi agak canggung. Derajat kemiringan senyum bibir Jajang lambat laun makin
menurun. Kini ia merasa nyawanya bagai berada di ujung tanduk. Berulang kali
ditelannya liur kosong dari dalam mulutnya sendiri.
“Kalau begitu, diminum dulu
tehnya, Yah. Ayo, Mas Jajang juga.” Suara lembut Ayu berusaha memecah
keheningan. Jajang begitu bersyukur dengan adanya tawaran Ayu barusan, semoga
saja ayah Ayu jadi lebih jinak setelah
menghirup aroma teh yang begitu harum itu.
“Om cuma punya satu pertanyaan
yang harus kamu jawab, Nak Jajang.” Suara berat ayah Ayu seketika terdengar
seperti menggeram di telinga Jajang. Praktis menghentikan tangannya yang sudah
terjulur hendak meraih gagang cangkir teh.
“Eh, iya apa itu, Om?” suara
Jajang kini terdengar jelas bergetar.
“Dulu waktu kuliah, apa kamu
sering nyontek, Nak Jajang?” Pertanyaan
itu cepat saja dilesatkan oleh mulut ayah Ayu. Langsung mengarah tepat, menusuk
jantung Jajang yang masih kebat-kebit.
“Ayah, kok tanya gitu, sih?” Ayu
langsung bertanya pada ayahnya dengan tampang bingung.
“Ayu, ayah ndak mau kamu nanti dinafkahi dengan gaji dari pekerjaan yang
didapatkan dengan modal IPK hasil nyontek.
Apalagi kalau cucu ayah nanti jadi tukang nyontek
juga, nurun bapaknya.” tambah
ayah Ayu yang kini sudah tampak bertanduk merah di mata Jajang.
Yang ditanya kini malah menggaruk
kepalanya meski tidak gatal. Urung menghirup aroma teh hangat yang harum itu.
Senyuman santunnya? Jangan ditanya. Sekarang Jajang hanya bisa nyengir. Nyinyir. (fannie)
No comments:
Post a Comment