Tuesday, 26 February 2013

Melepasmu


Detik ini, aku baru bisa memahaminya. Ya, aku baru mengerti maksudmu sekarang. Sudah terlambat sepertinya. Memang sangat terlambat. Kita telah terpisah sebegini jauhnya. Namun, aku takkan bisa sepenuhnya menghapusmu.
***
“Kamu hari ini jadi jemput ke rumahku, kan? Minggu lalu kita kan gak jadi jalan gara-gara ujan. Langitnya keliatan cerah, nih. Semoga gak ujan lagi, ya.” ujarmu di telepon dengan suara yang sama merdunya seperti biasa. Malah, kali ini terdengar begitu riang. Malam itu pun kembali kita lewatkan berdua saja. Berjalan-jalan menikmati udara malam dan lapangan bintang yang cemerlang. Tampaknya benar saja ucapanmu tadi. Langit memang begitu cerah malam ini. Seperti memberi kesempatan pada kita berdua untuk mengaguminya seperti layaknya kita saling mengagumi satu sama lain. 

“Dingin, ya? Nih, kamu pake, ya. Aku gak mau papa kamu ngelarang aku jemput kamu minggu depan gara-gara kamu pilek abis ini.” kataku sembari mengenakan sweater yang kukenakan sejak berangkat tadi ke tubuhmu yang tampak mulai meringkuk diserang dinginnya malam. Kau pun membiarkanku melakukannya dan hanya melempar senyum tipis penuh arti. Seperti mencoba mengatakan sesuatu semacam terima kasih padaku. 

Ya, aku telah begitu mengenal kebiasaan kita. Duduk bersanding di satu tempat yang tenang menjadi penutup setiap perjalanan kita. Tak ada hal istimewa yang kita bicarakan saat itu. Bahkan cenderung saling diam. Kita hanya duduk, menghangatkan diri dengan genggaman tangan satu sama lain. Seolah kita hanya saling berbagi kedalaman rasa masing-masing. Dan tanpa alasan khusus, tak ada satu pun dari kita yang melayangkan protes sedikitpun. Kita hanya saling menikmati kenyamanan itu. Kita telah saling mengerti, meski dalam diam.
***
Kamu di mana sih, Sa? Kenapa kamu ngilang gini? Hatiku tak bisa berhenti bertanya. Entah siapa yang bisa menghapus semua tanda tanya itu. Tak dapat kutemui sedikit pun ruang untuk bisa menemukanmu. Tahukah kau betapa rumitnya prasangkaku saat ini? Tak bisakah kau meninggalkanku sedikit petunjuk untuk bisa menemukanmu? Apa arti ini semua? Bukankah kita baik-baik saja sebelumnya? Ah, kapan tanda tanya itu akan pergi? Mereka begitu mengusikku. Tak bisakah kau membantuku mengusir mereka?

Tak satu pun kawan yang mengetahui keberadaanmu. Kerabat dan keluargamu pun hanya berkata bahwa kau sedang tidak ada di rumah, dan tak ingin berkata selain memintaku untuk memberimu sedikit waktu. Bahkan mereka tak menjelaskan padaku untuk apa aku harus memberimu waktu. Tak sedikitpun keterangan bagiku tentang keadaanmu saat ini. Adilkah itu? Lelucon macam apa ini? Berkali-kali aku berbalik langkah dengan begitu berat. Tanpa beroleh satu jawaban pun atas penasaranku.
Aku lelah. Nyaris menyerah. Ada apa denganmu?
***
Kosong. Hariku kian hampa setelah kehilanganmu. Kuputuskan untuk memberimu waktu. Entah untuk apa. Gunakanlah sesukamu. Pun aku seperti tak punya pilihan lain. Mungkin sudah seharusnya seperti ini. Aku seperti sudah menyerah dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Hanya saja, tertinggal satu tanya yang teramat enggan tersingkir. Masihkah kau mengingatku? Kita?

Siang itu begitu terik. Ubun-ubunku bagai disorot bohlam lampu ribuan watt. Menambah gerah pikiranku yang memang sedang kurang sehat ini. Terlebih lagi, makin membakar hatiku yang sudah tak karuan bentuknya. Sinarnya pun tak kalah menyesakkan. Silaunya kian menghalangi pandangan. Sampai seolah tak sanggup kutatap jalanan di hadapanku. 

Namun, di balik semburat cahaya itu, seperti suatu yang tak bisa kupercaya begitu saja. Wajah yang begitu kukenal, sekaligus yang belakangan ini makin kurindukan. Rambut lurus panjang yang tersibak tarian angin siang itu. Di sana seorang diri menatap vespa putih yang telah kuparkir di area bersejarahnya itu. Vespa putih yang telah mengantarkan kita pada perjalanan indah penuh kenangan. 

Itu kau. Ya, kali ini aku tak mungkin berhalusinasi. Itu benar kau. Aku begitu mengenal gaun putih selutut yang selalu berhasil mempermanis penampilanmu itu. Yang selalu sukses membuatku tak berkedip mengagumi pesonamu. Pun kali ini, yang bahkan berkali lipat sensasinya. Tentu sebab rindu yang telah mengakar itu. 

“Prisa? Ini beneran kamu, kan? Kamu kemana aja? Kamu tau aku cari kamu kemana-mana?” kudekati kau yang seketika memutar wajahmu ke arahku. Wajahku yang menjadi cerah begitu menemukanmu seketika berubah ketika kau menampik tanganku yang hendak meraih tanganmu. Kenapa? “Kamu kenapa, Sa? Kenapa kamu hindarin aku gini? Kita bisa bicara baik-baik, kan?” 

Jawaban yang kutunggu tak segera keluar dari bibirmu. Harapan dalam jiwaku makin menguat detik demi detiknya. Kian menuntut, makin tak sabar. “Fin, maaf, kita gak bisa sama-sama lagi.” Hanya kalimat pendek itu yang kau ucapkan kemudian. Aliran kecil dari sudut matamu pun mulai menganak sungai. Menjadi pemandangan memilukan di wajahmu yang tertunduk, seolah tak sanggup menatapku.

“Prisa, ada apa sebenernya? Kenapa tiba-tiba kamu ngomong gitu?” tuntutku padamu. Kau hanya tampak begitu tersiksa dengan apa yang kau rasakan saat ini. Sementara aku, sudah terlalu bercampur aduk emosi yang berkecamuk dalam jiwaku saat ini. “Gak ada yang bisa kujelasin ke kamu, Fin. Hubungan kita emang harus sampai di sini.” Isakanmu mengakhiri ucapan terakhirmu itu. Tanpa memberiku kesempatan untuk memohon perpanjangan waktu darimu, kau pergi begitu saja. Beranjak tanpa menatapku lagi, menyembunyikan wajahmu yang tampak pucat.

Berantakan. Itulah yang kurasakan kala itu. Kau benar-benar mematahkan harapanku begitu saja. Tanpa melayangkan pandangan, tanpa ucapan selamat tinggal. Kau mencabut asaku yang begitu mendalam padamu dalam hitungan detik. Tak sanggup aku menatapmu pergi. Aku terpukul satu kenyataan yang tak pernah kunantikan sebelumnya. 

Rasa itu pun menyerah saat itu. Kita selalu mencoba saling memahami satu sama lain. Kau mengerti aku, begitu pun aku padamu. Itu pula yang akan kulakukan kini. Mencoba mengerti dirimu. Meski begitu sulit bagiku sekarang. Namun, aku sadar, tak ada yang bisa kulakukan. Tak mungkin aku bisa meraih kembali cinta itu, jika kau tak mau memperjuangkannya bersamaku. Ku kan mencoba tahu diri.

Dan aku pun terpaksa melepasmu.
***
Aku masih merasa begitu sendiri. Meskipun aku telah berlatih keras selama berbulan-bulan ini untuk membiasakan diri tanpamu, tetap ada satu hal yang terasa hilang dariku. Entahlah. Aku hanya ingin berhenti mengingatmu seperti ini. Hingga kabar yang begitu melemahkanku itu pun datang. 

Sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggamku. Tertera sebaris nomor yang belum kukenal. Kubuka saja pesan itu dengan ringannya. Namun, tak sanggup ku bergerak setelah membaca pesan yang begitu singkat itu. Sebuah pesan yang sungguh sulit kupercaya. 

Nak Dafin, Prisa sedang kritis di RS.Pelita.
                                                     Om Prabu.

Meski lemas seketika tubuhku ketika membacanya, namun reflek kakiku yang langsung berlari segera menyadarkanku bahwa itu semua nyata adanya. Kulesatkan vespaku dengan kecepatan maksimal menuju RS. Pelita. Dalam hatiku terus kurapalkan doa. Pengharapan agar Dia bersedia menyempatkanku menemuimu lagi.

Ketika berhasil kuinjakkan kakiku di ruang pasien yang disebutkan oleh petugas informasi, telah berkumpul di sana keluarga besarmu. Aku yang masih berusaha menstabilkan pernapasanku setelah berlari menuju ruangan ini, menerobos kerumunan yang tampak larut dalam kesedihan itu. Dan di sana, di atas ranjang pasien itu, akhirnya aku menemukanmu. Kau yang tampak pucat pasi dan mengejutkanku dengan kerudung yang terpasang cantik di kepalamu.

“Maafkan om, Nak Dafin. Om gak kasih tahu kamu lebih cepat.” ucapan om Prabu yang berada di sisimu menghenyakkanku yang tengah terpaku menyaksikan kondisimu. “Prisa, Prisa kenapa, Om?” tanyaku menuntut penjelasan dari om Prabu.

“Delapan bulan yang lalu, dokter memvonis Prisa menderita kanker hati stadium IV. Tanpa donor hati yang cocok, Prisa gak akan bisa bertahan lebih dari 6 bulan. Om sekeluarga sudah mengusahakan berbagai hal, tapi Prisa belum berhasil mendapat donor hati yang sesuai. Menurut dokter, Prisa tidak punya harapan lagi.” Om Prabu tampak memaksa diri untuk tetap tegar. 

Tak bisa kupercaya. Skenario macam apa ini? Bisa-bisanya aku baru mengetahui berita besar ini? “Apa ini alasan Prisa putus dari saya, Om?” 

“Maafkan om, Prisa sendiri yang meminta om untuk merahasiakan semuanya dari kamu. Prisa yang menginginkan semua seperti ini, Nak Dafin. Kami gak sanggup menolak keinginan Prisa. Termasuk kerudung itu. Prisa bilang, dia ingin pakai kerudung itu terus, katanya dia ingin pergi dalam keadaan baik.” 

Tak ada lagi yang sanggup kuucapkan. Tak ada lagi yang ingin kukatakan. Aku hanya ingin bersamamu lagi. Mendampingimu saat ini. Saat-saat yang mungkin akan menjadi waktu terakhirku bersamamu. Aku hanya bisa menatap wajahmu yang kini tampak jauh lebih tirus. Matamu terus saja terpejam. Tidakkah kau ingin melihat wajahku? Prisa, aku pengin kamu bangun. Aku mau bilang ke kamu, bahwa kamu cantik banget pakai kerudung itu. Aku masih sayang sama kamu, Sa. Aku pengin kamu jelasin kenapa kamu mesti jauhin aku hanya karena alasan ini. Apa kamu gak ingin bicara sama aku untuk yang terakhir kalinya? Aku sangat berharap kau dapat mendengar ucapan dalam hatiku itu. Dan kau berkenan memenuhi permintaanku. 

Hatiku terus berharap. Semoga ada satu keajaiban yang mampu membawamu kembali. Kugenggam tanganmu yang begitu tak berdaya itu. Tak sanggup kutahan air mataku. Berkali kuusap wajahku yang basah dengan lengan bajuku. Di benakku terus berkelebat kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Aku belum bisa mempersiapkan diriku sesegera ini. Teramat mendadak bagiku. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkanmu pergi begitu saja? Bagiku masih banyak yang perlu kau jelaskan. Aku sungguh tak menginginkan akhir kita yang seperti ini. 

Waktu pun akhirnya tak membiarkan pertanyaanku terjawab. Kau mengakhiri semua dalam diam itu. Denging panjang mesin ECG[1] itu meluruhkan harapanku yang melambung. Aku pun tersadar bahwa kisah kita benar-benar berakhir saat ini. Meski kau harus mengakhirinya dengan tanya yang tak terjawab bagiku. Dan sekali lagi, aku harus melepasmu pergi.
***
Aku masih belum bisa mengerti. Meski kau telah pergi sekian lamanya, tapi pertanyaan itu masih belum terjawab untukku. Tak ada seorang pun yang mampu menjawabnya. Hanya kaulah. Namun, semuanya kini tampak mustahil terjadi.

Tahukah kau di sana? Sampai saat ini, aku tak bisa menghilangkannya. Bahkan untuk menghindarinya pun terasa sulit bagiku. Rasa itu, masih ada untukmu. Rindu itu masih sering menyerangku. Menenggelamkanku dalam kepiluan yang tak terbendung.

Tiba-tiba saja, aku teringat pada satu kenangan kita. Sebuah blog, yang dulu kita bangun bersama. Blog itu milik kita berdua. Tempat kita menumpahkan berbagai ide dan pemikiran untuk dibagi dengan orang lain. Aku tertarik untuk membukanya lagi. Setelah berbulan lamanya tak kubuka blog itu, pasca kau memutuskanku dulu. Aku ingin menemukanmu lagi di sana. Membaca kembali apa saja yang telah kau ceritakan di halaman blog itu. Membayangkan kau sendiri yang mengatakannya langsung padaku.

Setelah kumasukkan kata kunci dan berhasil masuk ke halaman depannya, ada satu hal yang begitu mengejutkanku. Satu tulisan terbaru yang belum pernah kubaca, terpampang di sana. Di bawah judul tulisan yang berbunyi: Jawabanku Untukmu, tercantum info: diposkan oleh Prisa Aprillia pada 23 Februari 2013. Tanggal itu sekitar satu bulan sebelum kepergianmu. Benarkah ini tulisanmu? Segera kutelusuri kata demi kata dalam tulisan itu.

Untuk Dafin,

Apa kabar kamu hari ini, Fin? Maaf, aku baru bisa nyapa kamu sekarang setelah pertemuan terakhir kita di parkiran waktu itu. Aku minta maaf sekarang, ya Fin. Maaf, mungkin waktu itu aku terlalu kasar sama kamu. Tapi, aku gak bisa bertahan lebih lama lagi di sana. Aku sendiri gak sanggup mutusin kamu waktu itu. Aku sama sekali gak ingin. Tapi, aku harus, Fin. Aku gak ada pilihan lain. 

Aku sakit, Dafin. Mungkin saat kamu baca tulisan ini, aku udah gak ada. Aku takut, Fin. Waktu aku tau penyakit seganas itu ada di badan aku, aku takut banget. Aku gak rela nerima kenyataan bahwa hidupku gak lama lagi. Tapi, harapan buat aku kecil banget, Fin. Aku sadar aku gak bisa berharap banyak. 

Tentang kita, aku udah pikirin itu. Lama banget. Dan ini keputusanku, Fin. Maaf, aku putusin sendiri tanpa cerita semuanya ke kamu dulu. Tapi, kupikir ini yang terbaik untuk kita, Fin. 

Setelah aku sakit, aku banyak berpikir. Tentang apa yang udah kita lewatin bareng selama ini. Meskipun semua itu indah banget buat aku, tapi aku mulai belajar bahwa mungkin semua itu satu kekeliruan, Fin. Aku sayang sama kamu. Aku pengin banget sama-sama kamu terus sampai kapan pun. Sama-sama nikmatin rasa sayang yang kita bagi satu sama lain. Tapi, begitu tau umurku gak akan lama lagi, aku gak tega sama kamu, Fin. Aku gak mau kamu tetap hidup dengan rasa itu buat aku. Sementara aku sendiri gak bisa dampingin hidup kamu. 

Semuanya udah berakhir buat aku, Fin. Dan ada satu hal yang kusesalin. Kenapa aku gak berkomitmen lebih serius sama kamu dari dulu? Membangun hubungan di jenjang yang lebih mantap sejak kita mulai saling suka dulu. Jauh sebelum aku mengidap penyakit ini. Sebelum rasa bersalah itu muncul. Saat dulu aku masih merasa mampu jadi pendamping hidup kamu.

Sekarang semuanya udah terlambat buat aku, Fin. Aku udah gak bisa lagi pertahanin keinginan itu. Aku gak mau egois. Walaupun menikah sama kamu adalah hal terindah yang pernah aku bayangin, tapi aku cuma bisa nyesel sekarang karena gak ngelakuin hal itu dari dulu. 

Satu permintaan terakhirku, Fin. Jangan lakuin kesalahan yang sama kayak yang terjadi sama kita. Kesempatan yang kita punya selalu ada batasnya, Fin. Saat kesempatan itu masih ada, kita seharusnya bisa milih untuk ambil keputusan yang benar. Supaya kamu gak perlu nyesel kayak aku.
Maafin aku, ya Fin. Buat aku, kamu adalah cowok terbaik. Dan akan selalu ada tempat istimewa buat kamu di hati aku. Makasih buat semua kenangan kita. 

Prisa

Terima kasih atas jawaban yang akhirnya kau sampaikan padaku. Itu semua cukup bagiku untuk memahami pilihanmu. Tak hanya tulusnya perasaanmu yang telah kuterima, namun juga pelajaran hidup yang telah kau sampaikan padaku. Tentang keinginan terakhirmu, akan kupastikan untuk memenuhinya. Kau akan selalu menjadi seseorang yang berarti bagiku. Meski aku telah melepasmu.


[1] Electro Cardiograph

No comments:

Post a Comment