Detik
ini, aku baru bisa memahaminya. Ya, aku baru mengerti maksudmu sekarang. Sudah
terlambat sepertinya. Memang sangat terlambat. Kita telah terpisah sebegini
jauhnya. Namun, aku takkan bisa sepenuhnya menghapusmu.
***
“Kamu
hari ini jadi jemput ke rumahku, kan? Minggu lalu kita kan gak jadi jalan
gara-gara ujan. Langitnya keliatan cerah, nih. Semoga gak ujan lagi, ya.”
ujarmu di telepon dengan suara yang sama merdunya seperti biasa. Malah, kali
ini terdengar begitu riang. Malam itu pun kembali kita lewatkan berdua saja.
Berjalan-jalan menikmati udara malam dan lapangan bintang yang cemerlang.
Tampaknya benar saja ucapanmu tadi. Langit memang begitu cerah malam ini.
Seperti memberi kesempatan pada kita berdua untuk mengaguminya seperti layaknya
kita saling mengagumi satu sama lain.
“Dingin,
ya? Nih, kamu pake, ya. Aku gak mau papa kamu ngelarang aku jemput kamu minggu
depan gara-gara kamu pilek abis ini.” kataku sembari mengenakan sweater yang kukenakan sejak berangkat
tadi ke tubuhmu yang tampak mulai meringkuk diserang dinginnya malam. Kau pun
membiarkanku melakukannya dan hanya melempar senyum tipis penuh arti. Seperti
mencoba mengatakan sesuatu semacam terima kasih padaku.
Ya,
aku telah begitu mengenal kebiasaan kita. Duduk bersanding di satu tempat yang
tenang menjadi penutup setiap perjalanan kita. Tak ada hal istimewa yang kita
bicarakan saat itu. Bahkan cenderung saling diam. Kita hanya duduk,
menghangatkan diri dengan genggaman tangan satu sama lain. Seolah kita hanya
saling berbagi kedalaman rasa masing-masing. Dan tanpa alasan khusus, tak ada
satu pun dari kita yang melayangkan protes sedikitpun. Kita hanya saling
menikmati kenyamanan itu. Kita telah saling mengerti, meski dalam diam.
***
Kamu di mana sih, Sa? Kenapa kamu
ngilang gini? Hatiku tak bisa berhenti bertanya. Entah
siapa yang bisa menghapus semua tanda tanya itu. Tak dapat kutemui sedikit pun
ruang untuk bisa menemukanmu. Tahukah kau betapa rumitnya prasangkaku saat ini?
Tak bisakah kau meninggalkanku sedikit petunjuk untuk bisa menemukanmu? Apa
arti ini semua? Bukankah kita baik-baik saja sebelumnya? Ah, kapan tanda tanya
itu akan pergi? Mereka begitu mengusikku. Tak bisakah kau membantuku mengusir
mereka?
Tak
satu pun kawan yang mengetahui keberadaanmu. Kerabat dan keluargamu pun hanya
berkata bahwa kau sedang tidak ada di rumah, dan tak ingin berkata selain
memintaku untuk memberimu sedikit waktu. Bahkan mereka tak menjelaskan padaku
untuk apa aku harus memberimu waktu. Tak sedikitpun keterangan bagiku tentang
keadaanmu saat ini. Adilkah itu? Lelucon macam apa ini? Berkali-kali aku
berbalik langkah dengan begitu berat. Tanpa beroleh satu jawaban pun atas
penasaranku.
Aku
lelah. Nyaris menyerah. Ada apa denganmu?
***
Kosong.
Hariku kian hampa setelah kehilanganmu. Kuputuskan untuk memberimu waktu. Entah
untuk apa. Gunakanlah sesukamu. Pun aku seperti tak punya pilihan lain. Mungkin
sudah seharusnya seperti ini. Aku seperti sudah menyerah dengan
pertanyaan-pertanyaan itu. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Hanya saja,
tertinggal satu tanya yang teramat enggan tersingkir. Masihkah kau mengingatku?
Kita?
Siang
itu begitu terik. Ubun-ubunku bagai disorot bohlam lampu ribuan watt. Menambah
gerah pikiranku yang memang sedang kurang sehat ini. Terlebih lagi, makin
membakar hatiku yang sudah tak karuan bentuknya. Sinarnya pun tak kalah
menyesakkan. Silaunya kian menghalangi pandangan. Sampai seolah tak sanggup
kutatap jalanan di hadapanku.
Namun,
di balik semburat cahaya itu, seperti suatu yang tak bisa kupercaya begitu saja.
Wajah yang begitu kukenal, sekaligus yang belakangan ini makin kurindukan.
Rambut lurus panjang yang tersibak tarian angin siang itu. Di sana seorang diri
menatap vespa putih yang telah kuparkir di area bersejarahnya itu. Vespa putih
yang telah mengantarkan kita pada perjalanan indah penuh kenangan.
Itu
kau. Ya, kali ini aku tak mungkin berhalusinasi. Itu benar kau. Aku begitu
mengenal gaun putih selutut yang selalu berhasil mempermanis penampilanmu itu.
Yang selalu sukses membuatku tak berkedip mengagumi pesonamu. Pun kali ini,
yang bahkan berkali lipat sensasinya. Tentu sebab rindu yang telah mengakar itu.
“Prisa?
Ini beneran kamu, kan? Kamu kemana aja? Kamu tau aku cari kamu kemana-mana?”
kudekati kau yang seketika memutar wajahmu ke arahku. Wajahku yang menjadi
cerah begitu menemukanmu seketika berubah ketika kau menampik tanganku yang
hendak meraih tanganmu. Kenapa? “Kamu
kenapa, Sa? Kenapa kamu hindarin aku gini? Kita bisa bicara baik-baik, kan?”
Jawaban
yang kutunggu tak segera keluar dari bibirmu. Harapan dalam jiwaku makin
menguat detik demi detiknya. Kian menuntut, makin tak sabar. “Fin, maaf, kita
gak bisa sama-sama lagi.” Hanya kalimat pendek itu yang kau ucapkan kemudian.
Aliran kecil dari sudut matamu pun mulai menganak sungai. Menjadi pemandangan
memilukan di wajahmu yang tertunduk, seolah tak sanggup menatapku.
“Prisa,
ada apa sebenernya? Kenapa tiba-tiba kamu ngomong gitu?” tuntutku padamu. Kau
hanya tampak begitu tersiksa dengan apa yang kau rasakan saat ini. Sementara
aku, sudah terlalu bercampur aduk emosi yang berkecamuk dalam jiwaku saat ini.
“Gak ada yang bisa kujelasin ke kamu, Fin. Hubungan kita emang harus sampai di
sini.” Isakanmu mengakhiri ucapan terakhirmu itu. Tanpa memberiku kesempatan untuk
memohon perpanjangan waktu darimu, kau pergi begitu saja. Beranjak tanpa
menatapku lagi, menyembunyikan wajahmu yang tampak pucat.
Berantakan.
Itulah yang kurasakan kala itu. Kau benar-benar mematahkan harapanku begitu
saja. Tanpa melayangkan pandangan, tanpa ucapan selamat tinggal. Kau mencabut
asaku yang begitu mendalam padamu dalam hitungan detik. Tak sanggup aku
menatapmu pergi. Aku terpukul satu kenyataan yang tak pernah kunantikan
sebelumnya.
Rasa
itu pun menyerah saat itu. Kita selalu mencoba saling memahami satu sama lain.
Kau mengerti aku, begitu pun aku padamu. Itu pula yang akan kulakukan kini.
Mencoba mengerti dirimu. Meski begitu sulit bagiku sekarang. Namun, aku sadar,
tak ada yang bisa kulakukan. Tak mungkin aku bisa meraih kembali cinta itu,
jika kau tak mau memperjuangkannya bersamaku. Ku kan mencoba tahu diri.
Dan
aku pun terpaksa melepasmu.
***
Aku
masih merasa begitu sendiri. Meskipun aku telah berlatih keras selama
berbulan-bulan ini untuk membiasakan diri tanpamu, tetap ada satu hal yang
terasa hilang dariku. Entahlah. Aku hanya ingin berhenti mengingatmu seperti
ini. Hingga kabar yang begitu melemahkanku itu pun datang.
Sebuah
pesan singkat masuk ke telepon genggamku. Tertera sebaris nomor yang belum
kukenal. Kubuka saja pesan itu dengan ringannya. Namun, tak sanggup ku bergerak
setelah membaca pesan yang begitu singkat itu. Sebuah pesan yang sungguh sulit
kupercaya.
Nak
Dafin, Prisa sedang kritis di RS.Pelita.
Om Prabu.
Meski
lemas seketika tubuhku ketika membacanya, namun reflek kakiku yang langsung
berlari segera menyadarkanku bahwa itu semua nyata adanya. Kulesatkan vespaku
dengan kecepatan maksimal menuju RS. Pelita. Dalam hatiku terus kurapalkan doa.
Pengharapan agar Dia bersedia menyempatkanku menemuimu lagi.
Ketika
berhasil kuinjakkan kakiku di ruang pasien yang disebutkan oleh petugas informasi,
telah berkumpul di sana keluarga besarmu. Aku yang masih berusaha menstabilkan
pernapasanku setelah berlari menuju ruangan ini, menerobos kerumunan yang
tampak larut dalam kesedihan itu. Dan di sana, di atas ranjang pasien itu, akhirnya aku
menemukanmu. Kau yang tampak pucat pasi dan mengejutkanku dengan kerudung yang
terpasang cantik di kepalamu.
“Maafkan
om, Nak Dafin. Om gak kasih tahu kamu lebih cepat.” ucapan om Prabu yang berada
di sisimu menghenyakkanku yang tengah terpaku menyaksikan kondisimu. “Prisa,
Prisa kenapa, Om?” tanyaku menuntut penjelasan dari om Prabu.
“Delapan
bulan yang lalu, dokter memvonis Prisa menderita kanker hati stadium IV. Tanpa
donor hati yang cocok, Prisa gak akan bisa bertahan lebih dari 6 bulan. Om
sekeluarga sudah mengusahakan berbagai hal, tapi Prisa belum berhasil mendapat
donor hati yang sesuai. Menurut dokter, Prisa tidak punya harapan lagi.” Om
Prabu tampak memaksa diri untuk tetap tegar.
Tak
bisa kupercaya. Skenario macam apa ini? Bisa-bisanya aku baru mengetahui berita
besar ini? “Apa ini alasan Prisa putus dari saya, Om?”
“Maafkan
om, Prisa sendiri yang meminta om untuk merahasiakan semuanya dari kamu. Prisa
yang menginginkan semua seperti ini, Nak Dafin. Kami gak sanggup menolak
keinginan Prisa. Termasuk kerudung itu. Prisa bilang, dia ingin pakai kerudung
itu terus, katanya dia ingin pergi dalam keadaan baik.”
Tak
ada lagi yang sanggup kuucapkan. Tak ada lagi yang ingin kukatakan. Aku hanya
ingin bersamamu lagi. Mendampingimu saat ini. Saat-saat yang mungkin akan
menjadi waktu terakhirku bersamamu. Aku hanya bisa menatap wajahmu yang kini
tampak jauh lebih tirus. Matamu terus saja terpejam. Tidakkah kau ingin melihat
wajahku? Prisa, aku pengin kamu bangun.
Aku mau bilang ke kamu, bahwa kamu cantik banget pakai kerudung itu. Aku masih
sayang sama kamu, Sa. Aku pengin kamu jelasin kenapa kamu mesti jauhin aku
hanya karena alasan ini. Apa kamu gak ingin bicara sama aku untuk yang terakhir
kalinya? Aku sangat berharap kau dapat mendengar ucapan dalam hatiku itu.
Dan kau berkenan memenuhi permintaanku.
Hatiku
terus berharap. Semoga ada satu keajaiban yang mampu membawamu kembali.
Kugenggam tanganmu yang begitu tak berdaya itu. Tak sanggup kutahan air mataku.
Berkali kuusap wajahku yang basah dengan lengan bajuku. Di benakku terus
berkelebat kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Aku belum bisa mempersiapkan
diriku sesegera ini. Teramat mendadak bagiku. Bagaimana mungkin aku bisa
membiarkanmu pergi begitu saja? Bagiku masih banyak yang perlu kau jelaskan.
Aku sungguh tak menginginkan akhir kita yang seperti ini.
Waktu
pun akhirnya tak membiarkan pertanyaanku terjawab. Kau mengakhiri semua dalam
diam itu. Denging panjang mesin ECG[1]
itu meluruhkan harapanku yang melambung.
Aku pun tersadar bahwa kisah kita benar-benar berakhir saat ini. Meski kau
harus mengakhirinya dengan tanya yang tak terjawab bagiku. Dan sekali lagi, aku
harus melepasmu pergi.
Terima
kasih atas jawaban yang akhirnya kau sampaikan padaku. Itu semua cukup bagiku
untuk memahami pilihanmu. Tak hanya tulusnya perasaanmu yang telah kuterima,
namun juga pelajaran hidup yang telah kau sampaikan padaku. Tentang keinginan
terakhirmu, akan kupastikan untuk memenuhinya. Kau akan selalu menjadi
seseorang yang berarti bagiku. Meski aku telah melepasmu.
***
Aku
masih belum bisa mengerti. Meski kau telah pergi sekian lamanya, tapi
pertanyaan itu masih belum terjawab untukku. Tak ada seorang pun yang mampu menjawabnya. Hanya kaulah. Namun, semuanya kini tampak mustahil
terjadi.
Tahukah
kau di sana? Sampai saat ini, aku tak bisa menghilangkannya. Bahkan untuk menghindarinya
pun terasa sulit bagiku. Rasa itu, masih ada untukmu. Rindu itu masih sering
menyerangku. Menenggelamkanku dalam kepiluan yang tak terbendung.
Tiba-tiba
saja, aku teringat pada satu kenangan kita. Sebuah blog, yang dulu kita
bangun bersama. Blog itu milik kita berdua. Tempat kita menumpahkan berbagai
ide dan pemikiran untuk dibagi dengan orang lain. Aku tertarik untuk membukanya
lagi. Setelah berbulan lamanya tak kubuka blog itu, pasca kau memutuskanku
dulu. Aku ingin menemukanmu lagi di sana. Membaca kembali apa saja yang telah
kau ceritakan di halaman blog itu. Membayangkan kau sendiri yang mengatakannya
langsung padaku.
Setelah
kumasukkan kata kunci dan berhasil
masuk ke halaman depannya, ada satu hal yang begitu mengejutkanku. Satu tulisan
terbaru yang belum pernah kubaca, terpampang di sana. Di bawah judul tulisan
yang berbunyi: Jawabanku Untukmu, tercantum info: diposkan oleh Prisa Aprillia
pada 23 Februari 2013. Tanggal itu sekitar satu bulan sebelum kepergianmu. Benarkah
ini tulisanmu? Segera kutelusuri kata demi kata dalam tulisan itu.
Untuk Dafin,
Apa kabar kamu hari ini, Fin? Maaf,
aku baru bisa nyapa kamu sekarang setelah pertemuan terakhir kita di parkiran
waktu itu. Aku minta maaf sekarang, ya Fin. Maaf, mungkin waktu itu aku terlalu
kasar sama kamu. Tapi, aku gak bisa bertahan lebih lama lagi di sana. Aku
sendiri gak sanggup mutusin kamu waktu itu. Aku sama sekali gak ingin. Tapi,
aku harus, Fin. Aku gak ada pilihan lain.
Aku sakit, Dafin. Mungkin saat kamu
baca tulisan ini, aku udah gak ada. Aku takut, Fin. Waktu aku tau penyakit
seganas itu ada di badan aku, aku takut banget. Aku gak rela nerima kenyataan
bahwa hidupku gak lama lagi. Tapi, harapan buat aku kecil banget, Fin. Aku
sadar aku gak bisa berharap banyak.
Tentang kita, aku udah pikirin itu.
Lama banget. Dan ini keputusanku, Fin. Maaf, aku putusin sendiri tanpa cerita
semuanya ke kamu dulu. Tapi, kupikir ini yang terbaik untuk kita, Fin.
Setelah aku sakit, aku banyak
berpikir. Tentang apa yang udah kita lewatin bareng selama ini. Meskipun semua
itu indah banget buat aku, tapi aku mulai belajar bahwa mungkin semua itu satu
kekeliruan, Fin. Aku sayang sama kamu. Aku pengin banget sama-sama kamu terus
sampai kapan pun. Sama-sama nikmatin rasa sayang yang kita bagi satu sama lain.
Tapi, begitu tau umurku gak akan lama lagi, aku gak tega sama kamu, Fin. Aku
gak mau kamu tetap hidup dengan rasa itu buat aku. Sementara aku sendiri gak
bisa dampingin hidup kamu.
Semuanya udah berakhir buat aku,
Fin. Dan ada satu hal yang kusesalin. Kenapa aku gak berkomitmen lebih serius
sama kamu dari dulu? Membangun hubungan di jenjang yang lebih mantap sejak kita
mulai saling suka dulu. Jauh sebelum aku mengidap penyakit ini. Sebelum rasa
bersalah itu muncul. Saat dulu aku masih merasa mampu jadi pendamping hidup
kamu.
Sekarang semuanya udah terlambat
buat aku, Fin. Aku udah gak bisa lagi pertahanin keinginan itu. Aku gak mau
egois. Walaupun menikah sama kamu adalah hal terindah yang pernah aku bayangin,
tapi aku cuma bisa nyesel sekarang karena gak ngelakuin hal itu dari dulu.
Satu permintaan terakhirku, Fin.
Jangan lakuin kesalahan yang sama kayak yang terjadi sama kita. Kesempatan yang
kita punya selalu ada batasnya, Fin. Saat kesempatan itu masih ada, kita
seharusnya bisa milih untuk ambil keputusan yang benar. Supaya kamu gak perlu
nyesel kayak aku.
Maafin aku, ya Fin. Buat aku, kamu
adalah cowok terbaik. Dan akan selalu ada tempat istimewa buat kamu di hati
aku. Makasih buat semua kenangan kita.
Prisa
[1] Electro Cardiograph
No comments:
Post a Comment