Aku tak tahu mengapa sekarang
jadi begini. Terasa ada yang berbeda. Tak seperti dulu lagi. Sudah berjalan
tujuh tahun lamanya. Atau seharusnya kukatakan, baru berjalan tujuh tahun
lamanya. Aku ingin kita bisa bersama lebih lama dari ini. Bahkan sampai kapanpun
itu. Tak ada batas waktu bagi kita. Aku sungguh ingin yang seperti itu.
Tapi, mengapa sekarang terasa
semakin berat untuk bertahan? Seolah kita sudah tidak bisa lagi menjaga komitmen
bersama. Apa yang salah? Bukankah kita juga masih sama-sama muda? Apa tidak
terlalu dini untuk merasa jenuh dengan semua ini? Ada yang harus diperbaiki.
Ya, aku yakin itu. Tapi apa? Aku tak tahu itu.
Dalam kesendirian ini, aku
semakin takut. Apa yang sedang kau lakukan di luar sana? Apakah 24 jam waktumu
hanya tersedia untuk pekerjaan-pekerjaan itu? Apakah kau sempat memikirkanku?
Memikirkan kita?
Sebelum kepergianmu yang kau
janjikan selama dua bulan ini, tak banyak cerita berarti di antara kita.
Bagiku, kau malah cenderung dingin. Bertindak dan berkata seperlunya saja
padaku. Tak ada canda tawa itu lagi. Pun kata-kata manis yang dulu hanya kau
tujukan padaku, seolah terhapus dari dalam kamusmu. Apa ini hanya perasaanku
saja, atau memang kau telah melupakan segalanya?
Ah, aku ingin membuang jauh
prasangka-prasangka itu. Aku ingin selalu mempercayaimu. Tapi rasanya pikiranku
tak dapat berhenti membayangkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada
kita. Ini benar-benar mengangguku. Selalu mengusikku.
Di benakku tak hanya ada kita
berdua. Tapi juga ada dia. Dia yang juga selalu kukhawatirkan. Dia yang selalu
kusayangi. Senyum manisnya, tingkah lugunya. Aku tak sanggup membayangkan jika
keceriaan itu harus sirna dari wajahnya. Apalagi jika itu karena kita berdua.
Karena kita yang tak sanggup menjaga ikatan ini lagi. Tak bisa menjadi teladan
yang baik bagi dirinya lagi. Ah, aku sungguh tak ingin mimpi buruk itu terjadi.
Kau, apa kau juga merasakan apa
yang begitu menyesakkanku saat ini? Apakah kau merasakan hal yang sama? Apa kau
tahu bahwa kini aku tak sebahagia dulu?
Kutatap lekat wajah di cermin
itu. Kucari tahu dimana letak kesalahan itu. Apa lagi yang kau inginkan dariku?
Aku sudah berusaha sebisa kumampu. Menjadi pendampingmu, teman hidupmu. Aku ingin
selalu menjadi seperti yang kau inginkan. Aku sama sekali tak ingin kau
berpaling. Meninggalkanku begitu saja. Aku takut kau tak kembali lagi setelah
dua bulan itu berakhir. Aku ingin kau segera pulang, dan kita perbaiki situasi
ini.
“Mamaaa……” Suara itu? Rupanya dia
sudah bangun. Dia berlari ke arahku dan langsung memeluk kedua kakiku. “Mama
kok gak bangunin aku, sih? Hari ini kan pertama kali masuk sekolah, Ma. Aku gak
mau terlambat,” Tentu aku tidak melupakannya. Hari ini memang hari pertamanya
masuk sekolah dasar. Untuknya, akan selalu ada senyumanku, bagaimanapun keadaannya.
“Iya, Sayang. Sekarang Tiara mandi dulu gih, biar mama siapin baju untuk Tiara
ke sekolah, ya.” “Oke, Ma.” Dia segera bergegas ke kamar mandi. Andai kau bisa
melihat betapa bersemangatnya ia untuk bersekolah. Kau pasti juga ingin
melihatnya tumbuh cerdas, kan? Apa kau juga memikirkannya saat ini?
“Ma, aku udah mandinya. Mana
bajuku, Ma?”
“Itu di atas tempat tidur,
Sayang. Pakai sendiri, ya. Tiara udah bisa, kan? Mama mau siapin sarapan dulu.”
Aku pun melangkah menuju dapur.
“Yah, Ma. Kok bajunya yang ini,
sih?” dipegangnya setelan kemeja dan rok pendek yang kubelikan untuknya pada
ulang tahunnya tahun lalu.
Langkahku pun terhenti. “Lho,
baju seragam yang dari sekolah kan belum jadi, Sayang. Jadi, Tiara masih boleh
ke sekolah pakai baju bebas dulu.” kujelaskan dengan lembut padanya.
“Maksudnya, aku gak mau yang ini,
Ma.” ia pun bergegas menuju lemari pakaiannya dan mencari pakaian yang
diinginkannya. “Nah, aku mau pakai yang ini, Ma.” Ditunjukkannya pakaian itu
padaku. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengenakannya.
Tak dapat kupungkiri betapa
terkejutnya aku. Pakaian itu. Gamis merah hati, lengkap dengan kerudung instan
dengan warna senada. Tak mungkin aku lupa dengan pakaian itu. Aku masih ingat
betul ketika hari raya Idul Fitri yang lalu, kita bertiga mengenakan pakaian
yang berwarna senada itu bersama. Kau mengenakan koko berlengan panjang,
sementara aku berbalut busana muslim yang bermotif senada dengan gamis Tiara,
juga dengan warna merah hati. Pakaian seragam itu, kau yang membelikannya. Kau
yang memilihkannya untuk kita bertiga. Masih kuingat jelas ketika kau terlihat
amat senang ketika kita tampak serasi di tengah keluarga besar kita yang sedang
berkumpul. Juga di antara kolega kerjamu ketika kita bersilaturahim. Kau tampak
begitu menyukainya. Kita semua tampak begitu bahagia.
Ah, rasa ini kian menyesakkanku.
Rindu dan cemas yang bertaut menjadi satu. Aku sungguh tak ingin kehilangan
masa-masa indah kala itu. Aku pun tak kuasa membendungnya lagi. Bulir-bulir
bening itu pun mulai menganak sungai di pipiku. Aku pun terduduk saat itu juga.
“Mama, kenapa nangis? Mama gak
seneng ya, aku pakai baju ini?” dia menghampiriku dan segera menjatuhkan diri
dalam pelukanku.
Kupegangi wajah mungilnya,
kutatap sepasang matanya yang kini tampak bingung. “Enggak, Sayang. Mama suka
kok liat Tiara pakai baju ini. Tapi, kenapa Tiara pilih baju yang ini, Sayang?”
“Aku seneng pakai baju ini, Ma.
Ini baju favoritku. Baju lebaran dari Papa, kan? Apalagi ada kerudungnya. Aku
suka banget pakainya, Ma.” ia menjelaskan lirih, masih dalam pelukanku.
Keharuan itu makin membuncah di
jiwaku. Dia tampak begitu menyukai pakaian itu. Busana takwa yang kau hadiahkan
untuk kami. “Makasih ya, Sayang. Tiara udah bikin mama lega.” kupeluk ia makin
erat.
Ya, dia telah membuatku menyadarinya.
Kini kutahu. Apa yang kau inginkan dariku. Kini adalah kewajibanku untuk
menjaga kepercayaan yang telah kau berikan padaku. Menjaga dia yang kita
cintai, dan menjaga semua yang menjadi hak dan milikmu. Juga menjaga diriku
yang hanya untukmu. Cukup dengan itu saja. Hanya itu yang perlu kulakukan
untukmu. Itu yang harus kubaktikan padamu.
Dua minggu kemudian…
Hari ini adalah hari istimewa
kita, bukan? Apakah kau mengingatnya di sana? Aku harap kau selalu dalam
keadaan sehat, serta segala urusanmu diperlancar di sana. Agar kau pun bisa
pulang pada waktu yang telah kau janjikan dulu.
Meskipun masih belum ada kabar
darimu semenjak kepergianmu saat itu, tapi kucoba untuk memakluminya. Mungkin
kau memang sedang sibuk, atau mungkin saja kau sedang terlibat persoalan rumit
di sana. Meski jauh jarak antara kita sekarang, tapi kepercayaan itu tak akan
pernah berubah, kan? Aku akan selalu meyakini itu.
Hari ini tetap hari yang istimewa
untuk kita, kan? Tepat tujuh tahun janji kita bersama. Aku tak akan melewatkan
hari ini tanpa kebahagiaan. Meskipun kau tak di sini, tapi aku masih bersama
dia. Aku akan merayakan hari ini bersamanya. Menikmati makan siang yang bahagia
bersama, dengan masakan kesukaanmu. Ya, agar kami selalu merasa bersamamu.
“Maaf, Bu. Ada yang bisa saya
bantu? Mau cari siapa, ya?”
Ah, mengagetkan saja. Kenapa ada
yang bertanya seperti itu di depan pintu rumahku sendiri? Kubalikkan tubuhku
segera, sambil menjawab, “Maaf, tapi ini rum…”
“Mama?”
“Papa? Kok, papa udah pulang?
Bukannya harusnya masih seminggu lagi?” rupanya itu kau.
Kau tak segera menjawab, hanya
memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelusuri setiap jengkal
diriku, tanpa terlewat satu titik pun. Setelah itu, kau malah tersenyum. Ah,
senyuman itu. Aku begitu bersyukur bisa menikmatinya lagi sekarang. Kau pun
mendekat padaku, dan tanpa kuduga kau memelukku erat. Jauh lebih erat dari
sebelum-sebelumnya. “Papa… kagum sama Mama. Makasih ya, Ma. Udah jadi istri
yang baik buat papa.” Hanya itu. Hanya kalimat sederhana itu saja. Namun,
kalimat itu telah mampu membuat hatiku kembali bergetar. Dengan frekuensi yang
sama seperti saat masa-masa indah rumah tangga kita dulu.
“Maafkan Mama, ya Pa. Cuma ini
yang bisa mama lakukan buat Papa. Mama berjilbab cuma buat Papa.” Aku pun tak
sanggup menghalau haru yang mulai menyerang.
“Ini benar-benar kado terindah
buat papa, Ma. Papa seneng sekali Mama mau berubah seperti ini.”
Ya, aku yakin telah kuambil
langkah yang benar. Menjadi istrimu, berarti menjaga apa yang menjadi hakmu
atas diriku. Hatiku, juga seluruh ragaku adalah hanya milikmu. Menjaganya
adalah sebentuk kepercayaan yang kau titipkan kepadaku. Aku yakin inilah yang
kau inginkan dariku. (fannie)
No comments:
Post a Comment