Saturday, 9 February 2013

Aku Hanya Untukmu

Aku tak tahu mengapa sekarang jadi begini. Terasa ada yang berbeda. Tak seperti dulu lagi. Sudah berjalan tujuh tahun lamanya. Atau seharusnya kukatakan, baru berjalan tujuh tahun lamanya. Aku ingin kita bisa bersama lebih lama dari ini. Bahkan sampai kapanpun itu. Tak ada batas waktu bagi kita. Aku sungguh ingin yang seperti itu.

Tapi, mengapa sekarang terasa semakin berat untuk bertahan? Seolah kita sudah tidak bisa lagi menjaga komitmen bersama. Apa yang salah? Bukankah kita juga masih sama-sama muda? Apa tidak terlalu dini untuk merasa jenuh dengan semua ini? Ada yang harus diperbaiki. Ya, aku yakin itu. Tapi apa? Aku tak tahu itu.

Dalam kesendirian ini, aku semakin takut. Apa yang sedang kau lakukan di luar sana? Apakah 24 jam waktumu hanya tersedia untuk pekerjaan-pekerjaan itu? Apakah kau sempat memikirkanku? Memikirkan kita?

Sebelum kepergianmu yang kau janjikan selama dua bulan ini, tak banyak cerita berarti di antara kita. Bagiku, kau malah cenderung dingin. Bertindak dan berkata seperlunya saja padaku. Tak ada canda tawa itu lagi. Pun kata-kata manis yang dulu hanya kau tujukan padaku, seolah terhapus dari dalam kamusmu. Apa ini hanya perasaanku saja, atau memang kau telah melupakan segalanya?

Ah, aku ingin membuang jauh prasangka-prasangka itu. Aku ingin selalu mempercayaimu. Tapi rasanya pikiranku tak dapat berhenti membayangkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada kita. Ini benar-benar mengangguku. Selalu mengusikku. 

Di benakku tak hanya ada kita berdua. Tapi juga ada dia. Dia yang juga selalu kukhawatirkan. Dia yang selalu kusayangi. Senyum manisnya, tingkah lugunya. Aku tak sanggup membayangkan jika keceriaan itu harus sirna dari wajahnya. Apalagi jika itu karena kita berdua. Karena kita yang tak sanggup menjaga ikatan ini lagi. Tak bisa menjadi teladan yang baik bagi dirinya lagi. Ah, aku sungguh tak ingin mimpi buruk itu terjadi. 

Kau, apa kau juga merasakan apa yang begitu menyesakkanku saat ini? Apakah kau merasakan hal yang sama? Apa kau tahu bahwa kini aku tak sebahagia dulu?

Kutatap lekat wajah di cermin itu. Kucari tahu dimana letak kesalahan itu. Apa lagi yang kau inginkan dariku? Aku sudah berusaha sebisa kumampu. Menjadi pendampingmu, teman hidupmu. Aku ingin selalu menjadi seperti yang kau inginkan. Aku sama sekali tak ingin kau berpaling. Meninggalkanku begitu saja. Aku takut kau tak kembali lagi setelah dua bulan itu berakhir. Aku ingin kau segera pulang, dan kita perbaiki situasi ini.

“Mamaaa……” Suara itu? Rupanya dia sudah bangun. Dia berlari ke arahku dan langsung memeluk kedua kakiku. “Mama kok gak bangunin aku, sih? Hari ini kan pertama kali masuk sekolah, Ma. Aku gak mau terlambat,” Tentu aku tidak melupakannya. Hari ini memang hari pertamanya masuk sekolah dasar. Untuknya, akan selalu ada senyumanku, bagaimanapun keadaannya. “Iya, Sayang. Sekarang Tiara mandi dulu gih, biar mama siapin baju untuk Tiara ke sekolah, ya.” “Oke, Ma.” Dia segera bergegas ke kamar mandi. Andai kau bisa melihat betapa bersemangatnya ia untuk bersekolah. Kau pasti juga ingin melihatnya tumbuh cerdas, kan? Apa kau juga memikirkannya saat ini? 

“Ma, aku udah mandinya. Mana bajuku, Ma?”

“Itu di atas tempat tidur, Sayang. Pakai sendiri, ya. Tiara udah bisa, kan? Mama mau siapin sarapan dulu.” Aku pun melangkah menuju dapur.

“Yah, Ma. Kok bajunya yang ini, sih?” dipegangnya setelan kemeja dan rok pendek yang kubelikan untuknya pada ulang tahunnya tahun lalu. 

Langkahku pun terhenti. “Lho, baju seragam yang dari sekolah kan belum jadi, Sayang. Jadi, Tiara masih boleh ke sekolah pakai baju bebas dulu.” kujelaskan dengan lembut padanya. 

“Maksudnya, aku gak mau yang ini, Ma.” ia pun bergegas menuju lemari pakaiannya dan mencari pakaian yang diinginkannya. “Nah, aku mau pakai yang ini, Ma.” Ditunjukkannya pakaian itu padaku. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengenakannya.

Tak dapat kupungkiri betapa terkejutnya aku. Pakaian itu. Gamis merah hati, lengkap dengan kerudung instan dengan warna senada. Tak mungkin aku lupa dengan pakaian itu. Aku masih ingat betul ketika hari raya Idul Fitri yang lalu, kita bertiga mengenakan pakaian yang berwarna senada itu bersama. Kau mengenakan koko berlengan panjang, sementara aku berbalut busana muslim yang bermotif senada dengan gamis Tiara, juga dengan warna merah hati. Pakaian seragam itu, kau yang membelikannya. Kau yang memilihkannya untuk kita bertiga. Masih kuingat jelas ketika kau terlihat amat senang ketika kita tampak serasi di tengah keluarga besar kita yang sedang berkumpul. Juga di antara kolega kerjamu ketika kita bersilaturahim. Kau tampak begitu menyukainya. Kita semua tampak begitu bahagia. 

Ah, rasa ini kian menyesakkanku. Rindu dan cemas yang bertaut menjadi satu. Aku sungguh tak ingin kehilangan masa-masa indah kala itu. Aku pun tak kuasa membendungnya lagi. Bulir-bulir bening itu pun mulai menganak sungai di pipiku. Aku pun terduduk saat itu juga.

“Mama, kenapa nangis? Mama gak seneng ya, aku pakai baju ini?” dia menghampiriku dan segera menjatuhkan diri dalam pelukanku. 

Kupegangi wajah mungilnya, kutatap sepasang matanya yang kini tampak bingung. “Enggak, Sayang. Mama suka kok liat Tiara pakai baju ini. Tapi, kenapa Tiara pilih baju yang ini, Sayang?”

“Aku seneng pakai baju ini, Ma. Ini baju favoritku. Baju lebaran dari Papa, kan? Apalagi ada kerudungnya. Aku suka banget pakainya, Ma.” ia menjelaskan lirih, masih dalam pelukanku.

Keharuan itu makin membuncah di jiwaku. Dia tampak begitu menyukai pakaian itu. Busana takwa yang kau hadiahkan untuk kami. “Makasih ya, Sayang. Tiara udah bikin mama lega.” kupeluk ia makin erat.

Ya, dia telah membuatku menyadarinya. Kini kutahu. Apa yang kau inginkan dariku. Kini adalah kewajibanku untuk menjaga kepercayaan yang telah kau berikan padaku. Menjaga dia yang kita cintai, dan menjaga semua yang menjadi hak dan milikmu. Juga menjaga diriku yang hanya untukmu. Cukup dengan itu saja. Hanya itu yang perlu kulakukan untukmu. Itu yang harus kubaktikan padamu. 

Dua minggu kemudian…

Hari ini adalah hari istimewa kita, bukan? Apakah kau mengingatnya di sana? Aku harap kau selalu dalam keadaan sehat, serta segala urusanmu diperlancar di sana. Agar kau pun bisa pulang pada waktu yang telah kau janjikan dulu. 

Meskipun masih belum ada kabar darimu semenjak kepergianmu saat itu, tapi kucoba untuk memakluminya. Mungkin kau memang sedang sibuk, atau mungkin saja kau sedang terlibat persoalan rumit di sana. Meski jauh jarak antara kita sekarang, tapi kepercayaan itu tak akan pernah berubah, kan? Aku akan selalu meyakini itu.

Hari ini tetap hari yang istimewa untuk kita, kan? Tepat tujuh tahun janji kita bersama. Aku tak akan melewatkan hari ini tanpa kebahagiaan. Meskipun kau tak di sini, tapi aku masih bersama dia. Aku akan merayakan hari ini bersamanya. Menikmati makan siang yang bahagia bersama, dengan masakan kesukaanmu. Ya, agar kami selalu merasa bersamamu. 

“Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu? Mau cari siapa, ya?” 

Ah, mengagetkan saja. Kenapa ada yang bertanya seperti itu di depan pintu rumahku sendiri? Kubalikkan tubuhku segera, sambil menjawab, “Maaf, tapi ini rum…”

“Mama?”

“Papa? Kok, papa udah pulang? Bukannya harusnya masih seminggu lagi?” rupanya itu kau.

Kau tak segera menjawab, hanya memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelusuri setiap jengkal diriku, tanpa terlewat satu titik pun. Setelah itu, kau malah tersenyum. Ah, senyuman itu. Aku begitu bersyukur bisa menikmatinya lagi sekarang. Kau pun mendekat padaku, dan tanpa kuduga kau memelukku erat. Jauh lebih erat dari sebelum-sebelumnya. “Papa… kagum sama Mama. Makasih ya, Ma. Udah jadi istri yang baik buat papa.” Hanya itu. Hanya kalimat sederhana itu saja. Namun, kalimat itu telah mampu membuat hatiku kembali bergetar. Dengan frekuensi yang sama seperti saat masa-masa indah rumah tangga kita dulu.

“Maafkan Mama, ya Pa. Cuma ini yang bisa mama lakukan buat Papa. Mama berjilbab cuma buat Papa.” Aku pun tak sanggup menghalau haru yang mulai menyerang.

“Ini benar-benar kado terindah buat papa, Ma. Papa seneng sekali Mama mau berubah seperti ini.”

Ya, aku yakin telah kuambil langkah yang benar. Menjadi istrimu, berarti menjaga apa yang menjadi hakmu atas diriku. Hatiku, juga seluruh ragaku adalah hanya milikmu. Menjaganya adalah sebentuk kepercayaan yang kau titipkan kepadaku. Aku yakin inilah yang kau inginkan dariku. (fannie)

No comments:

Post a Comment