Monday, 4 June 2012

Naungan di Rumah ini

“Tapi Bu, aku gak bisa sekarang.” Suara Mbak Ina menggema hingga kamarku. Karena semakin penasaran, aku pun meloloskan pandanganku sedikit dari celah pintu kamarku yang sengaja tidak kututup rapat. Selayang pandang kulihat raut wajah kakakku yang tampak diwarnai emosi bercampur aduk. Di hadapannya, ibuku menggenggam tangan Mbak Ina dengan erat, berusaha menenangkan pikiran Mbak Ina yang tengah berkecamuk. 

Semua ini dipicu oleh tamu yang tiba-tiba saja mampir ke kediaman kami pagi tadi. Seorang wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai kakak senior Mbak Ina di masa kuliah dulu. Ia bermaksud datang khusus untuk menemui Bapak dan Ibu. Aku yang pagi tadi masih asyik dengan sarapanku di meja makan, sempat mendengar percakapan mereka di ruang tamu meskipun aku tak bermaksud mencuri dengar. Rumah yang tak seberapa luas ini membuat percakapan siapapun yang berada di dalamnya dapat diakses oleh setiap orang di setiap sudut ruangan dengan leluasa.

Aku hampir saja tersedak ketika mendengar kalimat yang menjadi inti dari pembicaraan tamu itu dengan ibuku. Ngelamar? Mbak Ina? Seketika tanganku terhenti dari aktivitas menyendok butiran nasi goreng di piringku. Aku pun beralih mendengarkan percakapan itu dengan lebih seksama. 

Mbak Ina yang baru saja mendengar kabar ini selepas pulang kantor pada malam harinya pun seketika tak dapat menyembuyikan betapa terkejutnya ia. Alih-alih bersuka cita mendengar kabar ini, Mbak Ina justru terus menyampaikan keberatannya pada Bapak dan Ibu. Mbak Ina belum bisa menerima lamaran itu. Setidaknya untuk saat ini.

Aku tak mengerti dengan jalan pikiran kakakku itu. Usia kami memang terlampau cukup jauh. Mungkin itulah yang menyebabkan aku kerap kali tak mengerti jalan pemikirannya.
***
            
Pukul 3.00. Gumamku dalam hati ketika mematikan bunyi alarm jam weker di atas ranjangku, sambil perlahan membuka mata, menghilangkan kantuk yang masih menggelayut. Perjalanan menuju kamar mandi kulalui dengan langkah gontai, dengan sarung tersampir di pundakku. Usai bersuci di kamar mandi, aku pun segera terhanyut dalam khidmatnya sepertiga malam mengingat-Nya. Tak lupa kusertakan harapan bagi meredanya problematika di rumah ini dalam sepenggal rapal doaku.
             
Seusai ibadah malamku, langkahku terhenti dalam perjalanan menuju kamarku ketika melintas di depan kamar Mbak Ina yang pintunya tak tertutup sempurna. Aku yang sengaja mengintip ke dalam, memberanikan diri untuk mengetuk pintu ketika tampak olehku tubuh Mbak Ina yang tersandar di dinding menatap ke luar jendela. Mbak Ina pun membiarkanku masuk. Masih tampak lengkap dengan pakaian sholatnya, Mbak Ina hanya membiarkanku duduk di tempat tidur yang sama dengan yang sedang ia duduki.
            
“Kenapa Ram? Kok jam segini?” tanya Mbak Ina ketika aku telah terduduk di sampingnya. “Mbak Ina kenapa?” tanyaku datar.
         
Mbak Ina hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. Wajahnya menyiratkan bahwa sebenarnya ia sudah mengetahui maksud dari pertanyaanku. “Kamu tau apa yang paling Mbak inginkan Ram?” Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. “Bukannya apa yang Mbak inginkan udah tercapai? Sekarang Mbak udah nikmatin kerjaan yang begitu Mbak inginkan dari jaman kuliah dulu kan?” jawabku polos.
          
Mbak Ina justru tersenyum masam begitu mendengar jawabanku. “Bukan sekedar itu Ram.” Ia menghela nafas sejenak, kemudian melanjutkan, “Mungkin udah saatnya Mbak cerita sama kamu ya. Kamu tau kan Mbak anak tertua di keluarga ini? Kamu tau kan kalo saat ini Mbak masih berusaha bantu Bapak untuk biayain sekolah kamu? Mbak belom bisa berhenti sekarang Ram. Mbak gak mau berhenti sebelum Mbak membalas semua yang udah dikorbanin Bapak dan Ibu buat Mbak.”
            
“Aku tau itu baik, Mbak. Tapi apa ada yang mengharuskan Mbak ngelakuin hal itu? Bapak pun gak pernah ngeluh kesulitan ngebiayain sekolahku kan?” timpalku spontan. Mbak Ina pun menjelaskan lembut padaku, “Rama, coba kamu bayangin kalo kamu yang ada di posisi Mbak. Kamu yang anak pertama di keluarga ini. Ketika kamu melihat orang tua kamu berjuang keras demi anak-anaknya. Sejak kamu kecil sampe adik kamu beranjak dewasa. Dan coba pikir gimana perasaan Mbak kalo inget sama perjuangan Bapak-Ibu memenuhi keinginan Mbak dulu. Sampe Mbak sekarang dah jadi kayak gini. Bayangin Ram. Mbak akan sulit memaafkan diri sendiri kalo setelah sampe sejauh ini Mbak cuma bisa pergi ke rumah suami Mbak. Ninggalin Bapak-Ibu gitu aja. Dengan kamu yang masih butuh dukungan sebelum bisa mandiri. Mbak gak bisa ridho, Ram.”
               
Otak remajaku mencoba mencerna kata-kata yang baru saja meluncur lembut dari bibir Mbak Ina. Ketika syaraf-syaraf muda di otakku memberikan sinyal paham akan kondisi yang dirasakan oleh kakakku itu, aku pun beranjak mengambil tangan kanan Mbak Ina yang tadi menyentuh pundakku, lantas menggenggamnya erat. “Terus Mbak Ina sendiri gimana tentang lamaran itu Mbak? Aku tau Mbak pasti juga pengen kan berrumah tangga juga kayak temen-temen Mbak yang lain. Apalagi lamaran tadi datangnya dengan baik kan Mbak.”
            
“Mbak juga gak tau Ram. Ini keputusan yang begitu mendadak buat Mbak untuk sekarang ini. Mbak baru mulai mencintai pekerjaan Mbak. Mbak baru mulai berikhtiar untuk sedikit meringankan beban Bapak dan Ibu. Mbak belum siap ninggalin kalian Ram.” jelas Mbak Ina kali ini dengan paras sedih.
             
“Tapi Mbak, Bapak dan Ibu pasti juga seneng kalo liat Mbak nikah. Itu juga akan jadi sebuah hadiah buat mereka kan Mbak? Salah satu cara buat bahagiain mereka juga.” tambahku.
            
Mbak Ina melanjutkan selepas helaan nafasnya, “Entahlah Ram, Mbak butuh waktu. Gak bisa gegabah mutusin hal ini.” Melihat wajah Mbak Ina yang sepertinya memang menginginkan waktu untuk berpikir masak, aku pun memutuskan untuk membiarkan Mbak Ina sendiri untuk sementara waktu. Aku ingin memberikan keleluasaan baginya untuk dapat memikirkan hal ini dengan bijak. “Ya udah, Aku pamit ke kamar dulu ya, Mbak. Mbak Ina jangan sampe kurang istirahat juga. Besok Mbak kan masih harus ke kantor.” kumohon izin sebelum keluar dari kamar Mbak Ina.
***
             
Sore itu aku pulang sekolah pukul 16.00. Sesuai dengan jadwal latihan basketku setiap Rabu sore. Aku yang baru saja hendak memarkirkan sepedaku di samping rumah, mendengar suara Mbak Ina yang terdengar tengah berbincang dengan Bapak dan Ibu. Karena khawatir mengganggu, aku memutuskan untuk menunggu di teras. Sayup kudengar suara Bapak dengan nada yang wibawa dalam keheningan suara Ibu dan Mbak Ina. “Ina, Bapak gak minta apa-apa dari kamu. Melihat kamu sukses, kamu bahagia, itu udah cukup buat Bapak. Selama ini Bapak cuma memenuhi tanggung jawab Bapak sebagai orang tua. Dan salah satunya juga menyangkut keputusan ini. Kamu paham kan maksud Bapak?”
          
Tak terdengar sepatah pun timpalan dari kedua lawan diskusi Bapak. Pikirku melayang pada kata-kata Mbak Ina yang kusampaikan pada Bapak-Ibu tadi pagi ketika sarapan. Semoga aja campur tanganku gak lantas memperkeruh keadaan, doaku dalam hati. Hening itu masih berlanjut. Pikirku berlanjut pada terkaan bayangan seperti apa yang terjadi di dalam. Kuputuskan untuk tetap menunggu di bangku teras saja.
             
Diam itu pecah oleh ucapan ragu Mbak Ina yang mengumandangkan suara yang terdengar bergetar. “Bapak, Ibu, aku bingung. Aku gak bisa mutusin ini secepat itu.” “Udahlah Na, Bapak dan Ibu ngerti apa yang kamu rasain, dan sekali lagi Ibu bilang, kamu gak perlu berpikir seperti itu, Na. Bapak dan Ibu udah seneng liat kamu bahagia. Apalagi kalo kamu dapet calon imam yang baik, Na. Itu bener-bener ngelengkapin kebahagiaan Bapak-Ibumu, Na.” suara Ibu lembut menenangkan Mbak Ina yang terdengar mulai terisak.
            
Aku semakin penasaran. Tapi kembali kuurungkan niatku mengingatkan atmosfer yang semakin bergejolak. Aku gak usah khawatir, ada Ibu, pasti semua baik-baik aja. Batinku terus menggaungkan nada optimis.
            
“Ibu, aku ngerasa bersalah sama Bapak dan Ibu. Dulu aku banyak ngecewain Bapak-Ibu. Gak pernah berprestasi di kampus, malah selalu ngebebanin Bapak dengan biaya kuliahku. Aku gak mau pergi gitu aja, Bu. Aku pengen bales semua pengorbanan Bapak-Ibu dulu. Aku gak bisa, Bu, Pak. Gak bisa sekarang.” ujar Mbak Ina dengan suara yang tersendat setelah sedikit menyurutkan tangisnya.
           
“Ina, Ibu dan Bapak ikhlas. Kami lebih ridho ngeliat kamu bahagia dengan rumah tangga kamu nanti daripada nerima hasil jerih payah kamu, Na. Bukannya kami gak seneng dengan pekerjaan kamu. Tapi kamu punya hak untuk menyempurnakan separuh agama kamu, Na. Kamu pasti juga mau kan? Ibu rasa kamu udah cukup dewasa untuk menikah, Na. Ini salah satu saat yang paling Ibu tunggu-tunggu. Ibrahim juga anak yang baik. Keluarga kita udah kenal dia dari kecil. Kamu juga kenal baik gimana akhlaknya kan? Kenapa kamu mesti pikir panjang lagi, Na?” kembali suara Ibu menengahi suasana yang kian menegang.
             
Tak lama kemudian Bapak mencoba mengakhiri pembicaraan itu dengan bijak. “Sekarang gini aja, Na. Bapak-Ibu gak pengen mengganggu keputusan kamu. Kamu udah dewasa, Na. Kamu sendiri pasti paham gimana kedudukan pernikahan dalam Islam. Kamu sendiri gak mungkin mengingkari hal itu kan? Bapak-Ibu gak akan pernah kecewa sama kamu walaupun kamu harus pergi dari rumah ini setelah pernikahan nanti. Ini rezeki, Na. Mungkin aja Ibrahim emang pasangan yang udah Allah ciptakan untuk kamu. Satu hal, Na. Bapak bakal tetap bangga sama kamu, seperti apa adanya kamu. Kamu gak perlu bergelimang prestasi, ataupun berlimpah materi. Cukup akhlak dan akidahmu yang baik, Na. Itu aja udah bisa bikin kami lebih dari bahagia, Na. Percaya sama Bapak, Na.”
            
Aku pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah, ketika pembicaraan itu terdengar mencapai akhirnya. Diakhiri dengan ucapan terima kasih yang tak hentinya dilontarkan Mbak Ina seraya memeluk tubuh Ibu, masih dengan air mata yang mengaliri paras berkerudungnya. Aku yang menyaksikan pemandangan ini terhenti di dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Tak tega membuyarkan suasana haru penuh kehangatan yang tengah mewarnai rumah kami yang sejuk seperti biasanya.
***
            
Rumah ini kini semarak, tidak seperti biasanya. Tenda bertiang besi memayungi pekarangan depan yang biasanya terbuka menatap langit. Orang per orang datang silih berganti memenuhi kursi-kursi lipat yang telah terjajar rapi. Sebagian telah memenuhi ruang tamu, pria dan wanita duduk pada area masing-masing. Semua melingkari satu pusat perhatian di tengah ruangan di mana terletak meja rendah bertaplak dengan seorang pria setengah baya yang telah tampak siap dengan pakaian muslim resminya di hadapan meja itu. Dihadapannya tepat di seberang meja, terduduk seorang pria muda yang tampak matang, tampil bersahaja dengan busana jas demang hitam melapisi tubuh tegapnya.
             
Serentak pria dan wanita yang duduk melingkar itu mengucap kalimat hamdalah setelah Bapak dan seorang bapak lagi mengucapkan kata yang mengumumkan bahwa ijab dan qabul yang baru saja diperdengarkan telah dinyatakan sah.
            
Beberapa detik kemudian, Ibu muncul dari balik tirai membawa seorang wanita yang kini terlihat begitu berbeda. Kecantikannya makin terpancar dalam balutan busana muslim serba putih dengan jilbab berwarna senada. Wanita itu adalah Mbak Ina. Menghampiri Mas Ibrahim yang kini telah resmi menjadi suaminya. Dengan sedikit tersipu, diciumnya tangan Mas Ibrahim penanda penghormatan pertamanya sebagai seorang istri.
           
Aku tak dapat menutupi hatiku yang kian semarak hari ini. Senyum cemerlang tak hentinya menggantung di wajahku. Kutatap wajah ayu Mbak Ina. Wajah yang melukiskan keyakinan akan keputusan yang telah diambilnya ini. Lalu kulayangkan pandangku ke arah Bapak dan Ibu. Wajah mereka kini begitu teduh, menyiratkan kelegaan yang mendalam atas terpenuhinya satu lagi tanggung jawab keduanya sebagai orang tua. Bahkan sebulir air bening kini menggantung di sudut mata Ibu yang tak kuasa menahan haru. Diikuti pelukan hangat pada puteri kecilnya yang kini telah menjadi seorang wanita dewasa.
             
Mbak Ina, Mbak gak usah khawatir sama kami. Aku akan jaga Bapak dan Ibu buat Mbak. Kami semua akan selalu bangga sama apa yang udah Mbak ikhtiarkan selama ini untuk kami. Kami gak akan pernah kecewa sama Mbak Ina. Hidup yang baik ya, Mbak. Rapal doaku senantiasa mengalir dalam tiap butir kata yang terucap oleh batinku. Demi kebahagiaan Mbak Ina, demi kisah indah keluarga ini. Karena aku yakin, Allah pasti menjaga keluarga kita selama kita bernaung dalam payung syariatnya.
***

No comments:

Post a Comment