Saturday, 23 June 2012

CerBung Juni 2012

Sepasang Matahari #2

(cont...)

“Mentari Isma Az-Zahra?”

“Saya, Bu!”

“Surya Jundi Al-Hakim?”

“Saya, Bu!”

“Baiklah, sekarang semuanya sudah diabsen. Yuk, kita mulai pelajaran hari ini, ya! Kita mulai dengan apa, anak-anak?” Lu’lu, sang guru di kelas mungil ini beraksi mengawali pelajaran hari itu.

“Berdoa, Bu Lu’lu!” jawab seisi kelas serempak.

Selanjutnya lantunan doa terdengar nyaring di sekitar bangunan taman kanak-kanak itu. Suara malaikat-malaikat kecil yang datang dengan semangat tak terhingga, demi memenuhi rasa penasaran mereka akan pelajaran dari berbagai hal yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mempercayai orang tua mereka, bergegaslah mereka berangkat ke tempat ini setiap pagi, demi melunasi semua rasa ingin tahu yang kian hari kian meninggi.

“Hari ini kita belajar apa, Bu Lu’lu?” bibir mungil Mentari seperti tak sanggup menahan keinginannya untuk bertanya. Binar tangkas khas kanak-kanak yang terpancar dari kedua bola matanya pun tertangkap oleh Lu’lu yang segera menoleh ke arah Mentari dengan senyum penuh pengertian.

“Hari ini kita mau menggambar, Sayang. Mentari udah bawa buku gambar dan krayon kan?” sahutnya yang kini telah menunduk di hadapan Mentari.

Bocah itu bergegas menggeledah isi tasnya sendiri, berharap menemukan benda-benda yang tadi telah disebutkan oleh gurunya. 

Beberapa menit mencari, dua benda yang menjadi incaran Mentari tak kunjung ia temukan. Merasa putus asa, ia pun bermaksud melapor pada gurunya. “Bu Lu’lu, buku gambar sama krayonku gak ketemu.”

Lu’lu yang telah mengalihkan fokusnya ke seisi kelas pun kembali terpanggil ke arah meja Mentari. “Carinya udah teliti belum? Ayo, siapa tau ada di saku lain,” ujar Lu’lu berusaha membesarkan hati bocah itu.

Kalimat itu berhasil membuat Mentari mencari sekali lagi. Namun, dalam waktu yang lebih singkat, Mentari kini telah berbalik kembali dengan wajah yang tertekuk cemberut. “Bu Lu,lu. Buku gambar sama krayon aku gak ketemu juga, Bu.”

Mendengar hal tersebut, Lu’lu pun bermaksud mengambil tindakan pencegahan agar salah satu muridnya itu tidak lantas merajuk dan ngambek. Baru saja ia ingin membuka mulut untuk menenangkan Mentari, terdengar suara kecil dari arah dekat mereka. 

“Kita gambarnya sama-sama aja, yuk! Ini aku bawa banyak krayonnya.” Pemilik suara kecil itu telah berdiri di samping meja Mentari. Senyum manisnya yang dihiasi oleh barisan rapi gigi-gigi mungilnya, membersamai tangan kanannya yang menyodorkan segenggam krayon beraneka warna. Di tangan kiri bocah itu pun tampak selembar kertas gambar yang baru saja dicabutnya satu lembar dari buku gambar baru yang ia bawa. 

Mendengar hal itu, kedua manik mata Mentari pun kembali berbinar. Bak tersihir oleh kebaikan temannya itu, semangat Mentari kini kembali naik dengan sendirinya. Melihat kejadian itu, Lu’lu yang masih berada di samping keduanya pun berkata dengan senyumnya yang kembali terkembang, “Nah, sekarang Mentari udah bisa ikutan gambar juga. Ayo, sekarang Mentari bilang apa dulu ke Surya?”

“Makasih ya, Uya,” gadis kecil yang masih terdengar kesulitan menyebut nama temannya dengan fasih itu pun menerima segenggam krayon yang disodorkan bocah laki-laki di sampingnya itu. Dengan paras ceria, Mentari pun segera menggiati kegiatan menggambarnya. Kegiatan menggambar yang kali ini diikutinya dengan lebih bersuka cita. Suka cita yang mengiringi kuncup kisah persahabatannya dengan Surya.
∞∞∞

Melati dan Surya yang semula hanya kerap bertemu ketika kedua orang tua mereka saling bertegur sapa, kini bak meniti satu untai benang merah bersama. Mentari bahkan seolah tak terlepas dari Surya. Mereka berdua telah menjadi icon identik yang selalu tampil bersama. Persahabatan mereka terus merekah sejalan dengan hubungan karib yang sudah sejak lama terjalin antara kedua orang tua mereka. 

Surya tak ragu berbagi apa saja yang dimilikinya dengan Mentari. Begitun gadil kecil itu, bahkan ia telah menganggap barang miliknya adalah milik Surya juga. Saat Mentari dibelikan sekotak es krim coklat-vanila oleh abinya[1], tanpa pikir panjang ia melarikan sekotak es krim itu ke rumah Surya yang tepat berada di samping rumahnya, demi menikmati kelezatan es krim itu berdua dengan sahabat karibnya itu. 

Setiap sore mereka menghabiskan waktu menjelang maghrib di pekarangan belakang rumah mereka dengan berbagai permainan kegemaran mereka. Pekarangan rumah mereka hanya dibatasi oleh pagar kayu sederhana setinggi panggul orang dewasa. Terdapat salah satu bagian kayu pagar yang telah lapuk dan membuat sebuah lubang yang cukup besar di salah satu sisinya. Lubang ini kerap dimanfaatkan oleh Surya ataupun Mentari untuk meloloskan tubuh mungil mereka untuk menyelinap ke halaman belakang rumah masing-masing. Mentari yang kerap bolos dari agenda tidur siangnya pun kerap mengendap menuju jendela kamar Surya untuk mengusik tidur siang sahabatnya itu. Surya lain lagi. Ia sering nekat menerobos lubang di pagar itu demi melihat Mentari yang tertidur lemah di kamarnya ketika jatuh sakit. Surya akan memandang Mentari lama dari jendela kamar temannya itu hanya untuk melunasi rasa cemas dan kesepian saat tak bisa bermain bersama sahabatnya itu. 

Ketika tubuh mereka tumbuh besar dan tak cukup lagi menerobos lubang itu, pekarangan belakang rumah mereka tetap menjadi tempat favorit bagi Surya dan Mentari. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu luang bersama dengan sekedar mendiskusikan tentang pelajaran yang dipelajari di sekolah hari itu ataupun topik obrolan lainnya dengan duduk bersandar pada pagar kayu pembatas saling memunggungi satu sama lain. Mereka tetap sering berbagi brownies cokelat ataupun kudapan lainnya yang diberikan satu sama lain melalui lubang di pagar yang kini menjadi amat kecil bagi mereka. 

Orang tua mereka selalu mendaftarkan Surya dan Mentari ke sekolah yang sama. Kedua ibu mereka sepakat untuk saling berbagi mengenai perkembangan kedua putera-puteri mereka di sekolah. Itulah mengapa mereka selalu memilihkan sekolah yang sama untuk Surya dan Mentari. Kedua anak itu pun tak pernah keberatan. Surya dan Mentari yang memang sudah akrab sejak kecil justru menyambut keputusan orang tua mereka itu dengan suka cita.

Di sekolah Surya dan Melati selalu menjadi partner yang kompak. Secara kebetulan, mereka selalu ditempatkan di kelas yang sama. Hampir setiap tahun salah satu di antara keduanya mendapat amanah sebagai ketua kelas. Ketika Surya terpilih sebagai ketua kelas maka Mentari akan mengajukan diri sebagai wakil ketua kelas, begitupun sebaliknya. Mereka saling mendukung satu sama lain, juga bersama menjadi figur di mata teman-temannya. 

Baik Surya maupun Mentari kerap menjadi sosok pemimpin di antara teman-teman sekolahnya. Mereka aktif di berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Mentari merupakan ketua English Club di sekolahnya. Sementara Surya sekarang menjadi ketua ekstrakurikuler Aikido di sekolah. Mereka yang sama-sama berkarir cemerlang di minatnya masing-masing, masih tidak kalah kompak ketika bersama mengemban amanah di biro kaderisasi Rohis sekolahnya. Karakter keduanya begitu menyatu dengan tanggung jawab mereka di organisasi. 

Kerap dijadikan sebagai referensi oleh teman-temannya dalam hal keislaman maupun akademik, membuat mereka berdua mendapat julukan ‘father dan ‘mother’ dari teman-temannya. Julukan itu ditanggapi santai saja oleh keduanya. Malah cenderung menjadi dorongan tersendiri bagi mereka untuk tampil sebagai pengayom dan teladan baik di bidang akademik maupun akademik. Prestasi akademik mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Surya dan Mentari selalu masuk lima besar di kelasnya. Di antara mereka selalu bergantian meraih peringkat pertama dan kedua di kelas. Tak heran keduanya pun menjadi anak emas kebanggaan guru-guru bahkan kepala sekolah.

Surya dan Mentari. Begitu banyak hal-hal yang mengeratkan mereka berdua. Sama-sama baik, sama-sama berprestasi, sama-sama unggul di lingkungannya. Semua itu berkat pendidikan dari orang tua mereka. Memiliki anak pertama pada saat yang sama, membuat kedua belah pihak orang tua mereka sepakat untuk saling berbagi mengenai perkembangan putera-puteri mereka. Standar pendidikan dan perlakuan bagi Surya dan Mentari pun disetarakan. Tak ayal mereka tumbuh dengan membawa paham pemikiran yang sejalan. Menjadi dua sosok dengan karakter nyaris identik di mana pun mereka berada. 

Terlepas dari semua prestasi Surya dan Mentari yang sama-sama gemilang, mereka tetaplah anak-anak. Anak-anak yang selalu tumbuh dan tetap menyukai dunia mereka. Keduanya tak pernah lupa dengan kegemaran mereka menghabiskan waktu luang di pekarangan belakang rumah mereka. Sesekali kesibukan satu sama lain membatasi pertemuan mereka. Namun, melewatkan perbincangan ringan di pekarangan belakang sehari saja membuat mereka bagai kehilangan pemacu semangat beraktivitas. Sesibuk apapun, tetap saja pada jam setelah ashar sampai menuju maghrib menjadi waktu milik mereka berdua. Terkadang Mentari yang berceloteh tentang speech contest antar sekolah yang diselenggarakan oleh English Club pimpinannya. Atau Surya yang giliran bercerita tentang gunanya berlatih aikido yang digelutinya. Terkadang waktu mereka hanya menikmati kastangel keju buatan ibu Surya yang dihabiskan satu toples berdua. Keduanya tak pernah kehabisan bahan obrolan. Bahkan perbincangan mereka kerap baru diakhiri ketika Mentari mendengar panggilan uminya[2] dari kejauhan yang memerintahkannya untuk masuk ke rumah ketika maghrib datang. Kebiasaan mereka menghabiskan waktu di pekarangan belakang hanya menjadi milik mereka berdua. Tak ada orang lain yang tahu, bahkan kedua orang tua mereka.

Ya. Begitulah mereka. Surya dan Mentari yang tumbuh bersama. Menikmati masa kanak-kanak mereka bersama dengan kebersamaan yang begitu sayang untuk mereka urai sedikitpun. Keduanya telah terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Kenyamanan itu telah terpupuk dalam diri keduanya. Persahabatan mereka bagaikan sebuah hal yang sudah sepatutnya terjadi pada mereka berdua. Di mana Surya, di situ Mentari. Begitu pun sebaliknya. Keduanya bahkan tak pernah berpikir untuk menjauh satu sama lain. Perselisihan hanya menjadi bumbu pelengkap hubungan mereka. Tak pernah berlanjut menjadi permusuhan panjang atau sejenisnya. Mereka semakin kompak dari waktu ke waktu.

Surya dan Mentari. Mereka tak bisa mengabaikan berjalannya waktu. Mereka senantiasa tumbuh dan berproses. Surya dan Mentari memiliki sejuta kisah berwarna yang akan menyapa mereka kemudian. Surya dan Mentari, mereka akan segera menanggalkan status kanak-kanak yang serba ceria. Mereka akan segera mengarungi masa yang lebih menantang. Masa yang akan seribu kali penuh dengan gejolak. Masa yang akan menguji seberapa terang cahayanya masing-masing mampu bertahan menyinari. Surya dan Mentari, kini mereka beranjak dewasa.
∞∞∞


[1] Abi: sebutan untuk ayah dalam bahasa Arab
[2] Umi: sebutan untuk ibu dalam bahasa Arab
(to be continued…)


No comments:

Post a Comment