Sepasang Matahari #2
(cont...)
“Mentari Isma Az-Zahra?”
“Saya, Bu!”
“Surya Jundi Al-Hakim?”
“Saya, Bu!”
“Baiklah, sekarang semuanya sudah
diabsen. Yuk, kita mulai pelajaran hari ini, ya! Kita mulai dengan apa,
anak-anak?” Lu’lu, sang guru di kelas mungil ini beraksi mengawali pelajaran
hari itu.
“Berdoa, Bu Lu’lu!” jawab seisi kelas
serempak.
Selanjutnya lantunan doa terdengar
nyaring di sekitar bangunan taman kanak-kanak itu. Suara malaikat-malaikat
kecil yang datang dengan semangat tak terhingga, demi memenuhi rasa penasaran
mereka akan pelajaran dari berbagai hal yang mereka lihat dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan mempercayai orang tua mereka, bergegaslah mereka berangkat
ke tempat ini setiap pagi, demi melunasi semua rasa ingin tahu yang kian hari
kian meninggi.
“Hari ini kita belajar apa, Bu Lu’lu?”
bibir mungil Mentari seperti tak sanggup menahan keinginannya untuk bertanya.
Binar tangkas khas kanak-kanak yang terpancar dari kedua bola matanya pun
tertangkap oleh Lu’lu yang segera menoleh ke arah Mentari dengan senyum penuh
pengertian.
“Hari ini kita mau menggambar, Sayang.
Mentari udah bawa buku gambar dan krayon kan?” sahutnya yang kini telah
menunduk di hadapan Mentari.
Bocah itu bergegas menggeledah isi
tasnya sendiri, berharap menemukan benda-benda yang tadi telah disebutkan oleh
gurunya.
Beberapa menit mencari, dua benda yang
menjadi incaran Mentari tak kunjung ia temukan. Merasa putus asa, ia pun
bermaksud melapor pada gurunya. “Bu Lu’lu, buku gambar sama krayonku gak
ketemu.”
Lu’lu yang telah mengalihkan fokusnya
ke seisi kelas pun kembali terpanggil ke arah meja Mentari. “Carinya udah
teliti belum? Ayo, siapa tau ada di saku lain,” ujar Lu’lu berusaha membesarkan
hati bocah itu.
Kalimat itu berhasil membuat Mentari mencari
sekali lagi. Namun, dalam waktu yang lebih singkat, Mentari kini telah berbalik
kembali dengan wajah yang tertekuk cemberut. “Bu Lu,lu. Buku gambar sama krayon
aku gak ketemu juga, Bu.”
Mendengar hal tersebut, Lu’lu pun bermaksud
mengambil tindakan pencegahan agar salah satu muridnya itu tidak lantas merajuk
dan ngambek. Baru saja ia ingin
membuka mulut untuk menenangkan Mentari, terdengar suara kecil dari arah dekat
mereka.
“Kita gambarnya sama-sama aja, yuk!
Ini aku bawa banyak krayonnya.” Pemilik suara kecil itu telah berdiri di
samping meja Mentari. Senyum manisnya yang dihiasi oleh barisan rapi gigi-gigi
mungilnya, membersamai tangan kanannya yang menyodorkan segenggam krayon
beraneka warna. Di tangan kiri bocah itu pun tampak selembar kertas gambar yang
baru saja dicabutnya satu lembar dari buku gambar baru yang ia bawa.
Mendengar hal itu, kedua manik mata
Mentari pun kembali berbinar. Bak tersihir oleh kebaikan temannya itu, semangat
Mentari kini kembali naik dengan sendirinya. Melihat kejadian itu, Lu’lu yang
masih berada di samping keduanya pun berkata dengan senyumnya yang kembali
terkembang, “Nah, sekarang Mentari udah bisa ikutan gambar juga. Ayo, sekarang
Mentari bilang apa dulu ke Surya?”
“Makasih ya, Uya,” gadis kecil yang
masih terdengar kesulitan menyebut nama temannya dengan fasih itu pun menerima
segenggam krayon yang disodorkan bocah laki-laki di sampingnya itu. Dengan
paras ceria, Mentari pun segera menggiati kegiatan menggambarnya. Kegiatan
menggambar yang kali ini diikutinya dengan lebih bersuka cita. Suka cita yang
mengiringi kuncup kisah persahabatannya dengan Surya.
∞∞∞
Melati dan Surya yang semula hanya
kerap bertemu ketika kedua orang tua mereka saling bertegur sapa, kini bak
meniti satu untai benang merah bersama. Mentari bahkan seolah tak terlepas dari
Surya. Mereka berdua telah menjadi icon identik
yang selalu tampil bersama. Persahabatan mereka terus merekah sejalan dengan
hubungan karib yang sudah sejak lama terjalin antara kedua orang tua mereka.
Surya tak ragu berbagi apa saja yang
dimilikinya dengan Mentari. Begitun gadil kecil itu, bahkan ia telah menganggap
barang miliknya adalah milik Surya juga. Saat Mentari dibelikan sekotak es krim
coklat-vanila oleh abinya[1],
tanpa pikir panjang ia melarikan sekotak es krim itu ke rumah Surya yang tepat
berada di samping rumahnya, demi menikmati kelezatan es krim itu berdua dengan
sahabat karibnya itu.
Setiap sore mereka menghabiskan waktu
menjelang maghrib di pekarangan belakang rumah mereka dengan berbagai permainan
kegemaran mereka. Pekarangan rumah mereka hanya dibatasi oleh pagar kayu
sederhana setinggi panggul orang dewasa. Terdapat salah satu bagian kayu pagar
yang telah lapuk dan membuat sebuah lubang yang cukup besar di salah satu
sisinya. Lubang ini kerap dimanfaatkan oleh Surya ataupun Mentari untuk
meloloskan tubuh mungil mereka untuk menyelinap ke halaman belakang rumah
masing-masing. Mentari yang kerap bolos dari agenda tidur siangnya pun kerap
mengendap menuju jendela kamar Surya untuk mengusik tidur siang sahabatnya itu.
Surya lain lagi. Ia sering nekat menerobos lubang di pagar itu demi melihat
Mentari yang tertidur lemah di kamarnya ketika jatuh sakit. Surya akan
memandang Mentari lama dari jendela kamar temannya itu hanya untuk melunasi
rasa cemas dan kesepian saat tak bisa bermain bersama sahabatnya itu.
Ketika tubuh mereka tumbuh besar dan
tak cukup lagi menerobos lubang itu, pekarangan belakang rumah mereka tetap
menjadi tempat favorit bagi Surya dan Mentari. Biasanya mereka akan
menghabiskan waktu luang bersama dengan sekedar mendiskusikan tentang pelajaran
yang dipelajari di sekolah hari itu ataupun topik obrolan lainnya dengan duduk
bersandar pada pagar kayu pembatas saling memunggungi satu sama lain. Mereka
tetap sering berbagi brownies cokelat
ataupun kudapan lainnya yang diberikan satu sama lain melalui lubang di pagar
yang kini menjadi amat kecil bagi mereka.
Orang tua mereka selalu mendaftarkan
Surya dan Mentari ke sekolah yang sama. Kedua ibu mereka sepakat untuk saling
berbagi mengenai perkembangan kedua putera-puteri mereka di sekolah. Itulah
mengapa mereka selalu memilihkan sekolah yang sama untuk Surya dan Mentari.
Kedua anak itu pun tak pernah keberatan. Surya dan Mentari yang memang sudah
akrab sejak kecil justru menyambut keputusan orang tua mereka itu dengan suka
cita.
Di sekolah Surya dan Melati selalu
menjadi partner yang kompak. Secara
kebetulan, mereka selalu ditempatkan di kelas yang sama. Hampir setiap tahun
salah satu di antara keduanya mendapat amanah sebagai ketua kelas. Ketika Surya
terpilih sebagai ketua kelas maka Mentari akan mengajukan diri sebagai wakil
ketua kelas, begitupun sebaliknya. Mereka saling mendukung satu sama lain, juga
bersama menjadi figur di mata teman-temannya.
Baik Surya maupun Mentari kerap
menjadi sosok pemimpin di antara teman-teman sekolahnya. Mereka aktif di
berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Mentari merupakan ketua English Club di sekolahnya. Sementara Surya sekarang menjadi ketua
ekstrakurikuler Aikido di sekolah. Mereka yang sama-sama berkarir cemerlang di
minatnya masing-masing, masih tidak kalah kompak ketika bersama mengemban
amanah di biro kaderisasi Rohis sekolahnya. Karakter keduanya begitu menyatu
dengan tanggung jawab mereka di organisasi.
Kerap dijadikan sebagai referensi oleh
teman-temannya dalam hal keislaman maupun akademik, membuat mereka berdua
mendapat julukan ‘father’ dan ‘mother’ dari teman-temannya. Julukan itu ditanggapi santai saja
oleh keduanya. Malah cenderung menjadi dorongan tersendiri bagi mereka untuk
tampil sebagai pengayom dan teladan baik di bidang akademik maupun akademik. Prestasi
akademik mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Surya dan Mentari selalu masuk
lima besar di kelasnya. Di antara mereka selalu bergantian meraih peringkat pertama
dan kedua di kelas. Tak heran keduanya pun menjadi anak emas kebanggaan
guru-guru bahkan kepala sekolah.
Surya dan Mentari. Begitu banyak
hal-hal yang mengeratkan mereka berdua. Sama-sama baik, sama-sama berprestasi,
sama-sama unggul di lingkungannya. Semua itu berkat pendidikan dari orang tua
mereka. Memiliki anak pertama pada saat yang sama, membuat kedua belah pihak
orang tua mereka sepakat untuk saling berbagi mengenai perkembangan
putera-puteri mereka. Standar pendidikan dan perlakuan bagi Surya dan Mentari
pun disetarakan. Tak ayal mereka tumbuh dengan membawa paham pemikiran yang
sejalan. Menjadi dua sosok dengan karakter nyaris identik di mana pun mereka
berada.
Terlepas dari semua prestasi Surya dan
Mentari yang sama-sama gemilang, mereka tetaplah anak-anak. Anak-anak yang
selalu tumbuh dan tetap menyukai dunia mereka. Keduanya tak pernah lupa dengan
kegemaran mereka menghabiskan waktu luang di pekarangan belakang rumah mereka.
Sesekali kesibukan satu sama lain membatasi pertemuan mereka. Namun, melewatkan
perbincangan ringan di pekarangan belakang sehari saja membuat mereka bagai
kehilangan pemacu semangat beraktivitas. Sesibuk apapun, tetap saja pada jam
setelah ashar sampai menuju maghrib menjadi waktu milik mereka berdua.
Terkadang Mentari yang berceloteh tentang speech
contest antar sekolah yang diselenggarakan oleh English Club pimpinannya. Atau Surya yang giliran bercerita tentang
gunanya berlatih aikido yang digelutinya. Terkadang waktu mereka hanya
menikmati kastangel keju buatan ibu Surya yang dihabiskan satu toples berdua.
Keduanya tak pernah kehabisan bahan obrolan. Bahkan perbincangan mereka kerap
baru diakhiri ketika Mentari mendengar panggilan uminya[2] dari
kejauhan yang memerintahkannya untuk masuk ke rumah ketika maghrib datang. Kebiasaan
mereka menghabiskan waktu di pekarangan belakang hanya menjadi milik mereka
berdua. Tak ada orang lain yang tahu, bahkan kedua orang tua mereka.
Ya. Begitulah mereka. Surya dan
Mentari yang tumbuh bersama. Menikmati masa kanak-kanak mereka bersama dengan
kebersamaan yang begitu sayang untuk mereka urai sedikitpun. Keduanya telah
terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Kenyamanan itu telah terpupuk dalam
diri keduanya. Persahabatan mereka bagaikan sebuah hal yang sudah sepatutnya
terjadi pada mereka berdua. Di mana Surya, di situ Mentari. Begitu pun
sebaliknya. Keduanya bahkan tak pernah berpikir untuk menjauh satu sama lain.
Perselisihan hanya menjadi bumbu pelengkap hubungan mereka. Tak pernah
berlanjut menjadi permusuhan panjang atau sejenisnya. Mereka semakin kompak
dari waktu ke waktu.
Surya dan Mentari. Mereka tak bisa
mengabaikan berjalannya waktu. Mereka senantiasa tumbuh dan berproses. Surya
dan Mentari memiliki sejuta kisah berwarna yang akan menyapa mereka kemudian.
Surya dan Mentari, mereka akan segera menanggalkan status kanak-kanak yang
serba ceria. Mereka akan segera mengarungi masa yang lebih menantang. Masa yang
akan seribu kali penuh dengan gejolak. Masa yang akan menguji seberapa terang
cahayanya masing-masing mampu bertahan menyinari. Surya dan Mentari, kini
mereka beranjak dewasa.
∞∞∞
No comments:
Post a Comment