Sebuah refleksi.
Kembali. Aku kerap terkunci pada sebuah kondisi. Kondisi dimana aku merasa
menjadi makhluk terlemah di bumi ini. Aku menjadi rapuh, sekaligus malu. Malu
pada hidup ini.
Acap kali kecewa,
marah, sedih, melintas dalam perjalanan hidupku. Berbagai musabab melatar belakangi kemunculan
mereka semua. Dan itu terjadi tidak hanya cukup sekali.
Aku sering kecewa
menatap perjuanganku yang tak bisa sekeras yang lain. Melihat prestasiku yang
tak secemerlang yang lain. Menyadari keputusasaanku yang perlahan tampak ke
permukaan. Seberapa besar pun inginnya hatiku menjadi pribadi yang lebih
kompetitif, tapi seperti ada bagian lain hatiku yang ingin memaklumi kondisi
ini. Sisi hatiku yang berkata, biarlah
kompetisi ini menjadi milik mereka, aku tak perlu repot-repot bergelut dalam
pertandingan yang sudah memiliki pemenang mutlak. Ah, mengapa aku
memiliki pemikiran seperti itu? Sudah ada orang yang menyebutku 'loser', dan ini bukan gurauan. Hatiku malah
berkata, terserah saja, silahkan sebut aku
pecundang atau apa, aku hanya akan jadi diriku sendiri, tidak perlu seperti
mereka.
Aku pun terkadang
marah. Ketika aku merasa berhak dan butuh untuk memperoleh sesuatu hal yang
amat penting bagiku. Tapi perjuanganku untuk mendapatkan hal itu tak kunjung
membuahkan hasil. Awalnya tak apa. Sekali, dua kali, tiga kali. Tapi kini sudah
jadi berkali-kali. Aku ditolak. Permohonanku tak juga dikabulkan. Aku kini
berada dalam status lelah. Aku enggan lagi berharap banyak pada harapan-harapan
itu. Harapan yang ketika ia terbang tak tergapai, justru mataku memicing pada
sosok orang-orang yang berhasil meraihnya. Orang-orang yang tampak baik-baik
saja, riang-riang saja. Mengapa bukan aku?
Mengapa justru keberuntungan itu jatuh ke tangan mereka? Tidak cukupkah
kondisiku untuk layak memperolehnya? Harus seberapa parah hidupku baru pantas
mendapatkannya? Ya, aku marah. Hatiku tak bisa berdusta. Terkadang
rajukan itu muncul. Mengapa Dia lebih memilih
mereka daripada aku? Bukankah Dia Maha Adil? Lalu di mana Dia saat aku merasa
mengalami ketidakadilan? Ah, tidak. Mungkinkah aku…. iri?
Aku sedih. Ketika
hari-hariku selalu diliputi rasa bersalah. Bersalah pada mereka yang
memperjuangkanku. Bersalah pada mereka yang menyayangiku. Aku tak lain hanyalah
beban mereka. Aku tak sanggup lagi membayangkan seberapa berat kesulitan yang
harus mereka hadapi hanya demi aku. Aku tak mau lagi membayangkan hal itu.
Karena bayangan itu hanya akan semakin menyakitiku. Tapi, aku tak dapat
bersembunyi. Aku tidak bisa menafikkan kenyataan ini. Aku memang beban. Dan sudah seharusnya aku
meringankan mereka. Tapi mengapa hanya masalah dan masalah yang kutimbulkan?
Aku ingin menemukan jalan pintas jika memang ada. Jalan yang bisa mempercepat
masa-masa berat ini, hingga era berganti. Masuk ke saat dimana aku telah bisa berdiri
mantap di atas kakiku sendiri. Masa-masa gemilang itu yang entah kapan, namun
aku yakin ia adalah sebuah keniscayaan.
Kutemukan diriku
yang sering terpekur dalam emosi-emosi semacam itu. Terperangkap dalam ego yang
mengelabui. Tak kuasa menahan bisikan makhluk-makhluk terkutuk penuh muslihat.
Aku sering bergelimang kesah. Menghabiskan waktuku yang berharga dengan meratapi
nasib. Ah, benarkah aku seperti itu?
Lalu, aku pun
terhenyak. Sesekali nuraniku terbangun oleh salah satu realita di dunia ini.
Ya, saat tanpa sengaja aku bertemu dengan sosok mereka. Seorang tuna netra
yang berjalan seorang diri dengan
tongkatnya, bersama kemoceng-kemoceng bulu ayam baru yang digantungkan di
pundaknya. Sekumpulan anak-anak belia yang bersama saling menopang kebutuhan
khusus mereka di yayasan sosial. Beberapa di antara mereka yang telah beranjak
dewasa bahkan telah mampu menemukan hidup mereka sendiri. Menyadari kenyataan
yang nun jauh di negeri seberang. Bocah-bocah tak berdosa di Palestina, mereka
terpaksa bergelut dengan kehidupan yang serba tidak memungkinkan. Hidup yang
tak pernah sanggup kubayangkan terjadi di tempatku berada. Tapi mereka justru
tumbuh menjadi anak-anak pemberani. Tak peduli ancaman dan bahaya yang
mengintai, mereka ikut bergerak demi kebebasan mereka. Mereka turut berjuang
membela hak asasi mereka. Wajahku pun seketika tertampar keras. Batinku
disudutkan pada satu perasaan yang tak terdeskripsikan.
Mereka lah sang
juara. Mereka. Ya, aku kalah. Dengan segala hormat, aku mengaku kalah. Seberapa
pahit pun takdir yang jatuh di tangan mereka, maju terus justru pilihan yang
mereka ambil. Standing applause. Aku
salut. Aku malu. Sebuah rasa yang seolah enggan kuakui. Tapi kali ini aku harus
jujur. Aku malu!
Dalam belitan keluh
aku meratapi hidup. Begitu sensitif jiwa ini pada ketidakberpihakan takdir yang
telah kualami. Tapi aku bukanlah apa-apa dibanding mereka. Aku hanya manusia
egois yang kurang menyadari nikmat hidupnya. Aku tak sepantasnya seperti ini.
Aku tak layak berkesah sedikitpun.
Kau, Sang Pemilik
Hati. Aku bersalah. Aku mengaku salah. Betapa tak bergunanya ratapanku selama
ini. Betapa mubazirnya nelangsaku dalam hidup ini. Aku ingin bersyukur. Lebih
bersyukur. Aku ingin semakin merasakan cinta-Mu. Cinta yang tak pernah bosan
Kau curahkan pada setiap makhluk-Mu. Aku ingin jadi dewasa. Melihat segalanya
dalam bingkai kelapangan. Menikmati semuanya dalam balutan keikhlasan.
Aku memang tak
sempurna. Dan tak akan pernah bisa sempurna. Aku tidak akan lantas bisa jadi
setulus malaikat, ataupun seteladan para nabi. Aku hanya bisa jadi diriku.
Meskipun memandang ke atas tidak lantas dengan mudahnya dapat melejitkanku bak
mobil balap di sirkuitnya. Namun, akan kupastikan bahwa tak akan ada satu pun
kepedihan yang akan mampu merapuhkanku lagi. Aku ingin meneladani mereka,
orang-orang hebat yang terlahir tidak lebih beruntung daripada diriku. Tak akan
tersedia kekuatan bagi batin ini untuk berkeluh-kesah seperti dulu. Bukankah
setiap kesulitan tak akan melampaui batas kemampuan penerimanya?
Allah,
aku ingin belajar ikhlas. Aku ingin pandai bersyukur. Bukankah dengan begitu
hidup ini akan terasa lebih indah?
Insya Allah…
Astaghfirullah Hal 'Azim...
No comments:
Post a Comment