Panggil Aku Perempuan #4
(cont...)
Ari menginjakkan kaki di sebuah gedung besar
yang merupakan gedung pusat pemerintahan universitasnya. Jarang sekali ia
mengunjungi tempat ini. Tidak ada pula urusan penting yang harus ia selesaikan
di sini. Kecuali hari ini.
Ia memenuhi undangan Indah yang memintanya
menunggu di selasar utama. Ari bersandar pada salah satu pilar gedung. Angin
semilir menemani penantiannya. Tanpa sengaja di sudut koridor tak jauh dari
tempat duduknya, ia melihat sesosok yang ia kenal. Itu Kak Indah? pikirnya. Orang itu ternyata benar adalah Indah. Ia
terlihat sedang duduk melingkar, bercengkerama bersama beberapa teman
perempuannya. Sepertinya Indah tidak menyadari bahwa dirinya tengah diamati.
Perlahan Ari mendekati Indah dan teman-temannya. Awalnya sedikit ragu, namun
langkahnya kian mantap.
“Wa’alaykumsalam
warohmatullahi wabarakatuh,” sayup terdengar salam mereka serempak. “Kak
Indah?” sapa Ari yang telah berada tepat di belakang Indah. “Eh, Dek. Udah
sampe?” tanya Indah seraya membalik badannya. Serta merta gadis-gadis
berkerudung yang duduk mengelilingi forum pun melemparkan pandangan mereka ke arah
Ari seraya memberikan senyum manis.
Setelah bersalaman, Ari langsung diajak
bergabung dalam forum tersebut. Mulanya ekspresi canggung muncul dari wajah
Ari. Jelas saja, dia lah gadis yang berpenampilan paling berbeda di antara
semua gadis yang berada di sana. Segan. Itulah yang dirasakan Ari. Tapi ia
berusaha menikmati suasana saat itu. Atmosfer yang entah mengapa menghangat
dengan sendirinya. Ari merasa nyaman di antara orang-orang yang baru dikenalnya
ini. Entah mengapa. Mungkin karena sopan santun serta senyum hangat yang selalu
mereka bagikan.
Usai forum siang itu, Ari yang memang tidak memiliki
kendaraan, menumpang sepeda motor Indah. Dalam perjalanan pulang itu, Ari
berkata, “Kak Indah, makasih ya, aku seneng hari ini.”
“Iya, Dek. Sama-sama. Kakak juga seneng kamu gabung
di forum kami tadi,” sahut Indah sambil tetap fokus berkendara.
Terdiam sejenak, Ari pun melanjutkan, “Aku iri
sama temen-temen tadi Kak,” “Lho, kok iri?” respon Indah langsung.
Helaan napas ringan meluncur dari rongga
pernapasan Ari. Dengan tatapan mata lurus, ia menjawab, “Mereka orang-orang
yang menyenangkan Kak. Gak hanya penampilan mereka yang bikin orang ngerasa
senang, tapi sikap mereka juga cocok banget sama appearance mereka. Coba aku terlahir kayak mereka.”
Terdengar tawa kecil penuh pengertian dari
bibir Indah. “Kamu lucu, Dek. Mereka jadi seperti yang sekarang kita liat,
bukan karena memang terlahir kayak gitu. Itu karena proses, Dek. Karena mereka
belajar. Gak perlu terlahir jadi orang kayak mereka kok, karena setiap
orang juga bisa belajar dengan prosesnya masing-masing.” jelas Indah singkat di
atas sepeda motornya.
Ari tampak berpikir. Orang kayak gue? Apa bisa? Gue dan mereka kayak langit dan bumi. Jauh banget.
Pikirannya bergumam sendiri. “Apa ini yang Kakak maksud dengan belajar
kemarin?” lanjutnya. “Tentu aja, Dek.” Indah menjawab dengan kelopak mata yang
menyipit. “Mmm… kalo gitu segera ajarin aku Kak. Aku mau tau lebih banyak lagi.
Aku pengen nemuin prosesku sendiri.” Ari memohon dengan mantapnya. “Siap, Dek.”
Sahut Indah tak kalah lantangnya sambil memacu motornya lebih cepat.
Dari hari ke hari, Ari menekuni pelajarannya
dengan serius. Setiap hal yang diajarkan dan dicontohkan oleh Indah diadaptasinya
dengan baik. Ari mulai mengenal cara berhijab, melindungi dan menjaga dirinya
sendiri. Pelajaran akhlak dan tata karma pun tak ketinggalan menjadi
santapannya dalam setiap pertemuannya dengan Indah. Ari bahkan kini telah
bergabung dengan forum seperti yang Indah dan teman-temannya ikuti setiap
pekannya.
Ari kini tampil dengan wajah barunya.
Penampilan fisik yang lebih cantik, diimbangi dengan sikapnya yang sedikit demi
sedikit menjadi lebih santun. Ari tampak sudah mantap dengan keputusannya. Dengan
proses yang tengah dijalaninya. Sebuah hal yang melegakan Indah sebagai
pembimbingnya. Sampai suatu situasi yang diluar dugaan pun terjadi.
Hari itu Ari memiliki jadwal kuliah lapangan
bersama teman-teman satu jurusannya. Setiap tiga bulan, Jurusan Teknik
Metalurgi memang mengadakan kegiatan observasi lapangan ke sebuah pusat
eksplorasi tambang. Setelah mempersiapkan segala keperluannya, Ari pun
melangkah mantap menuju kampusnya untuk mengikuti briefing keberangkatan. Sesampainya di halaman parkir, Ari yang dari
kejauhan telah melihat rekan-rekannya berkerumun pun melambaikan tangan dan
menyapa riang. Ia selalu bersemangat menyambut kunjungan langsung seperti ini. Alih-alih
mendapat balasan salam yang hangat, Ari justru mendapat jawaban yang begitu
mengejutkannya.
“Ari, lo mau kemana? Kita mau ke pusat
pertambangan Ri, bukan mau ke pengajian.” seloroh seorang mahasiswa teman
sekelompok belajar Ari diikuti tawa penuh sindiran dari rekan-rekan di
sekitarnya.
Ari yang semula tersenyum cerah, mendadak bingung.
Emang apa yang salah sama gue? Matanya
menyapu ke seluruh tubuhnya. Dirinya hari ini tampak lengkap dengan rok panjang
yang baru saja dibelinya bersama Indah kemarin. Ditambah dengan kerudung yang
agak sedikit dipanjangkan melewati batas dada. Semua ini buah pelajarannya
bersama Indah. Ari yang menyaksikan tawa mengejek dari teman-temannya yang
sebagian besar laki-laki pun mulai goyah. Mungkin
mereka bener. Kenapa juga gue pake pakaian kayak gini. Ini bukan kostum yang
pas buat ke lapangan. Lo bodoh banget Ri! Ari pun hanya bisa tertunduk
lesu. Ia menyingkirkan diri di belakang kerumunan. Berusaha menghindari tatapan
aneh dari teman-temannya. Dalam hati, tiba-tiba saja ia begitu mengutuk
penampilannya hari ini.
Beberapa hari kemudian, Indah tidak dapat
menemukan Ari di forum pekanan mereka. Setiap pesan dan panggilan yang
dikirimkannya tak pernah mendapatkan respon dari Ari. Di kampus, Indah pun tak
dapat menemukan Ari. Ia pun mulai cemas. Ke mana
ya, Si Ari? Kok ngilang gitu aja? Semoga gak terjadi sesuatu yang buruk sama
dia. Hatinya berujar penuh harap. Napas terburu penuh kecemasan kerap
dirasakannya setiap kali memikirkan Ari. Ari,
kamu dimana Dek?
***
(to be continued...)
No comments:
Post a Comment