Saturday, 5 May 2012

CerBung Mei 2012

Panggil Aku Perempuan #4

(cont...)

Ari menginjakkan kaki di sebuah gedung besar yang merupakan gedung pusat pemerintahan universitasnya. Jarang sekali ia mengunjungi tempat ini. Tidak ada pula urusan penting yang harus ia selesaikan di sini. Kecuali hari ini.

Ia memenuhi undangan Indah yang memintanya menunggu di selasar utama. Ari bersandar pada salah satu pilar gedung. Angin semilir menemani penantiannya. Tanpa sengaja di sudut koridor tak jauh dari tempat duduknya, ia melihat sesosok yang ia kenal. Itu Kak Indah? pikirnya. Orang itu ternyata benar adalah Indah. Ia terlihat sedang duduk melingkar, bercengkerama bersama beberapa teman perempuannya. Sepertinya Indah tidak menyadari bahwa dirinya tengah diamati. Perlahan Ari mendekati Indah dan teman-temannya. Awalnya sedikit ragu, namun langkahnya kian mantap.

Wa’alaykumsalam warohmatullahi wabarakatuh,” sayup terdengar salam mereka serempak. “Kak Indah?” sapa Ari yang telah berada tepat di belakang Indah. “Eh, Dek. Udah sampe?” tanya Indah seraya membalik badannya. Serta merta gadis-gadis berkerudung yang duduk mengelilingi forum pun melemparkan pandangan mereka ke arah Ari seraya memberikan senyum manis.

Setelah bersalaman, Ari langsung diajak bergabung dalam forum tersebut. Mulanya ekspresi canggung muncul dari wajah Ari. Jelas saja, dia lah gadis yang berpenampilan paling berbeda di antara semua gadis yang berada di sana. Segan. Itulah yang dirasakan Ari. Tapi ia berusaha menikmati suasana saat itu. Atmosfer yang entah mengapa menghangat dengan sendirinya. Ari merasa nyaman di antara orang-orang yang baru dikenalnya ini. Entah mengapa. Mungkin karena sopan santun serta senyum hangat yang selalu mereka bagikan.

Usai forum siang itu, Ari yang memang tidak memiliki kendaraan, menumpang sepeda motor Indah. Dalam perjalanan pulang itu, Ari berkata, “Kak Indah, makasih ya, aku seneng hari ini.”

“Iya, Dek. Sama-sama. Kakak juga seneng kamu gabung di forum kami tadi,” sahut Indah sambil tetap fokus berkendara.

Terdiam sejenak, Ari pun melanjutkan, “Aku iri sama temen-temen tadi Kak,” “Lho, kok iri?” respon Indah langsung.

Helaan napas ringan meluncur dari rongga pernapasan Ari. Dengan tatapan mata lurus, ia menjawab, “Mereka orang-orang yang menyenangkan Kak. Gak hanya penampilan mereka yang bikin orang ngerasa senang, tapi sikap mereka juga cocok banget sama appearance mereka. Coba aku terlahir kayak mereka.”

Terdengar tawa kecil penuh pengertian dari bibir Indah. “Kamu lucu, Dek. Mereka jadi seperti yang sekarang kita liat, bukan karena memang terlahir kayak gitu. Itu karena proses, Dek. Karena mereka belajar. Gak perlu terlahir jadi orang kayak mereka kok, karena setiap orang juga bisa belajar dengan prosesnya masing-masing.” jelas Indah singkat di atas sepeda motornya.

Ari tampak berpikir. Orang kayak gue? Apa bisa? Gue dan mereka kayak langit dan bumi. Jauh banget. Pikirannya bergumam sendiri. “Apa ini yang Kakak maksud dengan belajar kemarin?” lanjutnya. “Tentu aja, Dek.” Indah menjawab dengan kelopak mata yang menyipit. “Mmm… kalo gitu segera ajarin aku Kak. Aku mau tau lebih banyak lagi. Aku pengen nemuin prosesku sendiri.” Ari memohon dengan mantapnya. “Siap, Dek.” Sahut Indah tak kalah lantangnya sambil memacu motornya lebih cepat.

Dari hari ke hari, Ari menekuni pelajarannya dengan serius. Setiap hal yang diajarkan dan dicontohkan oleh Indah diadaptasinya dengan baik. Ari mulai mengenal cara berhijab, melindungi dan menjaga dirinya sendiri. Pelajaran akhlak dan tata karma pun tak ketinggalan menjadi santapannya dalam setiap pertemuannya dengan Indah. Ari bahkan kini telah bergabung dengan forum seperti yang Indah dan teman-temannya ikuti setiap pekannya.

Ari kini tampil dengan wajah barunya. Penampilan fisik yang lebih cantik, diimbangi dengan sikapnya yang sedikit demi sedikit menjadi lebih santun. Ari tampak sudah mantap dengan keputusannya. Dengan proses yang tengah dijalaninya. Sebuah hal yang melegakan Indah sebagai pembimbingnya. Sampai suatu situasi yang diluar dugaan pun terjadi. 

Hari itu Ari memiliki jadwal kuliah lapangan bersama teman-teman satu jurusannya. Setiap tiga bulan, Jurusan Teknik Metalurgi memang mengadakan kegiatan observasi lapangan ke sebuah pusat eksplorasi tambang. Setelah mempersiapkan segala keperluannya, Ari pun melangkah mantap menuju kampusnya untuk mengikuti briefing keberangkatan. Sesampainya di halaman parkir, Ari yang dari kejauhan telah melihat rekan-rekannya berkerumun pun melambaikan tangan dan menyapa riang. Ia selalu bersemangat menyambut kunjungan langsung seperti ini. Alih-alih mendapat balasan salam yang hangat, Ari justru mendapat jawaban yang begitu mengejutkannya.

“Ari, lo mau kemana? Kita mau ke pusat pertambangan Ri, bukan mau ke pengajian.” seloroh seorang mahasiswa teman sekelompok belajar Ari diikuti tawa penuh sindiran dari rekan-rekan di sekitarnya.

Ari yang semula tersenyum cerah, mendadak bingung. Emang apa yang salah sama gue? Matanya menyapu ke seluruh tubuhnya. Dirinya hari ini tampak lengkap dengan rok panjang yang baru saja dibelinya bersama Indah kemarin. Ditambah dengan kerudung yang agak sedikit dipanjangkan melewati batas dada. Semua ini buah pelajarannya bersama Indah. Ari yang menyaksikan tawa mengejek dari teman-temannya yang sebagian besar laki-laki pun mulai goyah. Mungkin mereka bener. Kenapa juga gue pake pakaian kayak gini. Ini bukan kostum yang pas buat ke lapangan. Lo bodoh banget Ri! Ari pun hanya bisa tertunduk lesu. Ia menyingkirkan diri di belakang kerumunan. Berusaha menghindari tatapan aneh dari teman-temannya. Dalam hati, tiba-tiba saja ia begitu mengutuk penampilannya hari ini.

Beberapa hari kemudian, Indah tidak dapat menemukan Ari di forum pekanan mereka. Setiap pesan dan panggilan yang dikirimkannya tak pernah mendapatkan respon dari Ari. Di kampus, Indah pun tak dapat menemukan Ari. Ia pun mulai cemas.  Ke mana ya, Si Ari? Kok ngilang gitu aja? Semoga gak terjadi sesuatu yang buruk sama dia. Hatinya berujar penuh harap. Napas terburu penuh kecemasan kerap dirasakannya setiap kali memikirkan Ari. Ari, kamu dimana Dek?
***
(to be continued...)

No comments:

Post a Comment