Saturday, 5 May 2012

I’ve Kept It in My Deepest Heart

            Ruangan ini begitu ramai. Senangnya melihat mereka semua hadir. Tak ada yang tertinggal. Di sudut sana aku melihat teman-teman kuliahku. Di samping meja jamuan terdapat teman-teman SD-ku sedang bercengkerama. Berada di sudut ini membuatku dapat melihat seluruh ruangan dengan mudah.
Tiba-tiba lamunanku terbuyar, sosok pria yang sejak tadi duduk di sampingku menggenggam tanganku dan beranjak berdiri. Mengajakku kembali pada rutinitas yang sejak beberapa jam lalu kami lakukan bersama. Kali ini orang-orang yang tidak begitu kukenal. Sepertinya dia yang mengenal mereka.
Ya, dia. Dia yang sejak tadi setia membersamaiku. Dia yang hari ini telah mengucapkan janji sucinya. Dia yang dengan yakin memilihku. Betapa besarnya rasa syukurku hari ini. Sang Maha Pemilik Hati, terima kasih telah mengirimnya khusus untukku, suamiku.
Ada sensasi yang berbeda ketika kata itu melintas di benakku. Malu. Mungkin karena ini pertama kalinya. Semoga orang-orang tidak menyadari rona pipiku yang memerah bukan karena riasan ini. Tapi tak dapat kupungkiri, hari ini aku melambung tinggi. Telah kuserahkan hatiku pada seorang pria yang tak akan pernah kusesali telah menerimanya. Mengizinkan pria ini mengenalku lebih dalam lagi, memilikiku seutuhnya, dan membinaku sebagai seorang istri. Telah terbayang hari-hari indahku dalam atap rumah tangga kami nanti.
***
Memoriku terlempar pada masa belasan tahun yang lalu. Seorang gadis kecil berusia tujuh tahun, digandeng tangan ibunya, menghadiri acara seperti ini. Melihat sepasang mempelai duduk di singgasananya berbalut gaun kebaya nan serasi, dikelilingi dekorasi cantik bertema, gadis kecil itu pun takjub. Pikiran kecilnya melayang jauh. Mengagumi keindahan hari itu. Kemudian berseru iri dalam hatinya. Suatu saat aku akan berada di sana. Aku yang akan berada di sana. Berdandan cantik, dan dikagumi banyak orang. Juga menggandeng seorang pria di sampingku. Ah, kapan ya saat itu tiba?
Bibirku tersenyum geli sendiri ketika mengingatnya. Saat tak dapat kupungkiri bahwa gadis kecil itu tak lain adalah diriku sendiri. Tak habis pikir, sampai aku memiliki keinginan semacam itu bahkan sejak usia yang sangat dini. Sejak aku belum mengenal adanya perasaan yang akan menautkan sepasang laki-laki dan perempuan di pelaminan itu. Sejak aku belum mengerti apa yang dinamakan cinta. Lucu sekali mengenangnya.
***
Memoriku beranjak kembali ke masa itu. Saat duniaku berwarna putih-biru. Saat itu mulai banyak kawan sekolahku yang menjajal tren baru dalam hidup mereka. Orang-orang saat ini menyebutnya dengan cinta monyet. Hubungan spesial ala remaja, yang diwarnai dengan bumbu kekanakan dan sarat kesan ketidak-matangan. Setidaknya itu yang melintas dalam pikiranku. Aku yang kala itu berusia tak terpaut jauh dari mereka, hanya sering menjadi penonton drama permainan cinta tersebut. Entah mengapa, aku tak pernah ingin mencicipnya juga barang sekalipun.
Pernah suatu ketika aku menemukan seorang yang membuatku mengaguminya secara tiba-tiba. Aku tidak ingat pasti apa penyebabnya. Yang kutahu aku hanya sering menatap kagum dan terpesona ketika orang itu berada di dekatku. Ya, dia adalah seorang anak laki-laki. Saat itu aku sering membanggakannya di depan teman-teman dekatku. Seolah dia adalah bintang yang bersinar paling terang di mataku, tanpa ada setitikpun noda yang mengkontaminasi kegemilangannya.
Beberapa waktu lamanya aku mempertahankan kekaguman itu. Padahal aku pun sama sekali belum pernah mengenal dia, apalagi mengetahui bagaimana kepribadiannya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaan seperti ini. Rasa kagum seperti ini, apakah ini cinta? Pemikiran itu sempat singgah di benakku. Namun, masih juga belum dapat kutemukan jawabannya.
Suatu hari sebuah peristiwa menyadarkanku. Membuat aku mulai mengerti jawaban atas pertanyaan yang mengambang di pikiranku selama ini. Siang itu sepulang sekolah aku melihat dia yang kukagumi itu duduk sendiri di halte bus. Mungkin sedang menunggu angkutan umum, pikirku saat itu. Aku yang memang selalu terpesona melihatnya, tak dapat melepaskan pandanganku barang sedetik pun dari sosoknya yang duduk sendiri dan terlihat sibuk dengan ponselnya.
Tiba-tiba tampak seorang anak perempuan berseragam putih abu-abu yang dengan sengaja merangkul bahunya dari arah belakang. Dia pun membalas rangkulan gadis itu dengan senyuman maut ditambah kata-kata yang sengaja dibuat sok manis, berisi puji-pujian kepada anak perempuan yang terlihat lebih tua darinya itu. Seketika itu pula, aku terdiam. Aku tak habis pikir dengan apa yang baru saja kulihat. Dia yang selama ini begitu kubanggakan, melakukan hal semacam itu di depan umum! Bandingkan dia dengan gadis itu, bukankah usianya terpaut jauh lebih muda? Yang benar saja! Pikiranku melontarkan protes spontan saat itu juga. Dia yang selama ini ranking satu di mataku, turun drastis ke peringkat paling bawah. Kupikir dia berbeda, tapi ternyata sama saja dengan anak-anak lain yang senang bermain-main dengan kehidupan mereka. Ah, aku menyesal mengaguminya.
Black list.  Anak laki-laki itu langsung masuk ke dalam daftar hitamku. Aku yang menyaksikan kejadian itu, kemudian mulai memahami definisi dari perasaan yang selama ini kurasakan. Aku tidak merasa sakit hati. Aku tidak merasa dikhianati. Maka aku pun mengerti, itu bukan cinta. Itu hanya kekaguman biasa. Sekedar simpati. Sigh. Aku bersyukur ini bukan sebuah perasaan yang serius. Untuk apa aku menaruh perasaan lebih pada orang seperti dia? Kejadian hari itu benar-benar membuka mataku. Menyadarkanku untuk tidak memberi penilaian berlebih pada orang lain yang belum sepenuhnya kukenal.
Masa itu adalah awal dari terbentuknya pola pikirku yang lebih matang. Ya, aku membenarkan hal itu sampai sekarang. Pola pikir itu selalu kuingat dan kuterapkan dalam pergaulan. Benar-benar masa pembelajaran yang bermakna.
***
Memoriku terhanyut pada masa yang paling berkesan dalam hidupku. Kali ini penuh dengan warna putih abu-abu. Aura remaja yang penuh gejolak tengah menghiasi jiwaku. Bagaikan terbawa oleh suasana yang tengah mewarnai sebagian besar remaja sekolah menengah saat itu, aku pun sedikit terpengaruh. Dunia remaja yang begitu menggelitik, itulah yang membuatku semakin penasaran. Melihat sebagian besar teman-temanku membicarakan kisah romansa mereka dengan pasangan masing-masing, aku pun tergerak untuk merasakan sensasi yang sama. Kuputuskan untuk melakukan sesuatu. Ya, aku harus bisa menemukan pasanganku sendiri. Entah, mungkin ini hanya karena terbawa suasana.
Aku pun mulai melakukan hal-hal yang sebelumnya belum pernah kulakukan. Aku lebih banyak meneliti untuk mencari tahu tipe pria seperti apa yang sebenarnya kucari selama ini. Kadang aku berpikir apakah hal itu penting untuk kulakukan. Mungkin, aku hanya ingin punya pacar. Sepertinya pacar adalah seorang yang biasa dimiliki oleh remaja saat itu. Ya, saat itu aku memang belum mengerti.
Menghindari kesalahanku dulu yang hanya menilai orang lain dari jauh, kuputuskan untuk melakukan pendekatan dengan caraku sendiri. Beberapa anak laki-laki kuperhatikan bahkan kudekati satu per satu. Mulai dari berkenalan, mengajak berteman, sampai akhirnya aku pun memahami kepribadian mereka. Namun, dari sekian banyak target yang berhasil kudekati, tak ada satu pun di antara mereka yang begitu berkesan bagiku. Mereka semua tampak sama saja. Setelah mengenal lebih jauh, akhirnya aku menyadari bahwa tak ada yang begitu spesial dari kepribadian mereka. Selalu ada saja bagian dari diri mereka yang justru membuatku kecewa. Terutama sifat kekanakan yang menjangkiti sebagian besar dari mereka.
Setelah beberapa lamanya mencari dan mencari tanpa hasil yang memuaskan, lelah juga akhirnya. Kuputuskan untuk berpikir ulang. Keraguanku akan tindakan ini terbukti sekarang. Dulu aku sempat berpikir, pentingkah hal ini untuk kulakukan? Dan aku tahu jawabannya sekarang. Mencari pacar? Hah, buang-buang waktu saja! Aku tidak perlu melakukan hal itu. Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk kulakukan di masa mudaku. Apalagi kedatangan ujian nasional hanya tinggal hitungan minggu. Memang seharusnya tidak kulakukan hal ini sejak dulu. Tidak perlu dicari pun dia akan datang sendiri pada waktu yang tepat. Mission failed! Aku pun melupakan hal itu dengan mudah seiring kesibukan persiapan ujian nasional.
Masih teringat jelas sampai saat ini. Betapa gegabahnya keputusan yang kuambil dulu. Tindakan bodoh pun kulakukan tanpa pikir panjang. Tapi aku bersyukur karena akhirnya aku pun mengerti. Pada akhirnya, satu pesan berharga dapat kubaca dari kebodohanku saat itu. Ya, seorang gadis yang tengah beranjak dewasa akhirnya mulai memahami pelajaran kedewasaan itu sedikit demi sedikit.
***
Aku masih di sini, berdiri di lantai ini. Lantai yang berkedudukan sedikit lebih tinggi daripada tempat kerumunan orang-orang yang tengah asyik bercengkerama itu berpijak. Sesekali mereka menatap ke arah tempatku berada, sambil melemparkan senyuman bahagia mereka dilanjutkan dengan obrolan mereka lagi. Acara ini memang sebuah momentum, tidak hanya bagiku, tapi juga bagi kawan-kawan lamaku yang terlihat melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu.
Ketika duduk sejenak untuk beristirahat, pandanganku menyapu seluruh ruangan yang telah disulap bak istana ini. Sejenak memoriku terbawa pada masa lima tahun lalu. Masa yang menjadi awal dari momen indah hari ini.
Kupijakkan kaki di kampus baruku. Saat itu, kebanggaan tengah meliputiku. Bayangan kehidupan baru sebagai seorang wanita dewasa menerawang di ujung pikiranku. Pikiran seorang gadis yang baru saja genap berusia tujuh belas tahun. Aku akan berpetualang, hidup mandiri, dan menemukan kehidupanku yang sesungguhnya. Itulah yang terlintas di benakku saat menatap kemegahan jajaran gedung universitas yang cukup bergengsi ini.
Hari-hariku kemudian dipenuhi dengan serangkaian kegiatan khas mahasiswa. Kuliah, berorganisasi, dan beragam aktivitas lainnya. Cukup menguras waktu. Terkadang malah sempat membuatku jenuh. Seiring berjalannya waktu, aku terhanyut dengan kesibukanku. Aku mulai lupa dengan kehidupan pribadiku. Sampai suatu ketika hal yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadi.
Di suatu sore yang lengang, aku melangkahkan kaki menyusuri jalanan kampus. Rasa lelah menggelayuti tubuhku setelah bergelut dengan pekerjaan panitia di acara seminar yang diselenggarakan oleh organisasi kampusku. Aku bermaksud pulang ke kos, segera merebahkan tubuh dan meregangkan otot-otot yang sudah semakin kaku rasanya. Namun, langkahku terhenti ketika mendapati sosok yang sepertinya kukenal, tengah melintas di gerbang kampus. Kuamati lebih dekat, dan akhirnya otakku yang sejak tadi menelusuri bilik memorinya memberikan sinyal berisi jati diri sosok yang baru saja kulihat itu.
Itu dia. Aku mengenalnya saat di sekolah dasar dulu. Dia adalah anak laki-laki yang dulu kerap terlihat sibuk dengan dunianya sendiri, cenderung pendiam. Interaksinya dengan teman-teman sekelas hanya sebatas keperluan saja. Tidak ada yang berlebihan. Itulah yang membuat aku dan teman-teman sekelasku tidak begitu mengenalnya. Ya, itu memang dia, tidak salah lagi.
Bertemu teman lama secara kebetulan, tentu kuputuskan untuk menyapanya. “Halo, kamu masih ingat aku?” sapaku sambil mengulurkan tangan ketika telah berada beberapa sentimeter di dekatnya. Ia tidak menyambut tangan kananku yang telah terulur. Dia hanya mengamatiku sejenak, dan kemudian ekspresinya seperti teringat sesuatu. “Oh, kita dulu satu SD kan?” tanyanya memastikan. “Iya bener,” jawabku membenarkan seraya menarik kembali tanganku yang terulur tadi.
***
Entah mengapa setelah pertemuan sore itu, aku merasa selalu bisa menemukannya kapan saja di kampus. Kami jadi sering bertemu. Awalnya hanya karena kebetulan yang terjadi lagi dan lagi. Kemudian kami pun berteman, teman sekampus dengan berbagai urusan kampus sebagai topik utama. Entah itu untuk meminjam buku diktat, maupun hanya sekedar bertukar informasi akademik.
Pertemuanku dengannya pun lebih sering terjadi. Aku pun semakin dapat memahami dirinya dibandingkan saat di SD dulu. Lalu aku menyadari sesuatu. Sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Dia yang ketika kecil dulu tampak pendiam dan tertutup, kini terlihat lebih matang dan berkembang dengan berbagai interaksi sosial yang intens dilakukannya bersama berbagai lapisan sosial di sekitarnya. Perkembangan yang begitu signifikan. Tidak tampak lagi wajah ragu dan takut yang dulu menjadi tampang khasnya di sekolah.
Ada satu perbedaan lagi yang kemudian membuatku menaruh perhatian lebih padanya. Sikapnya terhadap perempuan. Tampak sekali respect yang ia tunjukkan pada setiap perempuan yang berinteraksi dengannya. Ia selalu memperlakukan rekan-rekan mahasiswinya dengan santun. Terlihat memberikan perlakuan yang mulia pada setiap perempuan yang ditemuinya. Entah hanya perasaanku saja atau memang sikap itulah yang sengaja ditunjukkannya. Seolah ingin selalu menjaga sikapnya di hadapan setiap perempuan yang begitu mulia derajatnya. Hal itu juga kurasakan dalam sikapnya padaku.
Dalam diam, kusadari mulai timbul rasa itu. Berawal dari kekaguman, kemudian berkembang menjadi reaksi yang tak kumengerti setiap kali bertemu sosoknya. Kagum sekaligus tersanjung. Itulah yang kurasakan. Menyadari rasa yang berbeda ini, mulai tumbuh keinginan lebih. Aku seperti ingin terus berada di sisinya. Saat berada di dekatnya, dapat kurasakan kehangatan. Selalu merasa dilindungi. Dalam keheningan pemikiran, hatiku pun bertanya, apa ini cinta? Entahlah, aku hanya ingin merasa layak berada di sisinya. Pantas disandingkan dengannya.
Aku pun bercermin. Menatap dalam pada diriku sendiri. Memandangi sosok gadis sederhana di dalam cermin itu. Biasa saja. Tapi aku ingin jadi seorang yang lebih layak disandingkan dengannya. Dia yang begitu santun. Dia yang begitu rendah hati. Rasanya gadis sepertiku tidak pantas mendapat perhatiannya.
Entah ada dorongan apa, hingga membuatku memutuskan saat itu juga. Aku ingin berubah. Mudah saja hatiku mengucapkannya dengan mantap. Berubah? Berubah seperti apa? Apa aku bisa? Keinginan tadi justru disambut dengan tanya penuh ragu dari diriku sendiri. Terdiam sejenak. Hatiku pun berujar mantap sekali lagi. Aku ingin jadi seorang yang layak mendapatkan respect-nya, orang yang pantas dimuliakan olehnya. Lucu sekali mendengar hatiku memutuskan hal itu. Tapi entah mengapa aku menyetujuinya. Aku mendengarkan kata hatiku.
***
Sejak kubulatkan tekadku untuk menjadi seorang yang ideal baginya, kuubah setiap jengkal penampilanku. Aku pun muncul di kampus dengan penampilan baru. Benar-benar berbeda. Lebih feminim. Aku merasa menjadi wanita yang sebenarnya. Kuberjalan dengan sedikit canggung. Mencoba percaya diri walaupun agak sedikit malu. Saat melewati pintu kaca bangunan kampus, aku dapat melihat pantulan sosok baruku di sana. Ah, siapa itu? Seperti bukan aku. Kugelengkan kepala dan kucoba menepis pemikiran tadi. Kumantapkan langkahku menuju ruang kuliah.
Siang itu, aku bertemu dengannya lagi tanpa disengaja. Menyadari akan berpapasan dengannya dalam beberapa langkah ke depan, aku gugup seketika. Apakah penampilanku tampak baik? Pikirku cemas sambil sedikit merapikan pakaian yang kukenakan. Begitu berpapasan dengannya, kusapa dia seperti biasa, berharap dia akan menyadari keberadaanku dan melihat perubahan penampilanku. Sesuai perhitungan ia memang membalas salamku, namun diluar dugaan hanya jawaban singkat yang terlontar dari mulutnya, dan ia malah bergegas berlari kecil meninggalkanku begitu saja. Sepertinya ia tampak terburu menuju ruang kuliah. Langkahku terhenti. Ekor mataku masih mengikuti arahnya pergi. Wajahku berubah masam. Kecewa.
Kujatuhkan tubuhku di kursi taman kampus sore itu. Aku masih kesal. Tak habis pikir. Kenapa upaya yang telah kulakukan ini tidak mendapat sedikit pun respon yang berbeda darinya? Dia masih tampak biasa saja! Tak ada perhatian lebih padaku! Apa bukan cara ini yang seharusnya kulakukan untuk mensejajarkan diriku dengannya? Aku kembali mengawasi sekujur tubuhku. Ada sedikit sesal setelah melakukan semua ini. Kenapa aku harus repot-repot berpenampilan seperti ini?
Kuulas kembali motivasiku. Aku teringat pada sensasi rasa yang kunikmati ketika berada di dekatnya. Perasaan yang semakin kubayangkan, semakin ingin kurasakan setiap saat. Rasa nyaman, merasa dihargai. Dan kesimpulanku, keinginanku masih belum berubah. Kecamuk keinginan versus kenyataan ini telah membuat kesalku terakumulasi. Aku ingin tahu bagaimana caranya menjadi yang lebih baik untuknya. Seberapa keras pun aku berpikir, tak banyak pencerahan yang kudapatkan. Nihil. Stagnant.
Tiba-tiba, aku merasa butuh teman bicara. Aku ingin membagi beban ini dengan orang lain. Satu orang yang terlintas di benakku adalah seorang kakak kelasku dulu di SMA. Dulu kami cukup dekat. Aku mengenalnya sebagai sosok yang sempurna. Cantik, lembut, santun, dan rendah hati. Pribadinya memang amat berbeda denganku. Namun, ia benar-benar tipe ideal bagiku. Dialah idolaku. Teman sekaligus panutanku. Sudah sekian lama kami tidak bertemu. Sejak dia melanjutkan studinya di universitas ini. Ya, kami masuk ke universitas yang sama, hanya saja berbeda program studi dan aku terpaut dua tahun di bawahnya. Sejak pertemuan terakhir kami dulu, baru kali ini aku menghubunginya lagi.
***
Mentari siang ini memancarkan sinarnya dengan setia ke hamparan muka bumi. Pepohonan tampak bergembira mendapat bahan bakar bagi kehidupan mereka. Namun, lain halnya denganku. Aku lebih memilih bersembunyi di bawah payung lebar yang menghiasi meja taman ini. Tak hanya untuk melindungi kepalaku dari teriknya matahari, tapi juga untuk menyembunyikan wajah muramku agar mentari yang ceria itu tidak melihatnya. Aku takut suasana hatiku yang sedang kelabu ini mengubah mood-nya dan seketika membuatnya bersembunyi di balik kawanan awan hitam.
Dari kejauhan kulihat sosok yang sudah kutunggu sejak tadi. Dialah kakak kelasku. Kawan lamaku. Dia tak berubah sama sekali. Masih terlihat anggun seperti dulu. Melepas rindu, kami pun berbagi peluk. Setelah menanyakan hal basa-basi sebagai pembuka, aku pun segera menuju pada inti pembicaraan. Kukisahkan semua yang ingin kubagi dengannya secara detail. Sosok cantik di hadapanku itu tampak mendengarkan dengan khidmat. Sesekali tampak seulas senyum tertarik dari bibirnya yang mungil sebagai bentuk apresiasi atas ceritaku.
“Aku mesti gimana dong, Mbak?” tanyaku sedikit merajuk, mengakhiri cerita panjang lebarku padanya.
“Mbak gak bisa banyak bertindak, Dek. Kamu lah yang mesti banyak belajar dari ini semua.” jawabnya dengan wajah yang teduh.
Aku menggeleng tidak mengerti, “Aku gak tau gimana caranya, Mbak? Aku seperti dah nemuin cinta pertama atau apalah namanya. Tapi aku malah jadi bingung gimana cara membendung perasaan kayak gini. Perasaan ini kuat banget, Mbak. Aku pengen banget ada di dekatnya dia. Jadi orang yang layak dapet perhatiannya. Jadi perempuan yang baik buat dia.”
Setelah menghela napas ringan, perempuan beraura keibuan itu berujar bijak, “Dek, mbak paham apa yang kamu rasakan. Wajar kok seorang manusia itu menyukai lawan jenisnya. Tapi tidak seharusnya kita menuruti nafsu itu, Dek. Akan lebih bijak jika kita menjaga perasaan itu sampai waktunya sudah tepat. Ketika segalanya telah diizinkan.”
“Maksud Mbak?” tanyaku polos.
“Mmm… tidak selamanya penilaian terhadap orang lain itu dilihat dari kulit luarnya aja, Dek. Jadi, walaupun kamu mengubah diri kamu jadi secantik apapun, tidak akan berpengaruh banyak, kalau kamu hanya cantik di luarnya aja. Kamu bilang tadi kamu ingin merasa layak dimuliakan sama dia?” tanyanya lembut yang segera kubalas dengan anggukan kecil.
“Nah, yang harus kamu lakukan adalah memuliakan diri kamu terlebih dahulu. Kamu sendiri kan yang menginginkan dia untuk selalu memuliakan kamu? Hargai diri kamu sebesar value kamu yang sesungguhnya sebagai perempuan. Perempuan itu begitu berharga, Dek. Bukan sembarang orang yang berhak menyentuh jiwa dan raga seorang perempuan. Kita ini istimewa. Jadi, istimewakan diri kita.” Ia mengakhiri kata-katanya dengan raut wajah penuh simpati.
 Sejenak aku berpikir dan memproses wejangan yang baru saja kuterima. “Oke, sekarang aku ngerti, Mbak. Walaupun aku belum tau gimana caranya, tapi aku akan berusaha untuk lebih menghargai diriku sendiri. Semoga dengan begitu, dia bisa lebih menyadari maksud hatiku ya, Mbak.”
Mendengar kalimat yang baru saja kuucapkan, orang yang telah kuanggap sebagai kakakku sendiri ini menambahkan, “Satu hal lagi yang perlu kamu pahami, Dek. Cinta itu memang indah. Cinta itu memang membahagiakan ketika kita merasakannya. Tapi cinta tidak seharusnya ditujukan kepada orang yang belum jadi hak milik kita. Bukankah menikmati sesuatu yang bukan merupakan hak kita itu sama dengan mencuri? Termasuk tindak kriminal.”
“Berarti aku gak boleh curi-curi perhatiannya karena dia belum jadi hakku, gitu Mbak? Terus gimana kalo aku gak sengaja?” tanyaku sambil memiringkan kepala.
“Kamu harus belajar, Dek. Belajar mengendalikan diri. Menjaga nafsu. Jaga rasa cinta itu baik-baik dalam hati kamu. Pikirkan bahwa di luar sana, ada orang yang telah menunggu kamu. Menantikan kamu untuk siap menjadi pendamping hidupnya. Dan orang itu akan melakukan hal yang sama. Menjaga hatinya. Mengendalikan perasaannya dengan bijak. Sampai saatnya nanti menemukan kamu dengan cara yang baik. Kamu harus yakin, Dek. Jika ada orang lain yang berani melakukan hal itu, tentu kamu juga pasti mampu. Dan satu hal lagi. Jika kamu niatkan hal ini hanya demi seseorang di dunia saja, maka kamu hanya akan mendapatkan nikmat sesaat, Dek.  Kamu harus meniatkan ini sebijak mungkin, tidak hanya untuk dunia semata. Kamu paham kan maksud mbak?” diakhirinya nasehat pamungkas itu dengan senyuman, seraya melontarkan pertanyaan yang seolah sudah seharusnya kuketahui jawabannya.
Tak ada dialog selama beberapa detik sejak kalimat terakhir itu. Pikiranku yang tengah memproses informasi tersebut sejenak menahan kata-kata yang hendak keluar dari mulutku. “Mbak, mau kan bantu aku belajar untuk itu?” tanyaku penuh harap dengan alis tertekuk.
Seketika itu tubuhku direngkuh, dan kurasakan pelukan hangat yang menenangkan. Dalam pelukan itu, kudengar bisikan, “Kita belajar bareng, ya Dek,” Wajahnya masih tampak menyunggingkan senyuman. Senyuman yang begitu menguatkanku, meyakinkan hatiku bahwa aku bisa melakukan itu semua.
Semenjak pertemuan itu, aku pun lebih sering bertemu dengan kakak kelasku. Kami berbagi banyak hal. Dan aku pun meneladani berbagai hal darinya. Aku belajar memuliakan diriku sendiri, menjaga hatiku, di bawah bimbingannya. Dalam binaannya.
Lambat laun aku mulai melupakan hasrat itu. Perasaan itu kini tidak lagi menggebu-gebu seperti dulu. Aku telah berusaha menjaganya. Dan aku akan selalu menjaganya sampai saatnya tiba. Dalam sudut terdalam, masih kurasakan denyutnya. Rasa itu masih ada, cinta itu masih kusimpan dalam hati. Tak akan kukuak sebelum seorang yang menjadi hakku datang. Dalam kerahasiaan ini, kuselipkan sebuah doa. Doa akan terwujudnya masa depan cintaku yang indah, bahkan seribu kali lebih indah, karena aku telah meniatkan ikhtiar ini demi cinta yang abadi.
***
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas, sudah lima jam lamanya resepsi ini berjalan. Tapi, rasa lelah setelah berdiri menyambut ucapan selamat dari para tamu, tak kunjung kurasakan. Semuanya telah menguap. Tertepis oleh kebahagiaan, buah dari indahnya cinta yang selama ini kujaga.
Dia yang sekian tahun dulu sempat sangat kudambakan, kuinginkan, kini bagaikan mimpi, tengah duduk menggenggam erat jemari kecilku. Tak kusangka, satu bulan yang lalu, momen bersejarah itu datang. Kakak kelasku lah yang berjasa di balik semua ini. Setelah pelajaran akhlak yang diberikannya padaku, aku mulai merasa menjadi perempuan seutuhnya. Tidak hanya ilmu kecantikan fisik, tapi juga kecantikan hati yang selalu kulatih hari demi hari.
Entah apa yang ada di benak kakak kelasku saat itu, aku mendengarnya ingin memberi kejutan padaku. Kupikir mungkin hadiah kecil untuk merayakan kelulusanku. Namun, ternyata dia membawakanku sebuah kabar gembira. Sebuah kejutan pinangan dari seorang yang benar-benar mengejutkanku. Dia. Dia yang selama ini begitu kukagumi. Dia yang namanya tersimpan rapat dalam relung kalbuku yang terdalam. Hari itu didampingi oleh segenap keluarga besarnya menyampaikan lamaran itu.
Aku yang seketika tak dapat berkata-kata, hanya menunduk tersipu kala itu. Antara bahagia dan rasa tak percaya. Keduanya berpadu satu. Melukiskan ekspresi yang tak dapat terdefinisikan di wajahku. Dan sejarah itu berujung pada hari ini.
Berjuta syukur aku panjatkan. Hari ini kuakui bahwa inilah akhir dari cinta pertamaku. Cinta yang pertama kali menghiasi relung jiwaku. Dan sejak hari ini, dia akan menjadi cinta terakhir dalam hidupku. Cinta yang akan menguatkan kami bersama, dalam perjuangan menggapai cinta-Nya yang abadi.
***

No comments:

Post a Comment