Ruangan ini begitu ramai. Senangnya
melihat mereka semua hadir. Tak ada yang tertinggal. Di sudut sana aku melihat
teman-teman kuliahku. Di samping meja jamuan terdapat teman-teman SD-ku sedang
bercengkerama. Berada di sudut ini membuatku dapat melihat seluruh ruangan
dengan mudah.
Tiba-tiba lamunanku terbuyar, sosok pria yang sejak tadi
duduk di sampingku menggenggam tanganku dan beranjak berdiri. Mengajakku kembali
pada rutinitas yang sejak beberapa jam lalu kami lakukan bersama. Kali ini
orang-orang yang tidak begitu kukenal. Sepertinya dia yang mengenal mereka.
Ya, dia. Dia yang sejak tadi setia membersamaiku. Dia yang
hari ini telah mengucapkan janji sucinya. Dia yang dengan yakin memilihku.
Betapa besarnya rasa syukurku hari ini. Sang
Maha Pemilik Hati, terima kasih telah mengirimnya khusus untukku, suamiku.
Ada sensasi yang berbeda ketika kata itu melintas di benakku.
Malu. Mungkin karena ini pertama
kalinya. Semoga orang-orang tidak menyadari rona pipiku yang memerah bukan
karena riasan ini. Tapi tak dapat kupungkiri, hari ini aku melambung tinggi.
Telah kuserahkan hatiku pada seorang pria yang tak akan pernah kusesali telah
menerimanya. Mengizinkan pria ini mengenalku lebih dalam lagi, memilikiku
seutuhnya, dan membinaku sebagai seorang istri. Telah terbayang hari-hari
indahku dalam atap rumah tangga kami nanti.
***
Memoriku terlempar pada masa belasan tahun yang lalu. Seorang
gadis kecil berusia tujuh tahun, digandeng tangan ibunya, menghadiri acara
seperti ini. Melihat sepasang mempelai duduk di singgasananya berbalut gaun
kebaya nan serasi, dikelilingi dekorasi cantik bertema, gadis kecil itu pun
takjub. Pikiran kecilnya melayang jauh. Mengagumi keindahan hari itu. Kemudian
berseru iri dalam hatinya. Suatu saat aku
akan berada di sana. Aku yang akan berada di sana. Berdandan cantik, dan
dikagumi banyak orang. Juga menggandeng seorang pria di sampingku. Ah, kapan ya
saat itu tiba?
Bibirku tersenyum geli sendiri ketika mengingatnya. Saat tak
dapat kupungkiri bahwa gadis kecil itu tak lain adalah diriku sendiri. Tak
habis pikir, sampai aku memiliki keinginan semacam itu bahkan sejak usia yang
sangat dini. Sejak aku belum mengenal adanya perasaan yang akan menautkan
sepasang laki-laki dan perempuan di pelaminan itu. Sejak aku belum mengerti apa
yang dinamakan cinta. Lucu sekali mengenangnya.
***
Memoriku beranjak kembali ke masa itu. Saat duniaku berwarna
putih-biru. Saat itu mulai banyak kawan sekolahku yang menjajal tren baru dalam
hidup mereka. Orang-orang saat ini menyebutnya dengan cinta monyet. Hubungan
spesial ala remaja, yang diwarnai dengan bumbu kekanakan dan sarat kesan ketidak-matangan.
Setidaknya itu yang melintas dalam pikiranku. Aku yang kala itu berusia tak
terpaut jauh dari mereka, hanya sering menjadi penonton drama permainan cinta
tersebut. Entah mengapa, aku tak pernah ingin mencicipnya juga barang
sekalipun.
Pernah suatu ketika aku menemukan seorang yang membuatku
mengaguminya secara tiba-tiba. Aku tidak ingat pasti apa penyebabnya. Yang
kutahu aku hanya sering menatap kagum dan terpesona ketika orang itu berada di
dekatku. Ya, dia adalah seorang anak laki-laki. Saat itu aku sering
membanggakannya di depan teman-teman dekatku. Seolah dia adalah bintang yang
bersinar paling terang di mataku, tanpa ada setitikpun noda yang
mengkontaminasi kegemilangannya.
Beberapa waktu lamanya aku mempertahankan kekaguman itu.
Padahal aku pun sama sekali belum pernah mengenal dia, apalagi mengetahui
bagaimana kepribadiannya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikan
perasaan seperti ini. Rasa kagum seperti
ini, apakah ini cinta? Pemikiran itu sempat singgah di benakku. Namun,
masih juga belum dapat kutemukan jawabannya.
Suatu hari sebuah peristiwa menyadarkanku. Membuat aku mulai
mengerti jawaban atas pertanyaan yang mengambang di pikiranku selama ini. Siang
itu sepulang sekolah aku melihat dia yang kukagumi itu duduk sendiri di halte
bus. Mungkin sedang menunggu angkutan
umum, pikirku saat itu. Aku yang memang selalu terpesona melihatnya, tak
dapat melepaskan pandanganku barang sedetik pun dari sosoknya yang duduk
sendiri dan terlihat sibuk dengan ponselnya.
Tiba-tiba tampak seorang anak perempuan berseragam putih
abu-abu yang dengan sengaja merangkul bahunya dari arah belakang. Dia pun
membalas rangkulan gadis itu dengan senyuman maut ditambah kata-kata yang
sengaja dibuat sok manis, berisi puji-pujian kepada anak perempuan yang
terlihat lebih tua darinya itu. Seketika itu pula, aku terdiam. Aku tak habis
pikir dengan apa yang baru saja kulihat. Dia
yang selama ini begitu kubanggakan, melakukan hal semacam itu di depan umum!
Bandingkan dia dengan gadis itu, bukankah
usianya terpaut jauh lebih muda? Yang benar saja! Pikiranku melontarkan protes
spontan saat itu juga. Dia yang selama ini ranking
satu di mataku, turun drastis ke peringkat paling bawah. Kupikir dia
berbeda, tapi ternyata sama saja dengan anak-anak lain yang senang bermain-main
dengan kehidupan mereka. Ah, aku menyesal
mengaguminya.
Black list. Anak laki-laki itu langsung masuk ke dalam daftar hitamku. Aku
yang menyaksikan kejadian itu, kemudian mulai memahami definisi dari perasaan
yang selama ini kurasakan. Aku tidak merasa sakit hati. Aku tidak merasa
dikhianati. Maka aku pun mengerti, itu bukan cinta. Itu hanya kekaguman biasa.
Sekedar simpati. Sigh. Aku bersyukur
ini bukan sebuah perasaan yang serius. Untuk
apa aku menaruh perasaan lebih pada orang seperti dia? Kejadian hari itu
benar-benar membuka mataku. Menyadarkanku untuk tidak memberi penilaian
berlebih pada orang lain yang belum sepenuhnya kukenal.
Masa itu adalah awal dari terbentuknya pola pikirku yang
lebih matang. Ya, aku membenarkan hal itu sampai sekarang. Pola pikir itu
selalu kuingat dan kuterapkan dalam pergaulan. Benar-benar masa pembelajaran
yang bermakna.
***
Memoriku terhanyut pada masa yang paling berkesan dalam
hidupku. Kali ini penuh dengan warna putih abu-abu. Aura remaja yang penuh
gejolak tengah menghiasi jiwaku. Bagaikan terbawa oleh suasana yang tengah
mewarnai sebagian besar remaja sekolah menengah saat itu, aku pun sedikit
terpengaruh. Dunia remaja yang begitu menggelitik, itulah yang membuatku
semakin penasaran. Melihat sebagian besar teman-temanku membicarakan kisah
romansa mereka dengan pasangan masing-masing, aku pun tergerak untuk merasakan
sensasi yang sama. Kuputuskan untuk melakukan sesuatu. Ya, aku harus bisa menemukan pasanganku sendiri. Entah, mungkin ini
hanya karena terbawa suasana.
Aku pun mulai melakukan hal-hal yang sebelumnya belum pernah
kulakukan. Aku lebih banyak meneliti untuk mencari tahu tipe pria seperti apa
yang sebenarnya kucari selama ini. Kadang aku berpikir apakah hal itu penting
untuk kulakukan. Mungkin, aku hanya ingin
punya pacar. Sepertinya pacar adalah seorang yang biasa dimiliki oleh
remaja saat itu. Ya, saat itu aku memang belum mengerti.
Menghindari kesalahanku dulu yang hanya menilai orang lain
dari jauh, kuputuskan untuk melakukan pendekatan dengan caraku sendiri. Beberapa
anak laki-laki kuperhatikan bahkan kudekati satu per satu. Mulai dari
berkenalan, mengajak berteman, sampai akhirnya aku pun memahami kepribadian
mereka. Namun, dari sekian banyak target yang berhasil kudekati, tak ada satu
pun di antara mereka yang begitu berkesan bagiku. Mereka semua tampak sama
saja. Setelah mengenal lebih jauh, akhirnya aku menyadari bahwa tak ada yang
begitu spesial dari kepribadian mereka. Selalu ada saja bagian dari diri mereka
yang justru membuatku kecewa. Terutama sifat kekanakan yang menjangkiti
sebagian besar dari mereka.
Setelah beberapa lamanya mencari dan mencari tanpa hasil yang
memuaskan, lelah juga akhirnya. Kuputuskan untuk berpikir ulang. Keraguanku
akan tindakan ini terbukti sekarang. Dulu aku sempat berpikir, pentingkah hal ini untuk kulakukan? Dan
aku tahu jawabannya sekarang. Mencari pacar?
Hah, buang-buang waktu saja! Aku tidak perlu melakukan hal itu. Masih
banyak hal lain yang lebih penting untuk kulakukan di masa mudaku. Apalagi
kedatangan ujian nasional hanya tinggal hitungan minggu. Memang seharusnya
tidak kulakukan hal ini sejak dulu. Tidak perlu dicari pun dia akan datang
sendiri pada waktu yang tepat. Mission
failed! Aku pun melupakan hal itu dengan mudah seiring kesibukan persiapan
ujian nasional.
Masih teringat jelas sampai saat ini. Betapa gegabahnya
keputusan yang kuambil dulu. Tindakan bodoh pun kulakukan tanpa pikir panjang.
Tapi aku bersyukur karena akhirnya aku pun mengerti. Pada akhirnya, satu pesan
berharga dapat kubaca dari kebodohanku saat itu. Ya, seorang gadis yang tengah
beranjak dewasa akhirnya mulai memahami pelajaran kedewasaan itu sedikit demi
sedikit.
***
Aku masih di sini, berdiri di lantai ini. Lantai yang
berkedudukan sedikit lebih tinggi daripada tempat kerumunan orang-orang yang
tengah asyik bercengkerama itu berpijak. Sesekali mereka menatap ke arah
tempatku berada, sambil melemparkan senyuman bahagia mereka dilanjutkan dengan
obrolan mereka lagi. Acara ini memang sebuah momentum, tidak hanya bagiku, tapi
juga bagi kawan-kawan lamaku yang terlihat melepas rindu setelah sekian lama
tak bertemu.
Ketika duduk sejenak untuk beristirahat, pandanganku menyapu
seluruh ruangan yang telah disulap bak istana ini. Sejenak memoriku terbawa
pada masa lima tahun lalu. Masa yang menjadi awal dari momen indah hari ini.
Kupijakkan kaki di kampus baruku. Saat itu, kebanggaan tengah
meliputiku. Bayangan kehidupan baru sebagai seorang wanita dewasa menerawang di
ujung pikiranku. Pikiran seorang gadis yang baru saja genap berusia tujuh belas
tahun. Aku akan berpetualang, hidup
mandiri, dan menemukan kehidupanku yang sesungguhnya. Itulah yang terlintas
di benakku saat menatap kemegahan jajaran gedung universitas yang cukup
bergengsi ini.
Hari-hariku kemudian dipenuhi dengan serangkaian kegiatan khas
mahasiswa. Kuliah, berorganisasi, dan beragam aktivitas lainnya. Cukup menguras
waktu. Terkadang malah sempat membuatku jenuh. Seiring berjalannya waktu, aku
terhanyut dengan kesibukanku. Aku mulai lupa dengan kehidupan pribadiku. Sampai
suatu ketika hal yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadi.
Di suatu sore yang lengang, aku melangkahkan kaki menyusuri
jalanan kampus. Rasa lelah menggelayuti tubuhku setelah bergelut dengan
pekerjaan panitia di acara seminar yang diselenggarakan oleh organisasi kampusku.
Aku bermaksud pulang ke kos, segera merebahkan tubuh dan meregangkan otot-otot
yang sudah semakin kaku rasanya. Namun, langkahku terhenti ketika mendapati
sosok yang sepertinya kukenal, tengah melintas di gerbang kampus. Kuamati lebih
dekat, dan akhirnya otakku yang sejak tadi menelusuri bilik memorinya
memberikan sinyal berisi jati diri sosok yang baru saja kulihat itu.
Itu dia. Aku mengenalnya saat di sekolah dasar dulu. Dia
adalah anak laki-laki yang dulu kerap terlihat sibuk dengan dunianya sendiri, cenderung
pendiam. Interaksinya dengan teman-teman sekelas hanya sebatas keperluan saja.
Tidak ada yang berlebihan. Itulah yang membuat aku dan teman-teman sekelasku
tidak begitu mengenalnya. Ya, itu memang
dia, tidak salah lagi.
Bertemu teman lama secara kebetulan, tentu kuputuskan untuk
menyapanya. “Halo, kamu masih ingat aku?” sapaku sambil mengulurkan tangan
ketika telah berada beberapa sentimeter di dekatnya. Ia tidak menyambut tangan
kananku yang telah terulur. Dia hanya mengamatiku sejenak, dan kemudian ekspresinya
seperti teringat sesuatu. “Oh, kita dulu satu SD kan?” tanyanya memastikan.
“Iya bener,” jawabku membenarkan seraya menarik kembali tanganku yang terulur
tadi.
***
Entah mengapa setelah pertemuan sore itu, aku merasa selalu
bisa menemukannya kapan saja di kampus. Kami jadi sering bertemu. Awalnya hanya
karena kebetulan yang terjadi lagi dan lagi. Kemudian kami pun berteman, teman
sekampus dengan berbagai urusan kampus sebagai topik utama. Entah itu untuk
meminjam buku diktat, maupun hanya sekedar bertukar informasi akademik.
Pertemuanku dengannya pun lebih sering terjadi. Aku pun semakin
dapat memahami dirinya dibandingkan saat di SD dulu. Lalu aku menyadari
sesuatu. Sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Dia yang ketika kecil dulu tampak
pendiam dan tertutup, kini terlihat lebih matang dan berkembang dengan berbagai
interaksi sosial yang intens dilakukannya bersama berbagai lapisan sosial di
sekitarnya. Perkembangan yang begitu signifikan. Tidak tampak lagi wajah ragu
dan takut yang dulu menjadi tampang khasnya di sekolah.
Ada satu perbedaan lagi yang kemudian membuatku menaruh
perhatian lebih padanya. Sikapnya terhadap perempuan. Tampak sekali respect yang ia tunjukkan pada setiap
perempuan yang berinteraksi dengannya. Ia selalu memperlakukan rekan-rekan
mahasiswinya dengan santun. Terlihat memberikan perlakuan yang mulia pada
setiap perempuan yang ditemuinya. Entah hanya perasaanku saja atau memang sikap
itulah yang sengaja ditunjukkannya. Seolah ingin selalu menjaga sikapnya di
hadapan setiap perempuan yang begitu mulia derajatnya. Hal itu juga kurasakan
dalam sikapnya padaku.
Dalam diam, kusadari mulai timbul rasa itu. Berawal dari
kekaguman, kemudian berkembang menjadi reaksi yang tak kumengerti setiap kali
bertemu sosoknya. Kagum sekaligus tersanjung. Itulah yang kurasakan. Menyadari
rasa yang berbeda ini, mulai tumbuh keinginan lebih. Aku seperti ingin terus
berada di sisinya. Saat berada di dekatnya, dapat kurasakan kehangatan. Selalu
merasa dilindungi. Dalam keheningan pemikiran, hatiku pun bertanya, apa ini cinta? Entahlah, aku hanya ingin
merasa layak berada di sisinya. Pantas disandingkan dengannya.
Aku pun bercermin. Menatap dalam pada diriku sendiri.
Memandangi sosok gadis sederhana di dalam cermin itu. Biasa saja. Tapi aku ingin jadi seorang yang lebih layak
disandingkan dengannya. Dia yang begitu santun. Dia yang begitu rendah hati.
Rasanya gadis sepertiku tidak pantas mendapat perhatiannya.
Entah ada dorongan apa, hingga membuatku memutuskan saat itu
juga. Aku ingin berubah. Mudah saja
hatiku mengucapkannya dengan mantap. Berubah?
Berubah seperti apa? Apa aku bisa? Keinginan tadi justru disambut dengan
tanya penuh ragu dari diriku sendiri. Terdiam sejenak. Hatiku pun berujar
mantap sekali lagi. Aku ingin jadi
seorang yang layak mendapatkan respect-nya, orang yang pantas dimuliakan
olehnya. Lucu sekali mendengar hatiku memutuskan hal itu. Tapi entah
mengapa aku menyetujuinya. Aku mendengarkan kata hatiku.
***
Sejak kubulatkan tekadku untuk menjadi seorang yang ideal
baginya, kuubah setiap jengkal penampilanku. Aku pun muncul di kampus dengan
penampilan baru. Benar-benar berbeda. Lebih feminim. Aku merasa menjadi wanita
yang sebenarnya. Kuberjalan dengan sedikit canggung. Mencoba percaya diri
walaupun agak sedikit malu. Saat melewati pintu kaca bangunan kampus, aku dapat
melihat pantulan sosok baruku di sana. Ah,
siapa itu? Seperti bukan aku. Kugelengkan kepala dan kucoba menepis
pemikiran tadi. Kumantapkan langkahku menuju ruang kuliah.
Siang itu, aku bertemu dengannya lagi tanpa disengaja.
Menyadari akan berpapasan dengannya dalam beberapa langkah ke depan, aku gugup
seketika. Apakah penampilanku tampak
baik? Pikirku cemas sambil sedikit merapikan pakaian yang kukenakan. Begitu
berpapasan dengannya, kusapa dia seperti biasa, berharap dia akan menyadari
keberadaanku dan melihat perubahan penampilanku. Sesuai perhitungan ia memang
membalas salamku, namun diluar dugaan hanya jawaban singkat yang terlontar dari
mulutnya, dan ia malah bergegas berlari kecil meninggalkanku begitu saja.
Sepertinya ia tampak terburu menuju ruang kuliah. Langkahku terhenti. Ekor
mataku masih mengikuti arahnya pergi. Wajahku berubah masam. Kecewa.
Kujatuhkan tubuhku di kursi taman kampus sore itu. Aku masih
kesal. Tak habis pikir. Kenapa upaya yang
telah kulakukan ini tidak mendapat sedikit pun respon yang berbeda darinya? Dia
masih tampak biasa saja! Tak ada perhatian lebih padaku! Apa bukan cara ini
yang seharusnya kulakukan untuk mensejajarkan diriku dengannya? Aku kembali
mengawasi sekujur tubuhku. Ada sedikit sesal setelah melakukan semua ini. Kenapa aku harus repot-repot berpenampilan
seperti ini?
Kuulas kembali motivasiku. Aku teringat pada sensasi rasa
yang kunikmati ketika berada di dekatnya. Perasaan yang semakin kubayangkan,
semakin ingin kurasakan setiap saat. Rasa nyaman, merasa dihargai. Dan kesimpulanku,
keinginanku masih belum berubah. Kecamuk keinginan versus kenyataan ini telah membuat kesalku terakumulasi. Aku ingin
tahu bagaimana caranya menjadi yang lebih baik untuknya. Seberapa keras pun aku
berpikir, tak banyak pencerahan yang kudapatkan. Nihil. Stagnant.
Tiba-tiba, aku merasa butuh teman bicara. Aku ingin membagi
beban ini dengan orang lain. Satu orang yang terlintas di benakku adalah
seorang kakak kelasku dulu di SMA. Dulu kami cukup dekat. Aku mengenalnya
sebagai sosok yang sempurna. Cantik, lembut, santun, dan rendah hati.
Pribadinya memang amat berbeda denganku. Namun, ia benar-benar tipe ideal
bagiku. Dialah idolaku. Teman sekaligus panutanku. Sudah sekian lama kami tidak
bertemu. Sejak dia melanjutkan studinya di universitas ini. Ya, kami masuk ke
universitas yang sama, hanya saja berbeda program studi dan aku terpaut dua
tahun di bawahnya. Sejak pertemuan terakhir kami dulu, baru kali ini aku
menghubunginya lagi.
***
Mentari siang ini memancarkan sinarnya dengan setia ke
hamparan muka bumi. Pepohonan tampak bergembira mendapat bahan bakar bagi
kehidupan mereka. Namun, lain halnya denganku. Aku lebih memilih bersembunyi di
bawah payung lebar yang menghiasi meja taman ini. Tak hanya untuk melindungi
kepalaku dari teriknya matahari, tapi juga untuk menyembunyikan wajah muramku
agar mentari yang ceria itu tidak melihatnya. Aku takut suasana hatiku yang
sedang kelabu ini mengubah mood-nya
dan seketika membuatnya bersembunyi di balik kawanan awan hitam.
Dari kejauhan kulihat sosok yang sudah kutunggu sejak tadi.
Dialah kakak kelasku. Kawan lamaku. Dia tak berubah sama sekali. Masih terlihat
anggun seperti dulu. Melepas rindu, kami pun berbagi peluk. Setelah menanyakan
hal basa-basi sebagai pembuka, aku pun segera menuju pada inti pembicaraan.
Kukisahkan semua yang ingin kubagi dengannya secara detail. Sosok cantik di
hadapanku itu tampak mendengarkan dengan khidmat. Sesekali tampak seulas senyum
tertarik dari bibirnya yang mungil sebagai bentuk apresiasi atas ceritaku.
“Aku mesti gimana dong, Mbak?” tanyaku sedikit merajuk,
mengakhiri cerita panjang lebarku padanya.
“Mbak gak bisa banyak bertindak, Dek. Kamu lah yang mesti
banyak belajar dari ini semua.” jawabnya dengan wajah yang teduh.
Aku menggeleng tidak mengerti, “Aku gak tau gimana caranya,
Mbak? Aku seperti dah nemuin cinta pertama atau apalah namanya. Tapi aku malah jadi
bingung gimana cara membendung perasaan kayak gini. Perasaan ini kuat banget,
Mbak. Aku pengen banget ada di dekatnya dia. Jadi orang yang layak dapet
perhatiannya. Jadi perempuan yang baik buat dia.”
Setelah menghela napas ringan, perempuan beraura keibuan itu
berujar bijak, “Dek, mbak paham apa yang kamu rasakan. Wajar kok seorang
manusia itu menyukai lawan jenisnya. Tapi tidak seharusnya kita menuruti nafsu
itu, Dek. Akan lebih bijak jika kita menjaga perasaan itu sampai waktunya sudah
tepat. Ketika segalanya telah diizinkan.”
“Maksud Mbak?” tanyaku polos.
“Mmm… tidak selamanya penilaian terhadap orang lain itu
dilihat dari kulit luarnya aja, Dek. Jadi, walaupun kamu mengubah diri kamu
jadi secantik apapun, tidak akan berpengaruh banyak, kalau kamu hanya cantik di
luarnya aja. Kamu bilang tadi kamu ingin merasa layak dimuliakan sama dia?”
tanyanya lembut yang segera kubalas dengan anggukan kecil.
“Nah, yang harus kamu lakukan adalah memuliakan diri kamu
terlebih dahulu. Kamu sendiri kan yang menginginkan dia untuk selalu memuliakan
kamu? Hargai diri kamu sebesar value
kamu yang sesungguhnya sebagai perempuan. Perempuan itu begitu berharga, Dek.
Bukan sembarang orang yang berhak menyentuh jiwa dan raga seorang perempuan.
Kita ini istimewa. Jadi, istimewakan diri kita.” Ia mengakhiri kata-katanya
dengan raut wajah penuh simpati.
Sejenak aku berpikir
dan memproses wejangan yang baru saja kuterima. “Oke, sekarang aku ngerti,
Mbak. Walaupun aku belum tau gimana caranya, tapi aku akan berusaha untuk lebih
menghargai diriku sendiri. Semoga dengan begitu, dia bisa lebih menyadari
maksud hatiku ya, Mbak.”
Mendengar kalimat yang baru saja kuucapkan, orang yang telah
kuanggap sebagai kakakku sendiri ini menambahkan, “Satu hal lagi yang perlu
kamu pahami, Dek. Cinta itu memang indah. Cinta itu memang membahagiakan ketika
kita merasakannya. Tapi cinta tidak seharusnya ditujukan kepada orang yang
belum jadi hak milik kita. Bukankah menikmati sesuatu yang bukan merupakan hak
kita itu sama dengan mencuri? Termasuk tindak kriminal.”
“Berarti aku gak boleh curi-curi perhatiannya karena dia
belum jadi hakku, gitu Mbak? Terus gimana kalo aku gak sengaja?” tanyaku sambil
memiringkan kepala.
“Kamu harus belajar, Dek. Belajar mengendalikan diri. Menjaga
nafsu. Jaga rasa cinta itu baik-baik dalam hati kamu. Pikirkan bahwa di luar
sana, ada orang yang telah menunggu kamu. Menantikan kamu untuk siap menjadi
pendamping hidupnya. Dan orang itu akan melakukan hal yang sama. Menjaga
hatinya. Mengendalikan perasaannya dengan bijak. Sampai saatnya nanti menemukan
kamu dengan cara yang baik. Kamu harus yakin, Dek. Jika ada orang lain yang
berani melakukan hal itu, tentu kamu juga pasti mampu. Dan satu hal lagi. Jika
kamu niatkan hal ini hanya demi seseorang di dunia saja, maka kamu hanya akan
mendapatkan nikmat sesaat, Dek. Kamu
harus meniatkan ini sebijak mungkin, tidak hanya untuk dunia semata. Kamu paham
kan maksud mbak?” diakhirinya nasehat pamungkas itu dengan senyuman, seraya
melontarkan pertanyaan yang seolah sudah seharusnya kuketahui jawabannya.
Tak ada dialog selama beberapa detik sejak kalimat terakhir
itu. Pikiranku yang tengah memproses informasi tersebut sejenak menahan
kata-kata yang hendak keluar dari mulutku. “Mbak, mau kan bantu aku belajar
untuk itu?” tanyaku penuh harap dengan alis tertekuk.
Seketika itu tubuhku direngkuh, dan kurasakan pelukan hangat
yang menenangkan. Dalam pelukan itu, kudengar bisikan, “Kita belajar bareng, ya
Dek,” Wajahnya masih tampak menyunggingkan senyuman. Senyuman yang begitu
menguatkanku, meyakinkan hatiku bahwa aku bisa melakukan itu semua.
Semenjak pertemuan itu, aku pun lebih sering bertemu dengan
kakak kelasku. Kami berbagi banyak hal. Dan aku pun meneladani berbagai hal
darinya. Aku belajar memuliakan diriku sendiri, menjaga hatiku, di bawah
bimbingannya. Dalam binaannya.
Lambat laun aku mulai melupakan hasrat itu. Perasaan itu kini
tidak lagi menggebu-gebu seperti dulu. Aku telah berusaha menjaganya. Dan aku
akan selalu menjaganya sampai saatnya tiba. Dalam sudut terdalam, masih
kurasakan denyutnya. Rasa itu masih ada, cinta itu masih kusimpan dalam hati. Tak
akan kukuak sebelum seorang yang menjadi hakku datang. Dalam kerahasiaan ini,
kuselipkan sebuah doa. Doa akan terwujudnya masa depan cintaku yang indah,
bahkan seribu kali lebih indah, karena aku telah meniatkan ikhtiar ini demi
cinta yang abadi.
***
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas, sudah lima jam
lamanya resepsi ini berjalan. Tapi, rasa lelah setelah berdiri menyambut ucapan
selamat dari para tamu, tak kunjung kurasakan. Semuanya telah menguap. Tertepis
oleh kebahagiaan, buah dari indahnya cinta yang selama ini kujaga.
Dia yang sekian tahun dulu sempat sangat kudambakan,
kuinginkan, kini bagaikan mimpi, tengah duduk menggenggam erat jemari kecilku. Tak
kusangka, satu bulan yang lalu, momen bersejarah itu datang. Kakak kelasku lah
yang berjasa di balik semua ini. Setelah pelajaran akhlak yang diberikannya
padaku, aku mulai merasa menjadi perempuan seutuhnya. Tidak hanya ilmu
kecantikan fisik, tapi juga kecantikan hati yang selalu kulatih hari demi hari.
Entah apa yang ada di benak kakak kelasku saat itu, aku
mendengarnya ingin memberi kejutan padaku. Kupikir mungkin hadiah kecil untuk
merayakan kelulusanku. Namun, ternyata dia membawakanku sebuah kabar gembira.
Sebuah kejutan pinangan dari seorang yang benar-benar mengejutkanku. Dia. Dia
yang selama ini begitu kukagumi. Dia yang namanya tersimpan rapat dalam relung
kalbuku yang terdalam. Hari itu didampingi oleh segenap keluarga besarnya
menyampaikan lamaran itu.
Aku yang seketika tak dapat berkata-kata, hanya menunduk
tersipu kala itu. Antara bahagia dan rasa tak percaya. Keduanya berpadu satu. Melukiskan
ekspresi yang tak dapat terdefinisikan di wajahku. Dan sejarah itu berujung
pada hari ini.
Berjuta syukur aku panjatkan. Hari ini kuakui bahwa inilah
akhir dari cinta pertamaku. Cinta yang pertama kali menghiasi relung jiwaku.
Dan sejak hari ini, dia akan menjadi cinta terakhir dalam hidupku. Cinta yang
akan menguatkan kami bersama, dalam perjuangan menggapai cinta-Nya yang abadi.
***
No comments:
Post a Comment