Panggil Aku Perempuan #3
(cont...)
Nasi
Lotek di hadapannya tidak kunjung mengundang seleranya siang ini. Tidak seperti
biasanya. Seperti halnya Ari yang hari ini hanya seorang diri mencoba menikmati
santap siangnya di kantin. Namun, pikirannya masih berkecamuk. Tentu saja
karena perbincangannya dengan Gusti yang terasa digantung semalam.
Ditatapnya
berulang kali inbox message di handphone-nya. Mencoba menelisik lebih
dalam lagi apa yang dimaksudkan Gusti. Kenapa
dia gak jelasin, ya? Apa dia gak tau jawabannya? Tapi firasat gue bilang, dia
ngerti apa yang gue maksud. Terus kenapa dia pengen gue ketemu sama orang ini?
Siapa sih ini sebenernya? Gumam Ari dalam hatinya, kembali menatap nomor
kontak seseorang yang belum dikenalnya itu.
Terus gue mesti gimana nih? Tanya
ke orang ini? Gue mesti bilang apa? Masa ujuk-ujuk gue tanya-tanya gak jelas ke
ni orang? Dahinya kini dipenuhi lekukan, semakin bimbang akan
apa yang hendak ia lakukan selanjutnya. Namun, Ari tetap saja penasaran. Sifat
alamiahnya menuntut dirinya untuk mencari tahu apa yang ada di balik semua ini
sampai ke akar-akarnya. Tangannya bergerak mengacak rambutnya, kemudian mulai
memainkan jari-jemarinya pada tuts-tuts handphone.
“Siang… maaf ini dengan Kak Indah
ya? Aku Ari, Kak. Temennya Gusti.” (sending message to 088747632763)
Sekitar
tiga menit kemudian.
1 New message from 088747632763:
“Iya betul… saya Indah.. Ari
temannya Gusti? Gusti Arsi 2010 maksudnya?”
“Iya Kak. Maaf ganggu makan
siangnya nih, sebenernya aku ada pertanyaan yang bikin aku penasaran banget,
dan kata Gusti, kalo aku mau nemuin jawabannya, aku bisa hubungin Kakak.”
(sending message to 088747632763)
1 New message from 088747632763:
“Mau tanya apa, Dek? Insya Allah,
Kakak bantu semampunya, ya…”
“Bingung jelasinnya nih, Kak. Kalo
kita ketemuan aja gimana? Kak Indah ada waktu kapan?” (sending message to
088747632763)
1 New message from 088747632763:
“Boleh, gimana kalo sore ini? Ba’da
ashar?”
“Oke Kak. Aku kosong kok jam
segitu. Ketemu dimana Kak?” (sending message to 088747632763)
1 New message from 088747632763:
“Di musholla fakultas aja gimana?
Sekalian abis ashar kan?”
“Oke deh, Kak. Nanti aku ke sana
ya. Sampai ketemu lagi, Kak Indah. Makasih sebelumnya.” (sending message to
088747632763)
1 New message from 088747632763:
“Sama-sama, Dek. Assalamualykum…”
***
Sore
itu Ari tergesa menginjakkan kaki ke tempat itu. Sesampainya di sana, ia tampak
mencari-cari. Seseorang yang bahkan seperti apa sosok orang tersebut belum
pernah terbayangkan olehnya. Tiba-tiba ia merasa ada sentuhan di bahunya,
dilengkapi dengan sapaan ramah yang membuat tubuhnya berbalik 180°.
“Ari,
ya?” sapa lembut sosok yang kini telah berada di hadapan Ari. Anggukan kecil Ari
kemudian membuatnya melanjutkan, “Assalamualaykum.”
Wajah perempuan tersebut pun menyeruak mendekati kedua sisi pipi Ari seraya
mengucapkan salam. Seketika Ari tampak gugup. Dengan terbata ia membalas salam
itu sambil menikmati penyambutan yang baru dialaminya sekali ini. Sedikit aneh,
namun Ari merasa menyukainya.
Mencoba
mengumpulkan fokusnya kembali, Ari pun mengklarifikasi, “Kak Indah ya?”
Perempuan
berkerudung tebal itu pun menjawab seraya menyunggingkan senyumnya, “Iya, Dek.
Salam kenal ya.”
Cantik. Itulah
yang dikatakan alam bawah sadar Ari atas sosok perempuan di hadapannya. Gamis
coklat berpadu dengan kerudung dengan warna senada yang membalut kepalanya
hingga melewati batas dada, sangat cocok dengan wajahnya yang cenderung tipikal
paras cantik gadis Indonesia. Ramah dan
cantik. Ari mempertegas first
impression di benaknya.
Di
musholla itu, pertemuan Ari dan Indah pun berlanjut dengan perbincangan yang
mengalir. Atau mungkin lebih baik disebut sesi curhat. Kenapa orang ini cair banget? Padahal gue baru pertama kali ketemu dia.
Itulah yang merangsek di benak Ari saat pertama kali bertemu dengan Indah tadi.
Tapi kini ia baru bisa merasakan sensasinya. Nyaman. Ia menyukai seniornya ini.
Walaupun baru pertama kali bertemu, tapi Ari tidak membutuhkan waktu lama untuk
bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya pada Indah.
Ari
pun menceritakan apa yang dirasakannya. Keheranannya pada sikap Gusti. Walaupun
Ari menyadari perbedaan sikap yang sangat jelas ditunjukkan oleh Gusti pada
kaum hawa, alih-alih merasa didiskriminasi, justru ia mendapati bagian kecil
hatinya yang merasa senang. Belum pernah dirasakannya sensasi seperti itu.
“Seneng
kayak gimana maksud kamu, Dek?” telisik Indah setelah mendengarkan penuturan
Ari. Ia mencari tahu lebih dalam tentang apa yang dirasakan Ari. Mengantisipasi
apabila rasa tersebut merupakan serangan virus
merah jambu[1].
“Entah
ya, Kak. Aku gak biasa aja diperlakukan kayak gitu. Aku merasa dianggap spesial,
merasa…. dilindungi,” alis Ari menekuk, tampak ragu.
Indah
pun mencoba memahami Ari. Diingatnya bahwa Ari adalah mahasiswi Jurusan Teknik
Metalurgi, yang hampir seluruh teman seangkatannya adalah laki-laki. Apa lagi
setelah di awal perkenalan tadi Ari berkisah bahwa dia adalah atlet basket di
sekolahnya, yang juga merupakan almamater Gusti dan Indah sendiri. Anak ini boyish[2].
Itulah yang terlintas di benaknya, menganalisa kepribadian Ari. “Hmm… Coba
kakak liat lagi ya, jadi kamu ngerasa diistemewain gitu? Dimuliain?” selidik
Indah lebih jauh.
“Nah,
kayak gitu Kak. Persis.” sambar Ari. “Entah kenapa aku ngerasa… tersanjung, atau
apa lah, aku bingung milih kata apa…”
Seketika
itu pula Indah tersenyum. Ia mulai mengerti. Mahasiswi yang aktif sebagai
Kepala Biro Kaderisasi di organisasi yang ia ikuti di kampus ini, telah melihat
sebuah peluang. Ya Allah, Alhamdulillah,
ini bukan cinta. Semoga ini jadi awal bagi anak ini untuk berproses. Izinkan
aku mendakwahinya, ya Rabb. Dipanjatkannya doa memohon ridho-Nya bagi
kesempatan dakwah kali ini.
Indah
yang segera terfokus kembali, mencoba menjelaskan perlahan pada Ari, “Hmm… gak
papa kok, Dek. Perasaan yang kamu rasain itu wajar kok. Kamu pasti bingung ya,
kenapa kamu malah suka diperlakukan seperti itu? Kamu ngerasa pengen tau lagi
gimana mendapatkan rasa seneng saperti saat kamu diperlakukan seperti itu, iya
gak?”
Ari
tampak terdiam sejenak. Tampak berpikir dengan bola matanya yang terlihat
berputar ke atas. “Aku penasaran banget, Kak. Kayak ketagihan gitu. Aku pengen
ngerasain rasa yang sama kayak waktu itu. Walaupun aku ngerasa aneh sendiri,
aku yang kayak begini orangnya kok ngerasa begitu ya?”
“Itu
alami, Dek. Rasa itu datang dari hati kamu, walaupun kamu gak minta. Itu
tandanya kamu normal. Alam bawah sadar kamu terpanggil sebagai seorang
perempuan.” terang Indah sekali lagi, masih dengan senyumnya.
Mendengar
kata terakhir yang diucapkan Indah, Ari sedikit tersentak. Perempuan? Pikiran terlempar pada kehidupannya selama ini. Hari-hari
yang memang lebih sering ia habiskan dengan kegiatan yang selalu melibatkan
laki-laki di dalamnya. Mungkin memang lebih pantas disebut sebagai kegiatan
laki-laki. Teman sepermainannya lebih banyak laki-laki. Itu memang pilihannya.
Ia selalu merasa kurang nyaman berada di antara teman-teman perempuannya. Atau lebih
tepatnya merasa tidak nyambung. Ia tidak
mengerti segala hal remeh-temeh yang selalu dipikirkan oleh kebanyakan
anak-anak perempuan di sekitarnya. Fashion,
make-up, perawatan tubuh, dan hal-hal lain yang sering membuat anak-anak
perempuan itu jadi terlalu berisik. Gak
penting. Setidaknya itulah yang muncul di benak Ari selama ini. Ari yang
lebih suka jadi dirinya sendiri. Ari yang tidak tertarik pada urusan mayoritas
gadis seumurannya.
Namun,
perasaan yang telah diungkapkannya pada Indah sore ini benar-benar
mengganggunya. Membuatnya merasa ingin, tapi enggan. Ingin merasakan sensasi
perlakuan istimewa seperti itu lagi, namun enggan mempercayai bahwa perasaan
itu muncul pada dirinya. Apa ini bener-bener
gue? Ari enggan menerima dirinya yang ingin diistemawakan-seperti yang ia
rasakan belakangan ini.
Melihat
Ari yang masih tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, Indah mencoba mengajak
Ari belajar lebih dalam lagi. “Gini aja, kakak pengen ngajak kamu pergi ke
suatu tempat, tapi gak sekarang.”
“Suatu
tempat? Kemana Kak? Apa ada hubungannya sama kegalauanku sekarang? Apa bisa
ngebikin perasaanku jadi lebih baik?” ujar Ari.
“Insyaallah kakak pengen bantu kamu, Dek.
Kakak akan nemenin kamu belajar dari ini semua.” jelas Indah lembut.
“Belajar?”
Ari tampak bingung.
Indah
hanya membalas pertanyaan Ari dengan senyuman. Tangannya menepuk bahu Ari yang
melunglai. Insyaallah, ini saatnya dakwah
menyentuhmu, Dek. Gumam Indah dalam hati.
***
(to be continued...)
No comments:
Post a Comment