Panggil Aku Perempuan #2
(cont...)
Enam
bulan berlalu.
Spanduk
dan baliho bertebaran di sudut-sudut strategis wilayah kampus ini. Bahkan
senjata publikasi tersebut masih dapat ditemukan pada radius 8 km dari gedung
kampus di Kota Pelajar tersebut persisnya. Semua memuat informasi yang
tampaknya akan menjadi salah satu acara besar kampus tersebut tahun ini. Event bertajuk ‘Pesta
Bakti untuk Negeri’ terpampang pada spanduk-spanduk tersebut, rangkaian acara
yang terbuka bagi seluruh khalayak.
Sampai
hari ini seluruh panitia masih mempersiapkan segala keperluan acara tersebut. Dalam
lingkaran forum rapat di selasar serba guna sore ini, tampak Gusti sebagai
pemimpin koordinasi sedang memberikan arahan kerja pada staf-staf kepanitiaan
yang berisi kawan-kawannya dari fakultas yang sama.
“Alhamdulillah, publikasi udah kesebar,
semoga kali ini bener-bener bisa nyerap animo. Sekarang tolong report-nya dong buat persiapannya tim
acara lagi nih. Kayaknya pekan lalu masih ada kendala kan, ya? Monggo,” tukas Gusti dalam forum
tersebut.
Sinta,
yang bertindak sebagai koordinator acara pun angkat bicara, “Kemarin sih masih
ada problem di diskusi publik sama
lomba. Kendalanya terkait kabar dari Pak Anies Baswedan yang belum pasti. Pihak
sana belum bisa ngasih kepastian tentang kesediaan beliau ngisi di acara kita.
Maklum lah beliau orang sibuk.”
“Oke,
oke. Tapi untuk hal ini kalian udah ada alternatif pembicara lain kan, untuk jaga-jaga?” timpal Gusti.
“Udah
ada beberapa tokoh cadangan sih, cp[1]-nya
pun dah mulai kita cari kok,” jawab Sinta.
“Oh
ya, gimana soal lombanya?” lanjut Gusti masih pada tim acara.
“Kalo
tentang lomba langsung ke pj[2]-nya
aja nih. Ri, giliran kamu.” Sinta melemparkan giliran pada Ari yang duduk
bersila di samping dua orang setelahnya.
“Oi,
Ri. Bengong aja. Laporan tuh,” seru Dina sambil menyikut lengan Ari yang tampak
terlamun di sebelahnya.
Ari
yang sedikit terkejut pun mulai mengumpulkan fokusnya kembali. “Eh, sorry, sorry, tadi gue lagi mikir. Gini,
lomba kan kita ada tiga materi ya. Masing-masing untuk kalangan yang berbeda.
Mulai dari anak SD sampai buat anak kuliahan kayak kita. So far, buat ‘Olimpiade Lukis Negeri Impianku’ udah lumayan beres,
lah. Kemarin kata tim danus[3]
juga kita dapet sponsor dari perusahaan alat tulis gitu. Lumayan lah, selain
dana, mereka juga mau ngasih paket bingkisan alat tulis gitu buat juaranya
nanti. Terus, buat lomba ‘Potret Indonesiaku’ kita masih diskusiin tentang
ketentuan karyanya nanti kayak apa. Dua hari lagi kita udah bisa ngasih content-nya ke publikasi buat dibikinin
poster khusus. Satu lagi, untuk lomba “Karyaku untuk Indonesia” kita masih
berusaha cari link ke
komunitas-komunitas mahasiswa gitu. Komunitas film, komunitas teater, komunitas
tari, dan sejenisnya yang berbasis pertunjukkan. Rencananya kita mau nyebar
undangan ke mereka. Masalahnya sih tinggal ke format penjurian nanti enak
gimana. Karena kan karya mereka beda-beda nih nanti, makanya kita masih agak
bingung juga buat penjuriannya nanti gimana. Karena itu juga kita belum bisa
nentuin siapa juri yang tepat sampe sekarang. Kalo untuk lomba-lomba lain
sisanya udah ke-handle sih.” jelas
Ari panjang lebar pada teman-temannya.
Tim
kepanitiaan ini dibentuk langsung oleh jajaran dosen yang menjadi penanggung
jawab acara tersebut. Gusti, yang merupakan mahasiswa Teknik Arsitektur
semester 3, ditunjuk sebagai ketua panitia. Sementara itu, Ari dan mahasiswa
baru yang lain, direkrut langsung oleh tim inti kepanitiaan bentukan Gusti.
Waktu
tak terasa bergulir begitu cepat. Pembahasan demi pembahasan untuk keperluan
acara telah dilalui, menghadiahkan pekerjaan rumah bagi setiap tim dalam
kepanitiaan tersebut. Telah berkumandang adzan maghrib, bertepatan dengan
berakhirnya rapat sore itu. Baru kali ini rapat berjalan sampai sepetang ini. Gusti
pun segera menutup rapat dan tak lupa mengajak teman-temannya untuk
melaksanakan sholat maghrib berjamaah.
***
Selepas
ibadah sholat maghrib, mereka menuju tempat parkir untuk mengambil kendaraan
masing-masing. “Guys, duluan ya,”
pamit Ari yang memang tidak membawa kendaraan.
“Eh,
Ri. Lo sendiri? Pulang ke mana?” tanya Gusti yang tengah mengenakan helmnya.
“Iya.
Gue balik ke Condongcatur, naik bus kok. Duluan ya,” jawab Ari singkat sambil
lalu.
“Eh,
lo bareng Yuli aja ya, Ri. Dia juga ke arah sana kok. Ya kan Yul?” ujar Gusti
seraya bertanya pada Yuli yang tengah mengeluarkan motornya.
Yuli
yang merasa namanya disebut pun menjawab, “Oh, iya. Aku nanti lewat sana kok.
Bareng aja, Ri.”
“Ah,
gak usah. Gue dah biasa naik bus, kok. Lagian baru jam segini. Masih rame juga
di jalan. Tar malah ngerepotin Kak Yuli,” tolak Ari.
“Udah,
pokoknya lo bareng Yuli aja. Sana mumpung masih jam segini!” tukas Gusti agak
sedikit memaksa.
Ari
kemudian tampak terdiam sekejap. Serasa ada yang memenuhi pikirannya tiba-tiba.
Tanpa banyak berkata-kata lagi, Ari pun membonceng motor Yuli dan segera
meninggalkan kampus. Gusti yang telah selesai memastikan teman-temannya pulang
dengan aman pun juga beranjak pergi.
Di
boncengan motor itu, Ari tampak terdiam. Sejak keluar dari parkiran kampus
tadi, ia merasa ada sesuatu hal yang terasa berbeda baginya. Sesuatu hal yang
baru dirasakannya kali ini. Ia pun masih berkutat dengan pikirannya tentang hal
itu. Mencoba menelisik sebenarnya apa yang terasa berbeda. Ia tidak tahu pasti.
“Ri,
Condongcaturnya sebelah mana?” tanya Yuli membuyarkan lamunan Ari.
“Eh,
oh. Di depan belok ke kanan, Kak. Nanti ada portal masuk.” jawab Ari.
“Oh,
oke.” timpal Yuli.
Dan
malam pun menyelimuti Ari dan pikirannya yang kali ini mendapat tamu baru.
Sebuah pertanyaan akan apa gerangan yang terasa berbeda dari kejadian menjelang
kepulangannya petang ini.
***
Satu
bulan berlalu.
Pekan
ini, perhelatan besar dalam rangka hari jadi fakultas tempat Ari belajar pun
diselenggarakan. Seluruh panitia tampak bersiap-siap sejak pukul 06.00 pagi.
Segala persiapan teknis dipastikan tidak ada yang terlewat satu pun oleh Sinta,
koordinator acara. Gusti sebagai ketua panitia pun tidak segan melakukan
pekerjaan-pekerjaan teknis guna mendukung pekerjaan akhir teman-temannya dalam
timnya.
Ari
pun tampak siap dengan seragamnya lengkap dengan cocard yang tercetak nama ‘Ari Indra Putri’ dengan jabatan ‘Staf
Acara’ di atasnya. Ia tampak sedang memastikan ketersediaan semua kebutuhan
pagelaran lomba yang memerlukan panggung untuk menampilkan karya peserta.
Mata
acara demi mata acara pun berjalan. Istirahat siang kini menghentikan kegiatan
sejenak. Panitia bergantian mengambil giliran sholat dzuhur di masjid. Sebagian
berjaga di lokasi Gedung Serba Guna, memastikan segala perlengkapan tidak ada
yang berpindah dari letaknya semula.
Di
masjid, Ari tampak tengah mengambil sepatu ketsnya usai melaksanakan ibadah
sholat dzuhur. Kebetulan saat hendak mengenakan sepatu di depan masjid, ia
mendapati Gusti tengah bercakap dengan salah satu panitia seksi perlengakapan
di selasar masjid, sambil menuju ke pintu keluar. Teringat akan sesuatu hal
yang ingin ditanyakannya tentang acara setelah ini pada Gusti, tanpa pikir
panjang Ari pun menghampiri Gusti begitu saja.
“Gus,
nanti jadinya buat pengumuman pemenang, siapa yang bakal nyerahin tropi?
Katanya Pak Zul gak bisa? Lo kan yang ngelobi penggantinya?” tanya Ari yang
ternyata sudah berada di tempat Gusti berada sambil berkacak pinggang.
Gusti
yang agak terkejut dengan situasi ini pun berkata, “Emm.. Ri. Kita bicarain ini
di Gedung Serba Guna aja ya. Gak enak di sini.”
“Lho,
kenapa emang?” Ari heran.
Gusti
tidak langsung menjawab, melainkan memandang sekeliling mereka. Ari yang masih
tampak heran pun juga mencoba mengamati keadaan sekitar mereka saat itu. Segera
Ari menyadari sesuatu yang sejak tadi tidak diperhatikannya. Ternyata ia
berdiri di selasar masjid bagian putera, di antara pengguna masjid lainnya yang
semuanya adalah putera.
“Oh.
Gue ke sana duluan ya,” ujar Ari singkat sedikit tersipu, buru-buru
meninggalkan lokasi.
Rasa
itu muncul lagi. Di sepanjang jalan menuju Gedung Serba Guna, Ari terus
bergumam dan berpikir. Saat ini ia bisa merasakannya lagi. Rasa yang kian
berbeda itu. Rasa yang menimbulkan tanya dan penasaran lebih dalam dirinya.
Pertanyaan yang ingin segera ia kuak jawabannya. Pertanyaan yang mengganggu
tentang perasaan yang sebetulnya sedikit ia sukai ketika merasakannya. Terasa berbeda. Tidak seperti biasanya.
***
Acara
hari itu pun berakhir tanpa kendala yang berarti. Sesuai dengan jadwal, acara
ini usai pada pukul 17.45. Gusti pun segera membuka forum evaluasi pasca
penutupan acara. Panggilan untuk sholat maghrib pun berkumandang. Gusti
kemudian menutup forum tersebut sementara untuk pelaksanaan ibadah, kemudian
dilanjutkan dengan pembersihan tempat usai sholat maghrib nanti.
Sekembalinya
di Gedung Serba Guna, Gusti segera mengkoordinasi staf-stafnya untuk
membereskan perlengkapan satu per satu. “Oke, sekarang kita beres-beres ya.
Yang putera tolong semuanya turun tangan buat beresin ni barang-barang. Yang
puteri dipersilahkan pulang duluan aja ya. Yo, yo, disegerakan aja ya,
temen-temen.” instruksi Gusti malam itu.
Mendengar
hal tersebut, Ari yang sudah tampak menyingsingkan lengan kemejanya untuk
membantu pun heran seketika. Lah, kok
pulang? Gue dah siap angkut-angkut ni. Gue gak ngerti deh jalan pikiran tuh
anak, ujar Ari dalam hati sambil menggaruk kepalanya walaupun tidak gatal.
“Yok,
Ri! Balik bareng aku lagi,” ajak Yuli menarik lengan Ari yang masih berkacak
pinggang.
“Tapi…
tapi kenapa kita pulang duluan? Ni tempat belum beres, Kak.” sanggah Ari.
“Udah
lah. Kita dah disuruh pulang tuh, sama Pak Ustadz. Nanti beliau marah lagi,
kalo kamu masih ada di sini. Yuk!” timpal Yuli dengan nada sedikit bercanda.
Ari
mengetahui pada siapa julukan ‘Pak Ustadz’ itu diarahkan. Jelas hanya pada satu
orang. Satu orang yang sudah kesekian kalinya membuatnya merasakan keanehan.
Keanehan yang mulanya ia sukai, tapi kini malah membuatnya semakin heran.
Diputuskannya untuk menyelesaikan kegalauan tersebut malam itu juga. Ya, malam
itu ia akan mencari tahu apa sebenarnya yang ada di balik perasaan itu.
***
Di
kamar kos Ari pukul 20.43 malam.
“Gusti.” (sending message to Gusti Arsi)
“Ada apa Ri?”
(sending message to Ari Metal)
“Ada yang mau gue tanyain, sibuk
gak?” (sending
message to Gusti Arsi)
“Tanya aja, tentang lomba tadi ya?”
(sending message to Ari Metal)
“Bukan. Emm.. gue heran deh sama
sikap lo?” (sending
message to Gusti Arsi)
“Sikap gue yang mana. Ri? Gue
kurang bagus ya, jadi ketua panitia?” (sending message to Ari Metal)
“Bukan itu. Maksud gue, kenapa ya,
gue ngerasa lo agak ngebedain cewek?” (sending message to Gusti Arsi)
“Ngebedain gimana maksud lo, Ri?” (sending message to Ari Metal)
“Yang gue maksud itu, saat kita
pada mau pulang, lo pasti mastiin kita semua udah dapet tebengan. Trus, waktu
beres-beres tadi, kenapa lo malah nyuruh yang cewek pada balik? Padahal kerjaan
kan masih banyak banget.” (sending message to Gusti Arsi)
“Emangnya ada yang buruk ya, sama
sikap gue yang kayak gitu?” (sending message to Ari Metal)
“Emm.. enggak sih. Tapi gue ngerasa
aneh aja diperlakuin kayak gitu.” (sending message to Gusti Arsi)
Sebelum
membalas pesan tersebut, Gusti pun berpikir sejenak. Gusti sebenarnya adalah
teman Ari dulu ketika di kelas 1 SMA. Namun, berbeda dengan Ari, Gusti
mengambil kelas akselerasi sehingga ia masuk lebih dulu ke perguruan tinggi
daripada Ari. Teringat reputasi Ari dulu sebagai atlet basket pun Gusti
menjawab pesan tersebut, “Elo sih,
kebanyakan maen sama cowok...” (sending message to Ari Metal)
“Lah, emang kenapa?” (sending message to Gusti Arsi)
Ari
kembali tidak langsung menerima balasan atas pesannya kali ini.
Setelah
berpikir sejenak, Gusti pun menbalas pesan Ari, “Hmm.. Kalo lo mau nemuin jawabannya, coba lo hubungin orang ini aja
deh. Indah Citra Az Zahra-Teknik Informatika 2009 (088747632763). Lo kenal Kak
Indah kan?” (sending message to Ari
Metal)
“Siapa nih orang? Kak Indah?”
(sending message to Gusti Arsi)
“Beliau senior gue di kelas aksel
dulu, gue satu tahun di bawahnya. Udah dulu ya, dah jam 9 nih.
Assalamualaykum..” (sending message to Ari Metal)
“Heh, kok maen udahan aja lo?
Maksud lo apa nyuruh gue ketemu Kak Indah?” (sending message to Gusti Arsi)
Waktu
menunjukkan pukul 21.03, dan tak ada lagi balasan pesan dari Gusti malam itu.
Tinggal lah Ari dengan perasaan dan pertanyaan yang berkecamuk dalam hati dan
pikirannya. Jengkel sekaligus makin penasaran. Itulah yang ditinggalkan oleh
Gusti kepada Ari malam itu. Ari yang memasang wajah masam karena tak kunjung
mendapat balasan pesan dari Gusti bergumam dalam hatinya, Apa sih maksudnya Gusti? Malah ngasih gue nomor orang yang gak gue
kenal. Apa gue mesti hubungin orang itu? Tapi apa yang gue bisa gali dari ni orang?
Hah… penasaran abis gue!!
Ari
pun berusaha melewati malam itu dengan istirahat. Istirahatnya yang diselimuti
oleh rasa ingin tahu yang teramat dalam. Rasa ingin tahu yang ingin segera ia
lunasi, ia buka lebar-lebar apa yang ada di balik ini semua. Dan malam pun tak
kunjung membuai Ari dengan mimpi yang nyenyak.
***
No comments:
Post a Comment