Sunday, 22 April 2012

CerBung April 2012


Panggil Aku Perempuan #2
(cont...)

Enam bulan berlalu.

Spanduk dan baliho bertebaran di sudut-sudut strategis wilayah kampus ini. Bahkan senjata publikasi tersebut masih dapat ditemukan pada radius 8 km dari gedung kampus di Kota Pelajar tersebut persisnya. Semua memuat informasi yang tampaknya akan menjadi salah satu acara besar kampus tersebut tahun ini. Event bertajuk ‘Pesta Bakti untuk Negeri’ terpampang pada spanduk-spanduk tersebut, rangkaian acara yang terbuka bagi seluruh khalayak.

Sampai hari ini seluruh panitia masih mempersiapkan segala keperluan acara tersebut. Dalam lingkaran forum rapat di selasar serba guna sore ini, tampak Gusti sebagai pemimpin koordinasi sedang memberikan arahan kerja pada staf-staf kepanitiaan yang berisi kawan-kawannya dari fakultas yang sama.

Alhamdulillah, publikasi udah kesebar, semoga kali ini bener-bener bisa nyerap animo. Sekarang tolong report-nya dong buat persiapannya tim acara lagi nih. Kayaknya pekan lalu masih ada kendala kan, ya? Monggo,” tukas Gusti dalam forum tersebut.

Sinta, yang bertindak sebagai koordinator acara pun angkat bicara, “Kemarin sih masih ada problem di diskusi publik sama lomba. Kendalanya terkait kabar dari Pak Anies Baswedan yang belum pasti. Pihak sana belum bisa ngasih kepastian tentang kesediaan beliau ngisi di acara kita. Maklum lah beliau orang sibuk.”

“Oke, oke. Tapi untuk hal ini kalian udah ada alternatif pembicara  lain kan, untuk jaga-jaga?” timpal Gusti.

“Udah ada beberapa tokoh cadangan sih, cp[1]-nya pun dah mulai kita cari kok,” jawab Sinta.

“Oh ya, gimana soal lombanya?” lanjut Gusti masih pada tim acara.

“Kalo tentang lomba langsung ke pj[2]-nya aja nih. Ri, giliran kamu.” Sinta melemparkan giliran pada Ari yang duduk bersila di samping dua orang setelahnya.

“Oi, Ri. Bengong aja. Laporan tuh,” seru Dina sambil menyikut lengan Ari yang tampak terlamun di sebelahnya.

Ari yang sedikit terkejut pun mulai mengumpulkan fokusnya kembali. “Eh, sorry, sorry, tadi gue lagi mikir. Gini, lomba kan kita ada tiga materi ya. Masing-masing untuk kalangan yang berbeda. Mulai dari anak SD sampai buat anak kuliahan kayak kita. So far, buat ‘Olimpiade Lukis Negeri Impianku’ udah lumayan beres, lah. Kemarin kata tim danus[3] juga kita dapet sponsor dari perusahaan alat tulis gitu. Lumayan lah, selain dana, mereka juga mau ngasih paket bingkisan alat tulis gitu buat juaranya nanti. Terus, buat lomba ‘Potret Indonesiaku’ kita masih diskusiin tentang ketentuan karyanya nanti kayak apa. Dua hari lagi kita udah bisa ngasih content-nya ke publikasi buat dibikinin poster khusus. Satu lagi, untuk lomba “Karyaku untuk Indonesia” kita masih berusaha cari link ke komunitas-komunitas mahasiswa gitu. Komunitas film, komunitas teater, komunitas tari, dan sejenisnya yang berbasis pertunjukkan. Rencananya kita mau nyebar undangan ke mereka. Masalahnya sih tinggal ke format penjurian nanti enak gimana. Karena kan karya mereka beda-beda nih nanti, makanya kita masih agak bingung juga buat penjuriannya nanti gimana. Karena itu juga kita belum bisa nentuin siapa juri yang tepat sampe sekarang. Kalo untuk lomba-lomba lain sisanya udah ke-handle sih.” jelas Ari panjang lebar pada teman-temannya.

Tim kepanitiaan ini dibentuk langsung oleh jajaran dosen yang menjadi penanggung jawab acara tersebut. Gusti, yang merupakan mahasiswa Teknik Arsitektur semester 3, ditunjuk sebagai ketua panitia. Sementara itu, Ari dan mahasiswa baru yang lain, direkrut langsung oleh tim inti kepanitiaan bentukan Gusti.

Waktu tak terasa bergulir begitu cepat. Pembahasan demi pembahasan untuk keperluan acara telah dilalui, menghadiahkan pekerjaan rumah bagi setiap tim dalam kepanitiaan tersebut. Telah berkumandang adzan maghrib, bertepatan dengan berakhirnya rapat sore itu. Baru kali ini rapat berjalan sampai sepetang ini. Gusti pun segera menutup rapat dan tak lupa mengajak teman-temannya untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah.
***
Selepas ibadah sholat maghrib, mereka menuju tempat parkir untuk mengambil kendaraan masing-masing. “Guys, duluan ya,” pamit Ari yang memang tidak membawa kendaraan.

“Eh, Ri. Lo sendiri? Pulang ke mana?” tanya Gusti yang tengah mengenakan helmnya.

“Iya. Gue balik ke Condongcatur, naik bus kok. Duluan ya,” jawab Ari singkat sambil lalu.

“Eh, lo bareng Yuli aja ya, Ri. Dia juga ke arah sana kok. Ya kan Yul?” ujar Gusti seraya bertanya pada Yuli yang tengah mengeluarkan motornya.

Yuli yang merasa namanya disebut pun menjawab, “Oh, iya. Aku nanti lewat sana kok. Bareng aja, Ri.”

“Ah, gak usah. Gue dah biasa naik bus, kok. Lagian baru jam segini. Masih rame juga di jalan. Tar malah ngerepotin Kak Yuli,” tolak Ari.

“Udah, pokoknya lo bareng Yuli aja. Sana mumpung masih jam segini!” tukas Gusti agak sedikit memaksa.

Ari kemudian tampak terdiam sekejap. Serasa ada yang memenuhi pikirannya tiba-tiba. Tanpa banyak berkata-kata lagi, Ari pun membonceng motor Yuli dan segera meninggalkan kampus. Gusti yang telah selesai memastikan teman-temannya pulang dengan aman pun juga beranjak pergi.

Di boncengan motor itu, Ari tampak terdiam. Sejak keluar dari parkiran kampus tadi, ia merasa ada sesuatu hal yang terasa berbeda baginya. Sesuatu hal yang baru dirasakannya kali ini. Ia pun masih berkutat dengan pikirannya tentang hal itu. Mencoba menelisik sebenarnya apa yang terasa berbeda. Ia tidak tahu pasti.

“Ri, Condongcaturnya sebelah mana?” tanya Yuli membuyarkan lamunan Ari.

“Eh, oh. Di depan belok ke kanan, Kak. Nanti ada portal masuk.” jawab Ari.

“Oh, oke.” timpal Yuli.

Dan malam pun menyelimuti Ari dan pikirannya yang kali ini mendapat tamu baru. Sebuah pertanyaan akan apa gerangan yang terasa berbeda dari kejadian menjelang kepulangannya petang ini.
***
Satu bulan berlalu.

Pekan ini, perhelatan besar dalam rangka hari jadi fakultas tempat Ari belajar pun diselenggarakan. Seluruh panitia tampak bersiap-siap sejak pukul 06.00 pagi. Segala persiapan teknis dipastikan tidak ada yang terlewat satu pun oleh Sinta, koordinator acara. Gusti sebagai ketua panitia pun tidak segan melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis guna mendukung pekerjaan akhir teman-temannya dalam timnya.

Ari pun tampak siap dengan seragamnya lengkap dengan cocard yang tercetak nama ‘Ari Indra Putri’ dengan jabatan ‘Staf Acara’ di atasnya. Ia tampak sedang memastikan ketersediaan semua kebutuhan pagelaran lomba yang memerlukan panggung untuk menampilkan karya peserta.

Mata acara demi mata acara pun berjalan. Istirahat siang kini menghentikan kegiatan sejenak. Panitia bergantian mengambil giliran sholat dzuhur di masjid. Sebagian berjaga di lokasi Gedung Serba Guna, memastikan segala perlengkapan tidak ada yang berpindah dari letaknya semula.

Di masjid, Ari tampak tengah mengambil sepatu ketsnya usai melaksanakan ibadah sholat dzuhur. Kebetulan saat hendak mengenakan sepatu di depan masjid, ia mendapati Gusti tengah bercakap dengan salah satu panitia seksi perlengakapan di selasar masjid, sambil menuju ke pintu keluar. Teringat akan sesuatu hal yang ingin ditanyakannya tentang acara setelah ini pada Gusti, tanpa pikir panjang Ari pun menghampiri Gusti begitu saja.

“Gus, nanti jadinya buat pengumuman pemenang, siapa yang bakal nyerahin tropi? Katanya Pak Zul gak bisa? Lo kan yang ngelobi penggantinya?” tanya Ari yang ternyata sudah berada di tempat Gusti berada sambil berkacak pinggang.

Gusti yang agak terkejut dengan situasi ini pun berkata, “Emm.. Ri. Kita bicarain ini di Gedung Serba Guna aja ya. Gak enak di sini.”

“Lho, kenapa emang?” Ari heran.

Gusti tidak langsung menjawab, melainkan memandang sekeliling mereka. Ari yang masih tampak heran pun juga mencoba mengamati keadaan sekitar mereka saat itu. Segera Ari menyadari sesuatu yang sejak tadi tidak diperhatikannya. Ternyata ia berdiri di selasar masjid bagian putera, di antara pengguna masjid lainnya yang semuanya adalah putera.

“Oh. Gue ke sana duluan ya,” ujar Ari singkat sedikit tersipu, buru-buru meninggalkan lokasi.

Rasa itu muncul lagi. Di sepanjang jalan menuju Gedung Serba Guna, Ari terus bergumam dan berpikir. Saat ini ia bisa merasakannya lagi. Rasa yang kian berbeda itu. Rasa yang menimbulkan tanya dan penasaran lebih dalam dirinya. Pertanyaan yang ingin segera ia kuak jawabannya. Pertanyaan yang mengganggu tentang perasaan yang sebetulnya sedikit ia sukai ketika merasakannya.  Terasa berbeda. Tidak seperti biasanya.
***
Acara hari itu pun berakhir tanpa kendala yang berarti. Sesuai dengan jadwal, acara ini usai pada pukul 17.45. Gusti pun segera membuka forum evaluasi pasca penutupan acara. Panggilan untuk sholat maghrib pun berkumandang. Gusti kemudian menutup forum tersebut sementara untuk pelaksanaan ibadah, kemudian dilanjutkan dengan pembersihan tempat usai sholat maghrib nanti.

Sekembalinya di Gedung Serba Guna, Gusti segera mengkoordinasi staf-stafnya untuk membereskan perlengkapan satu per satu. “Oke, sekarang kita beres-beres ya. Yang putera tolong semuanya turun tangan buat beresin ni barang-barang. Yang puteri dipersilahkan pulang duluan aja ya. Yo, yo, disegerakan aja ya, temen-temen.” instruksi Gusti malam itu.


Mendengar hal tersebut, Ari yang sudah tampak menyingsingkan lengan kemejanya untuk membantu pun heran seketika. Lah, kok pulang? Gue dah siap angkut-angkut ni. Gue gak ngerti deh jalan pikiran tuh anak, ujar Ari dalam hati sambil menggaruk kepalanya walaupun tidak gatal.

“Yok, Ri! Balik bareng aku lagi,” ajak Yuli menarik lengan Ari yang masih berkacak pinggang.

“Tapi… tapi kenapa kita pulang duluan? Ni tempat belum beres, Kak.” sanggah Ari.

“Udah lah. Kita dah disuruh pulang tuh, sama Pak Ustadz. Nanti beliau marah lagi, kalo kamu masih ada di sini. Yuk!” timpal Yuli dengan nada sedikit bercanda.

Ari mengetahui pada siapa julukan ‘Pak Ustadz’ itu diarahkan. Jelas hanya pada satu orang. Satu orang yang sudah kesekian kalinya membuatnya merasakan keanehan. Keanehan yang mulanya ia sukai, tapi kini malah membuatnya semakin heran. Diputuskannya untuk menyelesaikan kegalauan tersebut malam itu juga. Ya, malam itu ia akan mencari tahu apa sebenarnya yang ada di balik perasaan itu.
***
Di kamar kos Ari pukul 20.43 malam.

“Gusti.” (sending message to Gusti Arsi)

“Ada apa Ri?” (sending message to Ari Metal)

“Ada yang mau gue tanyain, sibuk gak?” (sending message to Gusti Arsi)

“Tanya aja, tentang lomba tadi ya?” (sending message to Ari Metal)

“Bukan. Emm.. gue heran deh sama sikap lo?” (sending message to Gusti Arsi)

“Sikap gue yang mana. Ri? Gue kurang bagus ya, jadi ketua panitia?” (sending message to Ari Metal)

“Bukan itu. Maksud gue, kenapa ya, gue ngerasa lo agak ngebedain cewek?” (sending message to Gusti Arsi)

“Ngebedain gimana maksud lo, Ri?” (sending message to Ari Metal)

“Yang gue maksud itu, saat kita pada mau pulang, lo pasti mastiin kita semua udah dapet tebengan. Trus, waktu beres-beres tadi, kenapa lo malah nyuruh yang cewek pada balik? Padahal kerjaan kan masih banyak banget.” (sending message to Gusti Arsi)

“Emangnya ada yang buruk ya, sama sikap gue yang kayak gitu?” (sending message to Ari Metal)

“Emm.. enggak sih. Tapi gue ngerasa aneh aja diperlakuin kayak gitu.” (sending message to Gusti Arsi)

Sebelum membalas pesan tersebut, Gusti pun berpikir sejenak. Gusti sebenarnya adalah teman Ari dulu ketika di kelas 1 SMA. Namun, berbeda dengan Ari, Gusti mengambil kelas akselerasi sehingga ia masuk lebih dulu ke perguruan tinggi daripada Ari. Teringat reputasi Ari dulu sebagai atlet basket pun Gusti menjawab pesan tersebut, “Elo sih, kebanyakan maen sama cowok...(sending message to Ari Metal)

“Lah, emang kenapa?” (sending message to Gusti Arsi)

Ari kembali tidak langsung menerima balasan atas pesannya kali ini.

Setelah berpikir sejenak, Gusti pun menbalas pesan Ari, “Hmm.. Kalo lo mau nemuin jawabannya, coba lo hubungin orang ini aja deh. Indah Citra Az Zahra-Teknik Informatika 2009 (088747632763). Lo kenal Kak Indah kan?” (sending message to Ari Metal)

“Siapa nih orang? Kak Indah?” (sending message to Gusti Arsi)

“Beliau senior gue di kelas aksel dulu, gue satu tahun di bawahnya. Udah dulu ya, dah jam 9 nih. Assalamualaykum..(sending message to Ari Metal)

“Heh, kok maen udahan aja lo? Maksud lo apa nyuruh gue ketemu Kak Indah?” (sending message to Gusti Arsi)


Waktu menunjukkan pukul 21.03, dan tak ada lagi balasan pesan dari Gusti malam itu. Tinggal lah Ari dengan perasaan dan pertanyaan yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Jengkel sekaligus makin penasaran. Itulah yang ditinggalkan oleh Gusti kepada Ari malam itu. Ari yang memasang wajah masam karena tak kunjung mendapat balasan pesan dari Gusti bergumam dalam hatinya, Apa sih maksudnya Gusti? Malah ngasih gue nomor orang yang gak gue kenal. Apa gue mesti hubungin orang itu? Tapi apa yang gue bisa gali dari ni orang? Hah… penasaran abis gue!!

Ari pun berusaha melewati malam itu dengan istirahat. Istirahatnya yang diselimuti oleh rasa ingin tahu yang teramat dalam. Rasa ingin tahu yang ingin segera ia lunasi, ia buka lebar-lebar apa yang ada di balik ini semua. Dan malam pun tak kunjung membuai Ari dengan mimpi yang nyenyak.
***


[1] contact person
[2] penanggung jawab
[3] dana usaha

(to be continued...)

No comments:

Post a Comment