Panggil Aku Perempuan #1
Tribun
GOR C-Tra Arena di Kota Kembang ini riuh ramai sore itu. Seruan dukungan dari
siswa-siswi SMA Negeri 36 membakar semangat srikandi-srikandi pendribel bola,
untuk mengambil alih kuasa permainan dan mencetak poin demi poin. Pertandingan
sore ini tidak bisa dianggap ringan. Rival mereka adalah jawara liga yang sama
dua tahun belakangan. Babak ini hanya merupakan penyisihan, namun sekaligus
pembuktian apakah tim basket puteri Citra Erlangga mampu menaklukkan squad Fire Phoenix yang telah membekukan mereka di poin terakhir pada
final tahun lalu. Tampaknya ini adalah perang kesumat yang sangat
ditunggu-tunggu oleh para supporter kedua
belah tim.
“Gue
kosong, Nggi!” seru Ari pada rekannya sambil mengangkat tangan kanannya ke
udara. Namun, tampaknya Anggi menyadari ancaman seorang defender dari ‘Sang Phoenix
Api’ yang sejak tadi membayangi pergerakan Ari. Anggi pun meloloskan bola ke
Ocha. Di tangan Ocha, bola di giring ke sayap kiri lapangan lawan. Saat itu
tepat di center point lapangan
kembali muncul Ari yang kini tampak telah dapat meloloskan diri dari
bayang-bayang ‘bodyguard’-nya. Kontan
Ocha, Si Penguasa Bola saat itu, mengisyaratkan Ari untuk kembali mengambil shoot kali ini. Taktis. Setelah sampai
ke pelukan Ari, bola pun meluncur dari ujung telapak tangannya. Seakurat peluru
kendali yang menyasar region pertahanan
utama lawan, tembakan Ari tepat sasaran. Lalu, “Priiiiit….!!”. Peluit panjang
menandai usainya pertandingan yang cukup panas ini.
Tribun
yang sejak tadi bising, kini berubah menjadi lautan lonjakan manusia.
Siswa-siswi saling beradu tangan di udara sebagai tanda bahwa telah diraih
sebuah kemenangan yang amat diidam-idamkan. Di tengah lapangan,
pendekar-pendekar Citra Erlangga tampak berangkulan dalam lingkaran. Merayakan
keberhasilan yang sekaligus pengembalian kehormatan tim mereka setelah tahun
lalu ditaklukan pada poin terakhir babak final.
“Selamat
ya, kalian hebat, terutama lo, Ri.” sapa Wulan, kapten tim lawan, tangannya
menyeruak menjabat tangan Ari yang masih berlumuran peluh.
“Sama-sama,
Lan. Tim lo juga keren banget kok hari ini. Sukses ya, di pertandingan lain.”
balas Ari dengan senyum sumringah tersungging di wajahnya yang masih merah
karena panasnya hawa pertandingan.
Sore
itu pun Ari dan kawan-kawan membawa kemenangan besar yang mengantarkan Citra
Erlangga pada pertandingan-pertandingan selanjutnya yang penuh prestasi. Hingga
SMA Negeri 36 duduk di posisi teratas dalam Liga Basket Tahunan antar SMA
se-Bandung tahun ini.
***
Lapangan
olahraga SMA Negeri 36 penuh sesak siang ini. Beberapa kegiatan ekstrakurikuler
menggelar pelatihan menjelang pertunjukkan untuk menyambut siswa baru pada
waktu yang hampir bersamaan. Tak terkecuali dengan tim bola basket kebanggaan
sekolah ini. Sejak jam sekolah usai pukul 14.00 tadi, pebasket-pebasket
kebanggaan sekolah memulai latihan dengan pemanasan rutin. Latihan basket
putera dan puteri dilakukan di lapangan yang sama, dengan pelatih yang sama
pula.
Tampak
di antara sekelompok pebasket itu, seorang yang berbeda di antara yang lain.
Seorang gadis berperawakan tinggi tegap, bergaris wajah tegas, dengan hiasan
alis tebal serta bulu mata yang lentik, menyiratkan paras yang sesungguhnya
nyaman untuk dipandang.
“Ri,
kok lo sendirian lagi sih? Kayaknya gue perhatiin, temen-temen lo di tim cewek
makin hari makin ngilang aja?” tanya Yudi, salah satu penguat tim basket
putera, heran.
Ari
yang tampak sedang berkonsentrasi pada pemanasannya pun menjawab ringan, “Vera
bimbel, Ocha ke salon, Melly fitness,
Anggi nemenin nyokapnya shopping,
sisanya gue gak tau”.
Tomi
yang berbaris di belakang Yudi dan Ari pun berkomentar langsung setelah
mendengar penjelasan Ari, “Halah, dasar cewek!”
“Maksud
lo apaan sih, Tom? Emang kenapa sama cewek? Sensi amat lo!” tukas Yudi. Ari
hanya mendengarkan percakapan kedua temannya itu sambil melanjutkan
pemanasannya.
“Ah,
lo Yud, kayak gak ngerti aja. Cewek tuh kebanyakan alesan. Sok sibuk. Urusannya
aneh-aneh. Pake ke salon segala, shopping
juga. Kayak gak ada kerjaan laen aja.” ujar Tomi seenaknya.
Yudi
pun segera merespon, “Hus,
sembarangan lo. Lo gak ngeliat samping gue nih, Tom? Gak semua cewek kayak gitu
lagi. Lo gak nganggep sohib kita yang satu ini?”
“Lah,
Si Ari mah beda, Yud. Dia ama kita tuh udah kayak gak ada bedanya. Gaulnya aja
sama kita terus. Dia sama lo, gentle-an
dia lagi.” sambung Tomi kilat.
Ari
yang sejak tadi tampak tidak ingin terlibat dalam perbincangan dua bocah ini
pun terpaksa menyahut setelah mendengar komentar Tomi tadi. “Apa sih kalian
nih? Berisik aja. Gue jadi gak bisa denger instruksi Kak Jo nih. Diem!”.
Seketika itu pun Tomi dan Yudi melanjutkan latihan mereka tanpa obrolan yang
lebih panjang lagi.
Selepas
latihan rutin yang berlangsung hingga pukul 17.45 sore itu, mereka pun bersiap
untuk pulang. Di ruang loker, mereka mengemasi barang bawaan masing-masing yang
hendak dibawa pulang hari ini.
“Eh,
Ri. Pulang sama siapa?” tanya Lian pada Ari, sekedar basa-basi. Ari yang tengah
mengambil beberapa pasang sepatu yang disimpannya di dalam loker nomor 3 itu
pun menoleh dan menjawab singkat, “Gue balik sendiri pake bus. Biasanya juga
gitu kok, kayak gak tau aja, lo.”
“Langsung
balik lo malem ini? Malem minggu nih, man.”
ujar Asta pada Ari yang kini tengah mengencangkan tali sepatu yang sedang
dikenakannya.
“Sorry, man. Gue bukannya gak mau hang out bareng kalian malem ini. Tapi
besok gue harus bangun pagi-pagi. Ada tes seleksi beasiswa kuliah buat atlet.
Jam tujuh gue dah harus ada di Gedung Sate, man.
Lo pada tau kan gue kalo tidur bangunnya sesusah apa?” jelas Ari.
Yudi
segera berkomentar setelah mendengar kabar itu, “Kuliah? Wah, iya ya. Kita
sekarang dah kelas tiga. Hampir lupa gue. Gak berasa ya, bro. Bentar lagi kita gak bisa tanding bareng di satu tim lagi,
deh.”
“Kenapa
jadi melankolis gini yak? Tapi iya, sob. Gue bakal kangen banget saat-saat kita
panas-panasan di lapangan buat ngebela nama sekolah kita. Apalagi sama lo, Ri.”
sambung Tomi.
“Hah?
Kok gue?” Ari heran.
“Iya,
Ri. Biarpun belom ada satu game resmi
pun yang kita semua lewatin bareng lo, tapi lo tuh idola kita semua, Ri.”
lanjut Lian.
Yudi
pun bersemangat menambahkan, “Lo tu bintangnya lapangan, man. Permainan lo emang yang paling keren di antara anak-anak laen
di tim cewek.”
“Dan
lo, Ri. Lo gak pernah segan sama kita semua. Walaupun kita anaknya dekil-dekil
dan bau kayak gini, lo tetep enjoy aja
gaul sama kita. Itu yang kita suka dari elo, man.” ujar Asta sambil merangkul pundak Ari.
“Minta
kenang-kenangan dong, Ri. Gue kan fans berat
lo. Minta seragam basket lo dong. Tar gue kasih punya gue juga deh.” bujuk Yudi.
“Gue
juga, Ri. Gue juga.” yang lainnya ikut sahut-menyahut.
Melihat
kelakukan aneh sahabat-sahabat karibnya itu, Ari pun berkomentar, “Apa sih
kalian? Gak usah lebay gitu deh. Lagian gue seneng kok, jadi temen kalian. Kalian
tu selalu baik dan percaya sama gue. Thank
you ya, guys.”
“Jadi, kenang-kenangan
seragam lo, mana Ri?” tagih Tomi.
“Siniin
dulu seragam kalian!” ujar Ari sambil mengulurkan tangan.
Seketika
itu pula gundukan seragam basket yang kotor dan bau, jatuh di pelukan Ari.
Obrolan petang itu pun berakhir dengan gurau yang menyeruak antara Ari dan
keempat sobat laki-lakinya itu. Menyiratkan betapa tipisnya jarak persahabatan
antara anak-anak muda belia ini. Begitu kental, hingga tak tampak batas sedikit
pun.
***
(to be continued...)
No comments:
Post a Comment