Monday, 16 April 2012

CerBung April 2012


Panggil Aku Perempuan #1

Tribun GOR C-Tra Arena di Kota Kembang ini riuh ramai sore itu. Seruan dukungan dari siswa-siswi SMA Negeri 36 membakar semangat srikandi-srikandi pendribel bola, untuk mengambil alih kuasa permainan dan mencetak poin demi poin. Pertandingan sore ini tidak bisa dianggap ringan. Rival mereka adalah jawara liga yang sama dua tahun belakangan. Babak ini hanya merupakan penyisihan, namun sekaligus pembuktian apakah tim basket puteri Citra Erlangga mampu menaklukkan squad Fire Phoenix yang telah membekukan mereka di poin terakhir pada final tahun lalu. Tampaknya ini adalah perang kesumat yang sangat ditunggu-tunggu oleh para supporter kedua belah tim.

“Gue kosong, Nggi!” seru Ari pada rekannya sambil mengangkat tangan kanannya ke udara. Namun, tampaknya Anggi menyadari ancaman seorang defender dari ‘Sang Phoenix Api’ yang sejak tadi membayangi pergerakan Ari. Anggi pun meloloskan bola ke Ocha. Di tangan Ocha, bola di giring ke sayap kiri lapangan lawan. Saat itu tepat di center point lapangan kembali muncul Ari yang kini tampak telah dapat meloloskan diri dari bayang-bayang ‘bodyguard’-nya. Kontan Ocha, Si Penguasa Bola saat itu, mengisyaratkan Ari untuk kembali mengambil shoot kali ini. Taktis. Setelah sampai ke pelukan Ari, bola pun meluncur dari ujung telapak tangannya. Seakurat peluru kendali yang menyasar region pertahanan utama lawan, tembakan Ari tepat sasaran. Lalu, “Priiiiit….!!”. Peluit panjang menandai usainya pertandingan yang cukup panas ini. 

Tribun yang sejak tadi bising, kini berubah menjadi lautan lonjakan manusia. Siswa-siswi saling beradu tangan di udara sebagai tanda bahwa telah diraih sebuah kemenangan yang amat diidam-idamkan. Di tengah lapangan, pendekar-pendekar Citra Erlangga tampak berangkulan dalam lingkaran. Merayakan keberhasilan yang sekaligus pengembalian kehormatan tim mereka setelah tahun lalu ditaklukan pada poin terakhir babak final.

“Selamat ya, kalian hebat, terutama lo, Ri.” sapa Wulan, kapten tim lawan, tangannya menyeruak menjabat tangan Ari yang masih berlumuran peluh.

“Sama-sama, Lan. Tim lo juga keren banget kok hari ini. Sukses ya, di pertandingan lain.” balas Ari dengan senyum sumringah tersungging di wajahnya yang masih merah karena panasnya hawa pertandingan.

Sore itu pun Ari dan kawan-kawan membawa kemenangan besar yang mengantarkan Citra Erlangga pada pertandingan-pertandingan selanjutnya yang penuh prestasi. Hingga SMA Negeri 36 duduk di posisi teratas dalam Liga Basket Tahunan antar SMA se-Bandung tahun ini. 
***

Lapangan olahraga SMA Negeri 36 penuh sesak siang ini. Beberapa kegiatan ekstrakurikuler menggelar pelatihan menjelang pertunjukkan untuk menyambut siswa baru pada waktu yang hampir bersamaan. Tak terkecuali dengan tim bola basket kebanggaan sekolah ini. Sejak jam sekolah usai pukul 14.00 tadi, pebasket-pebasket kebanggaan sekolah memulai latihan dengan pemanasan rutin. Latihan basket putera dan puteri dilakukan di lapangan yang sama, dengan pelatih yang sama pula.

Tampak di antara sekelompok pebasket itu, seorang yang berbeda di antara yang lain. Seorang gadis berperawakan tinggi tegap, bergaris wajah tegas, dengan hiasan alis tebal serta bulu mata yang lentik, menyiratkan paras yang sesungguhnya nyaman untuk dipandang.

“Ri, kok lo sendirian lagi sih? Kayaknya gue perhatiin, temen-temen lo di tim cewek makin hari makin ngilang aja?” tanya Yudi, salah satu penguat tim basket putera, heran.

Ari yang tampak sedang berkonsentrasi pada pemanasannya pun menjawab ringan, “Vera bimbel, Ocha ke salon, Melly fitness, Anggi nemenin nyokapnya shopping, sisanya gue gak tau”.

Tomi yang berbaris di belakang Yudi dan Ari pun berkomentar langsung setelah mendengar penjelasan Ari, “Halah, dasar cewek!”

“Maksud lo apaan sih, Tom? Emang kenapa sama cewek? Sensi amat lo!” tukas Yudi. Ari hanya mendengarkan percakapan kedua temannya itu sambil melanjutkan pemanasannya.

“Ah, lo Yud, kayak gak ngerti aja. Cewek tuh kebanyakan alesan. Sok sibuk. Urusannya aneh-aneh. Pake ke salon segala, shopping juga. Kayak gak ada kerjaan laen aja.” ujar Tomi seenaknya.

Yudi pun segera merespon, “Hus, sembarangan lo. Lo gak ngeliat samping gue nih, Tom? Gak semua cewek kayak gitu lagi. Lo gak nganggep sohib kita yang satu ini?”

“Lah, Si Ari mah beda, Yud. Dia ama kita tuh udah kayak gak ada bedanya. Gaulnya aja sama kita terus. Dia sama lo, gentle-an dia lagi.” sambung Tomi kilat.

Ari yang sejak tadi tampak tidak ingin terlibat dalam perbincangan dua bocah ini pun terpaksa menyahut setelah mendengar komentar Tomi tadi. “Apa sih kalian nih? Berisik aja. Gue jadi gak bisa denger instruksi Kak Jo nih. Diem!”. Seketika itu pun Tomi dan Yudi melanjutkan latihan mereka tanpa obrolan yang lebih panjang lagi.

Selepas latihan rutin yang berlangsung hingga pukul 17.45 sore itu, mereka pun bersiap untuk pulang. Di ruang loker, mereka mengemasi barang bawaan masing-masing yang hendak dibawa pulang hari ini. 

“Eh, Ri. Pulang sama siapa?” tanya Lian pada Ari, sekedar basa-basi. Ari yang tengah mengambil beberapa pasang sepatu yang disimpannya di dalam loker nomor 3 itu pun menoleh dan menjawab singkat, “Gue balik sendiri pake bus. Biasanya juga gitu kok, kayak gak tau aja, lo.”

“Langsung balik lo malem ini? Malem minggu nih, man.” ujar Asta pada Ari yang kini tengah mengencangkan tali sepatu yang sedang dikenakannya.

Sorry, man. Gue bukannya gak mau hang out bareng kalian malem ini. Tapi besok gue harus bangun pagi-pagi. Ada tes seleksi beasiswa kuliah buat atlet. Jam tujuh gue dah harus ada di Gedung Sate, man. Lo pada tau kan gue kalo tidur bangunnya sesusah apa?” jelas Ari.

Yudi segera berkomentar setelah mendengar kabar itu, “Kuliah? Wah, iya ya. Kita sekarang dah kelas tiga. Hampir lupa gue. Gak berasa ya, bro. Bentar lagi kita gak bisa tanding bareng di satu tim lagi, deh.”

“Kenapa jadi melankolis gini yak? Tapi iya, sob. Gue bakal kangen banget saat-saat kita panas-panasan di lapangan buat ngebela nama sekolah kita. Apalagi sama lo, Ri.” sambung Tomi.

“Hah? Kok gue?” Ari heran.

“Iya, Ri. Biarpun belom ada satu game resmi pun yang kita semua lewatin bareng lo, tapi lo tuh idola kita semua, Ri.” lanjut Lian. 

Yudi pun bersemangat menambahkan, “Lo tu bintangnya lapangan, man. Permainan lo emang yang paling keren di antara anak-anak laen di tim cewek.”

“Dan lo, Ri. Lo gak pernah segan sama kita semua. Walaupun kita anaknya dekil-dekil dan bau kayak gini, lo tetep enjoy aja gaul sama kita. Itu yang kita suka dari elo, man.” ujar Asta sambil merangkul pundak Ari.

“Minta kenang-kenangan dong, Ri. Gue kan fans berat lo. Minta seragam basket lo dong. Tar gue kasih punya gue juga deh.” bujuk Yudi.

“Gue juga, Ri. Gue juga.” yang lainnya ikut sahut-menyahut.

Melihat kelakukan aneh sahabat-sahabat karibnya itu, Ari pun berkomentar, “Apa sih kalian? Gak usah lebay gitu deh. Lagian gue seneng kok, jadi temen kalian. Kalian tu selalu baik dan percaya sama gue. Thank you ya, guys.”

 “Jadi, kenang-kenangan seragam lo, mana Ri?” tagih Tomi.

“Siniin dulu seragam kalian!” ujar Ari sambil mengulurkan tangan.

Seketika itu pula gundukan seragam basket yang kotor dan bau, jatuh di pelukan Ari. Obrolan petang itu pun berakhir dengan gurau yang menyeruak antara Ari dan keempat sobat laki-lakinya itu. Menyiratkan betapa tipisnya jarak persahabatan antara anak-anak muda belia ini. Begitu kental, hingga tak tampak batas sedikit pun.
***
(to be continued...)

No comments:

Post a Comment