Aku kembali.
Kali ini aku terinspirasi oleh sebuah buku yang sedang kubaca, berjudul 'I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TTEOKPOKKI'. Buku ini ditulis oleh seorang pasien penderita distima asal Korea Selatan yang mendokumentasikan catatan terapi dalam sesi konsultasi rutin dengan psikiaternya.
Distimia merupakan penyakit psikis berupa depresi berkepanjangan disertai gangguan kecemasan. Dalam bukunya, pasien bernama Baek Se Hee tersebut berkonsultasi tentang hal-hal yang mengganggunya dengan tujuan mencari solusi dan menyembuhkan penyakitnya tersebut.
Banyak hal yang diungkapkan oleh Baek Se Hee yang cukup banyak dirasakan oleh orang-orang sekarang ini. Itulah yang menjadi salah satu faktor keberhasilan buku berjudul 'AKU INGIN MATI TAPI AKU INGIN MAKAN TTEOKPOKKI' tersebut sehingga menjadi best seller di Korea Selatan.
Di sini aku tidak bermaksud membahas apa saja yang diungkapkan oleh Baek Se Hee dalam bukunya. Tapi aku hadir di sini untuk diriku sendiri. Seperti Baek Se Hee yang ingin mengurangi beban yang dirasakannya dengan mengungkap perasaannya, aku ingin mencoba melakukannya. Aku ingin bercerita dengan jujur, setidaknya kepada diriku sendiri.
Selama ini aku tak pernah berani mengungkapkannya kepada siapapun. Tidak ada seorangpun yang tepat menurutku, untuk berdialog tentang hal-hal ini. Seorang temanku pernah berkata, "Bahkan orang terdekat dengan kita pun pasti punya rahasia," Kurasa aku pun begitu. Bahkan pada orang-orang terdekat pun ada yang tidak berani kuungkapkan.
Tapi sebenernya, aku harap tidak ada orang-orang yang mengenalku yang akan membaca tulisan ini. Atau jika ada orang yang mengenalku dan tidak sengaja menemukan tulisan ini, kuharap dia berhenti sampai di sini dan tidak melanjutkan ke paragraf berikutnya. Kenapa? Apakah ini berarti aku masih belum bisa berkata jujur di hadapan orang-orang yang mengenalku? Hmm.. Mungkin beberapa orang memang seperti itu menyangkut beberapa hal tertentu dalam hidup mereka. Atau mungkin hanya aku saja yang seperti itu? Entahlah.
Di sini aku hanya butuh ruang. Aku tidak bermaksud apapun dengan melakukan hal ini. Aku hanya butuh melepaskan. Hal-hal yang selama ini hanya hati dan pikiranku yang mengetahuinya.
Seperti Baek Se Hee, aku juga seseorang berusia dewasa, yang menjalani kehidupan biasa pilihanku sendiri. Aku yakin menentukan pilihan hidup kita sendiri bukanlah hal yang salah. Semua orang masih punya peluang untuk bahagia dengan cara masing-masing. Seperti makna lirik salah satu lagu milik BTS berjudul 'Lights' yang berbunyi, "Tentukan untuk dirimu sendiri, apa artinya bahagia".
Aku setuju. Aku ingin mempercayainya. Jalan hidup kita tidak harus sama. Meskipun dulu kita belajar di sekolah dan kampus sama, meskipun kita dibesarkan di lingkungan yang sama, masa depan kita tidak harus sama. Kita berhak memilih masa depan untuk diri kita sendiri. Sesuai dengan peluang dan preferensi kita masing-masing. Kita bisa mencari kebahagiaan yang paling sesuai untuk diri kita. Apapun itu, meskipun berbeda, walaupun hal kecil saja, pasti ada kebahagiaan tersendiri yang bisa kita nikmati.
Pikiranku yang menyetujui hal itu agaknya tidak dibarengi oleh keteguhan hatiku. Sekuat apapun pendirianku untuk senantiasa bersikap optimis, tetap saja alam bawah sadar terkadang bertindak seenaknya. Meskipun aku terus meyakinkan diriku untuk tidak perlu membandingkan hidupku dengan hidup orang lain, perasaan yang mengganggu kerap datang sewaktu-waktu. Rasa iri(?) dan rendah diri. Mengganggu sekali. Aku benci diriku sendiri yang merasakan hal-hal itu. Seharusnya aku tidak perlu merasakannya. Pikiranku tidak pernah memerintahkan hatiku untuk merasa iri atau rendah diri. Tapi gangguan-gangguan itu tetap saja datang meski tidak diminta.
Pernah suatu kali aku membuka akun Instagram pribadiku. Aku memang punya beberapa akun Instagram untuk beberapa tujuan yang berbeda. Tapi aku sudah sangat jarang membuka akun Instagram pribadiku. Sesekali aku berkunjung ke sana. Semua akun yang kuikuti ialah teman-teman yang kukenal sejak SD sampai teman-teman di kantorku dulu. Sebagian besar dari mereka sangat aktif di Instagram, tidak sepertiku. Mereka banyak berbagi serba-serbi menarik kehidupan mereka di Instagram. Hampir semua memperlihatkan hidup mereka yang kini sudah luar biasa suksesnya. Mereka yang dulu mungkin memulai dari titik yang sama denganku, sekarang sudah melesat jauh. Salut dan bangga pasti. Sebagai teman, pertama kali yang terlintas di pikiranku pasti lah rasa salut dan bangga. Kata "Wah!" sering terucap secara otomatis saat aku menelusuri feed Instagram.
Tapi setelahnya, tidak bisa kupungkiri bahwa aku mendadak merasa kecil. Kecil sekali. Seketika terlintas pikiranku, "How to make my life more live?" Pertanyaan yang sulit untuk kujawab sendiri. Aku telah memilih jalan hidup yang berbeda dengan teman-temanku. Aku tidak memilih mendayung di lautan yang sama dengan mereka. Namun mengapa sepertinya tetap saja pulau yang mereka tuju terlihat lebih indah daripada pulau tujuanku? Hidupku jadi seperti tidak ada apa-apanya. Tiba-tiba aku merasa gagal.
Aku ingin tidak peduli terhadap perasaan-perasaan itu. Ini hidupku, bukan hidup mereka. "Kenapa aku harus berkecil hati?" "Kenapa aku harus peduli?" Tapi pikiran alam bawah sadarku enggan menuruti akal sehatku. Sangat mengganggu. Aku merasa seperti dikhianati oleh diriku sendiri. Aku tidak seharusnya seperti ini. Ini tidak sesuai dengan semangat hidupku. Ini bukan aku yang kuinginkan. "Hidupku dan hidup mereka benar-benar berbeda." "Tapi memang aku tidak memilih hidup yang sama seperti mereka, bukan?" "Ada apa dengan diriku ini?" "Apa aku menyesal?" "Tapi aku tidak boleh menyesali hidup yang kupilih sendiri."
Sangat mengganggu. Cukup mengganggu hingga sukses membuat suasana hatiku memburuk seketika. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa aku enggan membuka akun Instagram pribadiku. Meskipun suka, konsekuensi setelah membukanya membuatku berpikir berulang kali. Padahal aku kira aku sanggup menghadapinya. Tapi tampaknya diriku tidak setangguh yang kubayangkan. Atau mungkin, aku tidak lagi setangguh diriku yang dulu?
Yang pasti, hal ini membuatku menyadari satu hal. Bahwa inferioritas atau yang sering disebut sebagai inferiority complex itu memang ada dan bisa dirasakan oleh siapa saja. Tentu saja inferiority complex dapat berupa berbagai macam hal dan bervariasi bagi setiap orang. Mungkin bagi sebagian orang hal ini merupakan hal yang sepele dan tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Namun bagi sebagian orang lainnya, hal tersebut bisa jadi begitu menyiksa dan bahkan sampai mengganggu kehidupan sehari-hari. Tentu masalah tersebut tidak bisa dianggap remeh dan perlu diatasi dengan baik.
Kuharap aku juga bisa mengatasinya. Atau setidaknya aku bisa belajar bersikap lebih jujur pada diriku sendiri tentang apa yang aku rasakan dan pikirkan. Agar aku bisa melihat diriku sendiri dengan lebih transparan, serta menerima kondisiku apa adanya. Sehingga tidak ada yang perlu kusesali dan kutakutkan lagi dari hidup yang kupilih sendiri. Kuharap aku bisa melakukannya dengan baik.
Ini kali pertama aku mengungkapkan apa yang selama ini kusimpan sendiri. Mungkin lebih baik bagiku jika aku mempunyai orang yang bisa mendengarkan ini semua saat aku menceritakannya secara langsung. Kuharap suatu hari nanti aku bisa menemukan orang yang tepat untuk mendengarkanku lebih baik. (파니)
No comments:
Post a Comment