Saturday, 25 May 2013

Harga Pendidikan Nasional

Pendidikan di Indonesia selalu menarik untuk diperbincangkan. Mulai dari berbagai hal yang berkaitan dengan penetapan sistem yang dibangun oleh penentu kebijakan, hingga tataran pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan itu sendiri.

Pendidikan merupakan hak setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pada pasal 31 ayat (1). Kemudian masih dari pasal undang-undang yang sama, ayat (3) menegaskan bahwa pemerintah memegang tanggung jawab untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dari landasan undang-undang tersebut, telah dapat diketahui dengan jelas siapa yang berhak serta bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dalam pasal tersebut dapat kita temukan pula pernyataan bahwa yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk diusahakan dan diselenggarakan ialah satu sistem pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Lalu, bagaimana dengan sistem pendidikan nasional sekarang ini?

Dapat diamati dari masa ke masa bahwa sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia kerap mengalami penggantian. Penggantian sistem ini tidak hanya dilakukan dalam hal yang berkaitan dengan kurikulum pendidikan atau regulasi-regulasi mendasar seperti masalah tenaga pengajar. Namun juga sampai ke berbagai sistem yang bersentuhan langsung dengan konsumen pendidikan, seperti sistem pembiayaan. Pembiayaan sendiri menjadi salah satu hal yang paling sensitif bagi pendidikan di Indonesia. Sebab, meskipun Indonesia telah menganggarkan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penyelenggaraan pendidikan-yang merupakan porsi terbesar dibanding persentase anggaran untuk bidang-bidang lainnya, namun kemerdekaan pendidikan seperti yang sudah dicapai di sejumlah negara maju masih belum bisa diraih oleh bangsa Indonesia. Untuk itu warga negara Indonesia masih harus mengupayakan pembiayaan pendidikannya sendiri.

Gonta-ganti sistem dalam pendidikan di Indonesia, di satu sisi merupakan suatu langkah evaluasi dan perbaikan yang diambil oleh para penentu kebijakan. Tentunya terdapat harapan akan tercapainya hasil yang lebih baik dari sistem pendidikan yang diganti tersebut. Namun di sisi lain, sistem pendidikan yang sering berganti ini tentunya memunculkan ketidaknyamanan bagi para konsumen pendidikan di Indonesia. Sebagaimana kerap ditemukan kekurangan di beberapa bagian tertentu dari sistem pendidikan yang baru diterapkan. Hal ini sering dibuktikan dengan masih munculnya sejumlah protes dari beberapa pihak mengenai sistem-sistem baru yang akan menggantikan sistem yang lama.

Mengambil contoh spesifik yakni mengenai penerapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagai sistem pembiayaan yang baru di Universitas Gadjah Mada. Telah diketahui pula bahwa baru-baru ini hal tersebut menjadi topik yang hangat di kalangan civitas akademika Universitas Gadjah Mada. Sebenarnya UKT bukan merupakan sistem pembiayaan baru di ranah pendidikan tinggi Indonesia. Sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia telah lebih dulu menerapkan sistem serupa.

Di UGM sendiri sistem UKT diterapkan untuk menggantikan sistem pembiayaan dengan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang dibayarkan sekali di awal kuliah, dan dengan otomatis menghapus Biaya Operasional Pendidikan (BOP) per Satuan Kredit Semester (SKS) yang semula dibayarkan setiap semesternya. UKT sendiri ialah biaya kuliah per satuan pendidikan dalam jumlah tetap yang wajib dibayarkan setiap semesternya oleh mahasiswa UGM S1 Reguler mulai tahun akademik 2013/2014. Besarnya biaya kuliah per semester yang nantinya harus ditanggung oleh mahasiswa akan ditentukan oleh jurusan masing-masing.

Di awal pengenalannya kepada publik UGM, sistem UKT mendapat sejumlah kritik dari beberapa pihak. Sejumlah kritik tersebut dilayangkan atas dasar kekhawatiran sejumlah pihak yang telah melakukan analisis awal terhadap sistem pembiayaan yang baru akan diterapkan di UGM tersebut. Kekhawatiran ini di antaranya berkaitan dengan beban biaya yang nantinya akan dirasakan oleh mahasiswa ketika harus membayar biaya kuliah dalam jumlah yang sama berapapun SKS yang diambil tiap semester. Apalagi publik belum mengetahui secara pasti perihal bagaimana cara penetapan besarnya biaya yang harus dibayarkan oleh setiap mahasiswa per semesternya. Hal ini menyebabkan timbulnya spekulasi akan tidak sesuainya besaran uang kuliah yang dibebankan nantinya dengan kemampuan membayar tiap mahasiswa.  

Agaknya perlu segera diambil tindakan-tindakan yang kemudian bisa menjadi solusi bersama atas polemik di UGM tersebut. Tentunya solusi tersebut harus didukung oleh semua pihak, mulai dari pemerintah kampus sampai mahasiswanya sendiri. Beberapa hal yang bisa diupayakan di antaranya ialah perancangan sistem teknis penetapan nominal uang kuliah tunggal secara komprehensif oleh pihak pemerintah kampus dengan memperhatikan berbagai aspek sistemik, yang dalam pelaksanaannya dikawal secara cermat oleh mahasiswa. Hal ini demi mencapai penerapan UKT yang adil dan tidak menimbulkan beban berlebih baik bagi pihak kampus maupun mahasiswanya sendiri. Dalam tataran teknis, solusi tersebut bisa dikaitkan dengan proses penyaringan kemampuan membayar mahasiswa yang dilaksanakan secara bijaksana dan seadil-adilnya.

Solusi lain terletak pada fasilitasi dari berbagai pihak, baik pemerintah kampus maupun lembaga mahasiswa, terkait kemungkinan dibutuhkannya pengajuan keringanan pembayaran uang kuliah. Proses dan birokrasi yang tepat serta tidak berbelit menjadi kunci agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Begitupun dengan pengelolaan uang kuliah tunggal yang perlu diawasi transparansinya. Hal ini tentunya agar uang yang telah dibayarkan mahasiswa memang sepenuhnya dimanfaatkan untuk mencapai kualitas pendidikan yang lebih baik serta mampu mendukung kesejahteraan civitas akademika Universitas Gadjah Mada.

Itulah gambaran pendidikan Indonesia yang begitu dinamis, dalam rangka berproses menuju standar mutu yang lebih baik dari waktu ke waktu. Tidak ada proses yang instan dan tanpa hambatan. Tujuan yang diharapkan pun akan bisa tercapai pada suatu saat, asalkan diiringi dengan upaya terbaik untuk meraihnya. Begitupun dengan cita-cita pendidikan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemerdekaan menuntut ilmu bukan mustahil akan terwujud nantinya, dengan diawali perbaikan secara konsisten dan berkelanjutan. Maka, sudah sepatutnya setiap elemen bangsa Indonesia mencurahkan perhatian dan kepeduliannya pada proses perbaikan pendidikan Indonesia. Karena sejatinya itulah harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan pendidikan. (fannie)

No comments:

Post a Comment