Thursday, 23 May 2013

Toga di atas Pusara



“Tidak!” pekiknya ketika terbangun dari tidur yang tampaknya tidak menyenangkan itu. Astaghfirullah… astaghfirullah… Seketika bibirnya menggumamkan doa-doa kecil. Menyebut nama-Nya Yang Maha Memiliki. Napas yang terburu keluar-masuk rongga pernapasannya. Keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya. Tanpa pikir panjang, ia pun segera beranjak menuju dapur. Rupanya tidur yang kacau itu membuat kerongkongannya kini meranggas.
Susah payah ia berdiri dan mengatur langkahnya yang terburu menuju dapur. Diambilnya gelas kosong yang tertelungkup di meja makan, dan segera mengisinya dengan air bening dari teko di sampingnya. Gluk… gluk… Terdengar suara air terjun di dalam kerongkongannya. Menghujam turun dengan derasnya, mengurai dahaga yang sudah menggumpal.
Mimpi itu lagi! Kenapa? Kenapa aku belum juga bisa melupakannya? Semua ini memang salahku. Salahku! rutuknya dalam batin. Air mata kini tak lagi bisa dibendungnya di pelupuk mata. Jatuh sudah buliran bening yang berpadu dengan isakan yang terdengar begitu sesak. Firman yang kini jatuh terduduk di kursi makan itu, lagi-lagi tak bisa memungkiri rasa bersalah yang selalu menghantuinya. Ia belum bisa membunuh perasaan itu. Meski seberapa keras pun ia berusaha menghapusnya.
Kejadian 2 tahun yang lalu itu tak pernah bisa terhapus dari ingatannya. Kejadian yang begitu memukulnya, serta menyadarkannya akan satu hal yang dulu sempat diabaikannya. Firman masih tenggelam dalam isakannya. Tertunduk dalam menyesali semua kejadian itu. Kedua tangannya tampak mencengkeram pelipis sebelah kanan dan kirinya. Ia tenggelam dalam linangan air mata penyesalan itu.
Terdengar suara ketukan tongkat mengadu lantai keramik. Perlahan namun pasti. Terdengar makin mendekat ke ruangan di mana Firman berada. Firman tahu pasti siapa gerangan yang datang. Ia pun segera menghentikan tangisnya meski dengan susah payah. Diusapnya jejak lelehan air mata di kanan-kiri pipinya. Begitu keras ia berusaha menyembunyikan semua kegelisahannya.
“Bang Firman? Kenapa bangun lebih pagi? Belum juga adzan subuh, Bang.” sahut Firsha yang akhirnya berhasil menjangkau ruang makan dengan kruk di tangan kanan dan kirinya.
“Eh, tadi abang haus, jadi datang ke sini untuk mengambil segelas air. Kau terbangun karena abang ribut, ya?” balas Firman dengan senyum yang masih dipaksakannya.
“Tidak. Firsha ingin sholat malam, Bang. Ingin mendoakan Bapak dan Ibu. Abang mau ikut?” ujar Firsha yang telah tampak membelokkan kruknya ke arah kamar mandi.
“Eh, iya, nanti abang menyusul, ya. Firsha dulu saja. Mau abang bantu ambil wudhunya?” tawar Firman.
“Ah, tidak perlu, Bang. Alhamdulillah, Firsha sudah mahir pakai kruk ini.” timpal Firsha dengan senyuman di wajahnya yang belia. Gadis itu pun melangkah tertatih dengan kruknya menuju kamar mandi.
Firman yang tadi sempat bangkit ketika menawarkan bantuan pada Firsha, seketika terhenti mendengar jawaban adiknya itu. Firsha, gadis belia yang 2 tahun lalu masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Adiknya semata wayang, yang kini harus bergantung pada sepasang kruk penyangga untuk dapat berjalan. Sungguh tak tega ia menyaksikan Firsha yang tampak terlihat bersusah payah menggunakan kruk itu untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Adiknya yang seharusnya kini sudah bisa masuk perguruan tinggi dengan segala bakat yang ia miliki. Namun keinginan itu masih harus tertunda entah sampai kapan batas waktunya.
>> <<
Firman kembali teringat pada kejadian 2 tahun lalu. Kejadian yang bagaikan pil pahit yang terpaksa ditelannya waktu itu. Sebuah kenyataan yang mesti menamparnya berkali-kali, bahkan hingga kini. Sebuah penyesalan yang masih sangat sulit ia hindari. Ketika itu, ia belum terpikirkan satu hal itu. Satu hal yang membuatnya bersumpah untuk tak mengulangi kesalahan itu. Ya, kesalahan yang telah begitu terlambat diakuinya.
Ah, aku masih ingin menikmati masa-masa ini. Untuk apa terburu-buru melepas status sebagai mahasiswa? Toh, setelah lulus nanti belum tentu aku tahu ke mana aku akan pergi. Lebih baik di kampus saja dulu. Begitulah yang terlintas di pikirannya semasa kuliah dulu. Sesuatu yang tadinya hanya dianggap sebagai suatu hal yang perlu dipermasalahkan. Namun, ternyata hal itulah yang kini menghantui hari-hari Firman.
Firman yang masih mahasiswa, hidup terpisah dari keluarganya. Ayah, ibu, serta adik perempuannya, menetap di Pangkal Pinang, sementara Firman belajar di sebuah perguruan tinggi negeri di Sumatera Utara. “Bagaimana dengan penelitianmu, Man?” tanya Anto, sahabat karibnya semasa kuliah dulu.
“Penelitian?” Firman justru balik bertanya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Kau ini bagaimana? Kita kan sudah semester delapan. Masuk tingkat akhir, Man. Sudah saatnya kita mempersiapkan kelulusan.” timpal Anto.
“Kau sendiri bagaimana, To?” Firman masih tampak enggan menjawab pertanyaan Anto.
“Aku sudah beberapa kali berkonsultasi dengan dosen pembimbing perihal penelitianku. Ya, memang masih tahap perencanaan. Tapi ini termasuk satu langkah ke depan, Kawan.” ujar Anto bangga.
“Kau ini memang rajin sejak dulu, To. Wajar saja kalau kau sudah melaju satu langkah di depanku.” Imbuh Firman.
“Ah, bukan masalah itu, Man. Yang terpenting itu niat dari dalam diri kita. Kita tidak akan bisa lulus dengan sendirinya jika kita tidak mengupayakannya. Memangnya kau mau seumur hidup terperangkap di kampus ini? Menjadi mahasiswa abadi?” terang Anto.
“Iya, iya. Tenang saja, To. Nanti penelitianku juga akan kukerjakan, hanya saja kecepatan kita tidak perlu sama, kan? Kita urus saja penelitian masing-masing,” timpal Firman.
“Baiklah, kalau begitu kita berlomba, Man. Siapa yang akan lulus lebih dulu. Jangan sampai kita terhenti di tengah jalan, Kawan.” ujar Anto yang telah mengulurkan tangan kanannya ke arah Firman.
“Baiklah,” sahut Firman masih setengah malas. Mereka berdua pun saling berjabat tangan.
Dengan mudahnya kompetisi itu berakhir 6 bulan kemudian. Hari itu Firman mengenakan kemeja terbaiknya berdiri rapi di samping Anto yang telah berkostum serba hitam dengan topi segilima khas pelepasan wisuda. Mereka tengah berpose bersama di antara kerumunan wisudawan universitas ternama itu.
“Selamat sekali lagi, To. Tak kusangka kau melaju secepat ini,” ujar Firman yang tampak memeluk Anto usai berfoto.
“Segeralah kau menyusul, Man. Aku tunggu undangan wisudamu, ya.” kata Anto yang masih dalam rangkulan Firman.
Hari itu Firman menyaksikan 1 lagi temannya sesama mahasiswa secara resmi membawa pulang gelar sarjana. Satu per satu mereka meninggalkan Firman yang masih berkutat dengan penelitiannya. Entahlah, Firman justru tampak tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Nanti juga akan tiba saatnya aku wisuda. Tak perlu terburu-buru. Begitu pikirnya waktu itu. Ketika Anto belum wisuda dulu, mereka sempat terlibat perbincangan serius menyangkut hal yang satu itu.
“Apa rencanamu selepas lulus nanti, Man?” tanya Anto suatu hari di kantin kampus.
“Selepas lulus? Apa kita tidak terlalu jauh memikirkan hal itu, To? Penelitianmu kan, masih seumur jagung. Sedangkan penelitianku, topiknya saja belum kutemukan.” timpal Firman yang tengah asyik dengan semangkuk baksonya.
 “Kau ini bagaimana, Man? Hal itu penting sekali bagi mahasiswa tingkat akhir seperti kita. Menentukan langkah selanjutnya setelah lulus sama saja dengan merancang masa depan kita nanti. Memangnya kau mau kalau masa depanmu sama tidak jelasnya dengan topik penelitianmu yang belum kau temukan itu?” pungkas Anto sambil menunjuk-nunjuk Firman dengan batang sate santapannya.
“Entahlah, To. Aku belum terpikirkan sama sekali tentang hal itu. Bagiku cukup biarkan semua berjalan dengan sendirinya. Tak perlu memaksakan diri. Hidup itu sudah ada yang mengatur, kan?” jawab Firman sedikit asal.
 “Firman, Firman, kau ini. Memikirkan diri sendiri saja tidak, bagaimana mau memikirkan orang lain?” timpal Anto dengan nada ringan sambil sedikit menggelengkan kepalanya.
Mendengar jawaban itu, kunyahan bihun Firman terhenti. Kini ia mengalihkan perhatiannya pada Anto yang tengah menikmati suapan-suapan terakhir santap siangnya. “Orang lain? Memikirkan diri sendiri saja aku belum becus, To. Bagaimana mau memikirkan orang lain?”
Seketika Anto terkejut mendengar ucapan Firman dengan nada yang terdengar agak lebih tinggi itu. “Wah, tenang, Man. Tak perlu terlalu serius seperti itu. Ini kan hanya sekedar obrolan makan siang. Hmm… Maksudku ya, orang lain. Keluargamu misalnya. Tentu kau masih punya keluarga, bukan? Apa kau ingin terus tinggal di kota ini sebagai mahasiswa? Lalu bagaimana dengan keluargamu di Pangkal Pinang sana, Kawan? Aku saja sudah diminta ayahku untuk segera pulang membantu menjalankan bisnis baja milik ayahku di Blora sana.”
Seketika itu pula, Firman tertunduk. Menatap kosong mangkuk baksonya yang kini hanya tinggal berisi tauge dan kuahnya saja. Menelan bulat-bulat sisa bihun yang belum terkunyah sempurna di dalam mulutnya. Keluarga? Bapak? Ibu? Firsha? Di benaknya melintas satu per satu wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang sudah lama ditinggalkannya nun jauh di kampung halaman sana.
Firman teringat pada ayahnya. Sosok lelaki tambun yang telah menggantungkan harapan yang sangat besar pada putera pertamanya itu. Firman tak mungkin lupa dengan kebiasaan yang lebih sering ayahnya lakukan belakangan ini. Sejak Firman mulai menginjak tahun ke-4 kuliahnya. Ayah Firman tanpa bosan mengirim pesan singkat pada puteranya. Biasanya terdapat pertanyaan mengenai kabar Firman dalam pesan itu, namun selanjutnya pertanyaan yang muncul tak jauh dari hal yang satu itu: SKRIPSI.
Selama ini Firman hanya menjawab seadanya. Lebih sering dengan balasan, Masih proses, Pak. Malas menjelaskan panjang lebar mengenai penelitiannya. Toh, belum ada perkembangan yang signifikan pula dari penelitiannya itu.
Ibunya pun tak jauh berbeda. Hanya saja, tak seperti ayah Firman, ibu firman lebih sering menghubungi Firman melalui telepon. “Bagaimana kabarmu, Firman? Kapan kau diwisuda? Ibu sudah tidak sabar ingin datang ke wisudamu, Man.” Hanya seputar itulah kalimat yang diucapkan ibu Firman dalam setiap panggilan telepon darinya. Lagi-lagi, Firman hanya menjawab sekenanya. Selalu saja ucapan bernada menenangkan yang keluar dari lisannya. “Ibu tenang saja, nanti Firman pasti kabari kalau sudah waktunya Bapak dan Ibu datang ke wisuda Firman.” Begitu saja jawabannya. Hanya terkadang berganti redaksi atau urutannya saja. Menjanjikan kabar bahagia itu dengan harapan ibunya tak lagi menghubunginya untuk menanyakan hal yang sama. Ya, janji yang hanya sekedar janji. Karena Firman tak terlalu mengambil pusing soal hal itu.
>> <<
Berbulan berlalu. Kabar baik yang dijanjikan Firman tak kunjung dapat ia sampaikan. Bahkan kini ia telah menjadi kalangan minoritas mahasiswa seangkatannya yang masih belum berhasil meluluskan diri. Hal ini terjadi bukan karena keberuntungan yang belum sudi membersamai Firman. Namun, lebih karena Firman yang masih berpikir tak ingin terburu-buru. Firman yang masih ingin membiarkan semuanya berjalan dengan sendirinya. Ditambah lagi perkembangan penelitiannya yang ternyata menghadapi sejumlah rintangan. Revisi berkali-kali, data yang begitu sulit diambil, dan berbagai rintangan lainnya. Semuanya bagai datang silih berganti memperlambat perkembangan penelitian Firman.
Pesan singkat serta panggilan dari orang tuanya melalui telepon seluler pun sudah tak terhitung jumlahnya hingga kini. Bahkan beberapa pesan maupun panggilan sempat tak dijawab dengan sengaja oleh Firman. Bapak ini, SMS terus! Tak tahukah kalau penelitian itu tak semudah yang ia kira? Ibu juga! Tak bosan-bosannya menelepon! Aku bosan menjawab pertanyaan Ibu yang itu-itu saja! Begitu protesnya dalam batin.
Sampai suatu hari, Firman mendapatkan sebuah pesan singkat dari ayahnya yang kini isinya berbeda dari pesan-pesan sebelumnya. Firman, akhir pekan ini Bapak, Ibu, dan Firsha mau menengok kau di Medan. Kami akan naik penerbangan terakhir hari Jumat ke Medan. Kamu tolong jemput kami di bandara, ya. Jangan telat.
Pesan singkat kali itu makin malas dibalas oleh Firman. Meskipun kabar itu cukup mengejutkannya. Sebelumnya, keluarganya belum pernah mengunjunginya seperti ini. Mungkin ini karena SMS dan telepon dari Bapak-Ibu yang tak kubalas sebulan terakhir. Pasti mereka semua ingin menagih janjiku langsung di sini. Macam PNS saja, disidak[1] segala! Firman menyeret langkahnya menuju tempat tidur setelah membaca pesan singkat itu. Sama sekali tak ingin menanggapinya.
Jumat petang itu Firman tengah bersiap-siap menuju bandara. Sesiangan tadi ia bekerja keras merapikan kamarnya demi menyambut kedatangan keluarganya. Wajah Firman masih tampak kusut pasca pertemuan dengan dosen pembimbingnya pagi tadi. Masih tak ada perkembangan yang signifikan dari penelitiannya hingga saat ini.
 Jam sembilan. gumamnya ketika diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Segera ia mempercepat langkah mengambil kunci sepeda motor yang tergeletak di atas meja. Pergerakan tangan Firman kemudian terhenti seketika setelah televisi yang baru saja hendak ia matikan menyela acara komedi yang sejak tadi disaksikannya dengan berita cepat.
“Pesawat Mandiri Air Lines dengan nomor penerbangan AK-5700 mengalami gagal landas di landasan pacu Bandar Udara Depati Amir, Pangkal Pinang. Badan pesawat sempat terangkat selama 10 menit di landasan pacu, namun kemudian pilot Aiman sempat melaporkan adanya kegagalan sistem navigasi, sehingga pilot memutuskan untuk mendarat kembali. Namun saat mendarat kembali, roda depan pesawat mengalami kemacetan dan tidak dapat dikeluarkan kembali. Sehingga pesawat mendarat dengan badan pesawat yang menyebabkan gesekan serta percikan api dan memicu ledakan dari tangki bahan bakar pesawat. Tim penyelamat masih berupaya mencari korban yang selamat. Dikabarkan terdapat sepuluh dari total seratus dua puluh tujuh penumpang di dalam pesawat yang telah dinyatakan tewas dalam kecelakaan ini. Demikian laporan kami langsung dari Bandar Udara Depati Amir, Pangkal Pinang.”
>> <<
                “Hati-hati, ini agak licin tanahnya,” ujar Firman membantu adiknya berjalan di tanah itu. Baru saja mereka melewati pintu gerbang memasuki komplek lahan bertanah itu. Pintu gerbang bertuliskan nama TPU Karang Melati. Di sini, hari ini Firman dan Firsha akan menemui kedua orang tua mereka yang telah terbaring untuk selamanya.
                Pasca disiarkannya berita kecelakaan pesawat itu 2 tahun lalu, Firman bergegas menuju Pangkal Pinang. Esoknya, barulah ia sampai di rumah sakit yang menangani para korban. Firman masih belum tahu bagaimana kondisi keluarganya saat itu. Telepon genggam mereka yang tidak dapat dihubungi memastikan kekhawatirannya. Setelah mencari beberapa waktu, akhirnya Firman menemukannya. Meski hanya salah satu di antara mereka.
                Di bangsal itu, salah satu di antara pasien di ruangan itu adalah Firsha. Betapa pedih hatinya menyaksikan kondisi adiknya saat itu. Luka bakar di beberapa bagian tubuhnya, serta perban tebal di kaki kirinya. Firman melangkah gontai menghampiri Firsha yang terbaring seorang diri.
                “Firsha, maafkan abang,” air matanya pun buncah saat itu juga.
                Firsha yang menyadari kehadiran kakaknya, kembali menangis meski dengan sisa-sisa tenaganya. “A… abang… Bapak… Ibu…” ucapnya lirih berusaha mengabarkan sesuatu.
                Firman tahu apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Meski Firsha tak pernah menyelesaikan kata-katanya. Sebab Firman tak menemukan mereka berdua di manapun. Termasuk di ruangan ini. Inilah pil pahit yang terpaksa ditelan oleh Firman, sebagai harga dari sebuah kesadaran. Maafkan abang, Firsha. Maafkan abang! Suara itu terus mengalun dalam batinnya bersama lelehan tangis.
                Firman tertunduk di samping pusara itu. Firsha yang mesti bergantung pada kruk itu terpaksa berdiri saja di sebelahnya. Kaki kiri Firsha remuk akibat terhimpit saat kecelakaan itu terjadi. Dokter pun tak memiliki pilihan lebih baik selain mengamputasi kaki kirinya. Begitulah keadaan yang membuat Firsha tak bisa terlepas dari sepasang kruk itu.
                Seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, Firman tetap terlarut dalam doa yang dalam. Doa untuk mereka yang telah terbaring di sana. Mereka yang langkahnya harus terhenti dalam perjalanan untuk menjenguk putera satu-satunya. Mereka yang dulu selalu menunggu kapan kabar bahagia itu akan disampaikan.
                Inilah penyesalan terbesar Firman. Ia terlambat. Sungguh terlambat. Berbulan bahkan bertahun lamanya kedua orang tuanya menunggu, namun ia tak pernah sempat memenuhi janji itu semasa mereka hidup. Satu penyesalan yang tak pernah bisa ia perbaiki. Ia tak akan pernah bisa mewujudkan mimpi kedua orang tuanya untuk tersenyum gembira di upacara wisudanya. Ia yang kini begitu menyesali hal itu.
                Firman kini hanya dapat mengambil alih tanggung jawab kedua orang tuanya. Demi menghidupi Firsha, adik satu-satunya yang juga harus menerima nasib buruk akibat kesalahannya. Adiknya yang sebelum kecelakaan itu terjadi begitu aktif dan berprestasi di sekolah. Adiknya yang mesti mengubur cita-citanya sebagai pramugari.
                “Bapak dan ibu dulu khawatir dengan Abang. Satu bulan Abang tidak memberi kabar pada kami. Mereka takut Abang sakit. Firsha tidak tega kalau mengingat Ibu yang terus bertanya-tanya kapan Abang diwisuda. Ibu dan Bapak sangat menginginkan hal itu, Bang.” kata Firsha suatu hari ketika Firman tampak begitu terpuruk dengan penelitiannya yang belum juga diselesaikan.
                Hari ini pusara itukembali basah. Tidak hanya basah karena air yang disiramkan oleh Firman dan Firsha, namun juga basah karena air mata. Meski ingin, tapi mereka tak bisa berlama-lama. Firman harus segera menuju tempat kerjanya. Ya, pekerjaan yang akhirnya diperolehnya setelah ia berhasil lulus setahun yang lalu.
Meski harus meninggalkan kedua pusara itu dengan enggan, tapi Firman kini yakin dengan langkahnya. Meski penyesalan itu masih sering menghantui malam-malamnya, tapi ia harus mempertanggungjawabkannya. Meski hadiah itu terlambat diserahkan pada kedua orang tuanya, tapi Firman tahu bahwa ayah-ibunya telah bahagia di sisi-Nya.


[1] sidak: inspeksi mendadak

No comments:

Post a Comment