“Tidak!” pekiknya ketika terbangun
dari tidur yang tampaknya tidak menyenangkan itu. Astaghfirullah… astaghfirullah… Seketika bibirnya menggumamkan
doa-doa kecil. Menyebut nama-Nya Yang Maha Memiliki. Napas yang terburu
keluar-masuk rongga pernapasannya. Keringat dingin mengucur deras di sekujur
tubuhnya. Tanpa pikir panjang, ia pun segera beranjak menuju dapur. Rupanya
tidur yang kacau itu membuat kerongkongannya kini meranggas.
Susah payah ia berdiri dan
mengatur langkahnya yang terburu menuju dapur. Diambilnya gelas kosong yang
tertelungkup di meja makan, dan segera mengisinya dengan air bening dari teko
di sampingnya. Gluk… gluk… Terdengar
suara air terjun di dalam kerongkongannya. Menghujam turun dengan derasnya,
mengurai dahaga yang sudah menggumpal.
Mimpi itu lagi! Kenapa? Kenapa aku belum juga bisa melupakannya? Semua
ini memang salahku. Salahku! rutuknya dalam batin. Air mata kini tak lagi
bisa dibendungnya di pelupuk mata. Jatuh sudah buliran bening yang berpadu
dengan isakan yang terdengar begitu sesak. Firman yang kini jatuh terduduk di
kursi makan itu, lagi-lagi tak bisa memungkiri rasa bersalah yang selalu
menghantuinya. Ia belum bisa membunuh perasaan itu. Meski seberapa keras pun ia
berusaha menghapusnya.
Kejadian 2 tahun yang lalu itu tak
pernah bisa terhapus dari ingatannya. Kejadian yang begitu memukulnya, serta
menyadarkannya akan satu hal yang dulu sempat diabaikannya. Firman masih
tenggelam dalam isakannya. Tertunduk dalam menyesali semua kejadian itu. Kedua
tangannya tampak mencengkeram pelipis sebelah kanan dan kirinya. Ia tenggelam
dalam linangan air mata penyesalan itu.
Terdengar suara ketukan tongkat
mengadu lantai keramik. Perlahan namun pasti. Terdengar makin mendekat ke
ruangan di mana Firman berada. Firman tahu pasti siapa gerangan yang datang. Ia
pun segera menghentikan tangisnya meski dengan susah payah. Diusapnya jejak
lelehan air mata di kanan-kiri pipinya. Begitu keras ia berusaha menyembunyikan
semua kegelisahannya.
“Bang Firman? Kenapa bangun lebih
pagi? Belum juga adzan subuh, Bang.” sahut Firsha yang akhirnya berhasil
menjangkau ruang makan dengan kruk di tangan kanan dan kirinya.
“Eh, tadi abang haus, jadi datang
ke sini untuk mengambil segelas air. Kau terbangun karena abang ribut, ya?”
balas Firman dengan senyum yang masih dipaksakannya.
“Tidak. Firsha ingin sholat malam,
Bang. Ingin mendoakan Bapak dan Ibu. Abang mau ikut?” ujar Firsha yang telah
tampak membelokkan kruknya ke arah kamar mandi.
“Eh, iya, nanti abang menyusul,
ya. Firsha dulu saja. Mau abang bantu ambil wudhunya?” tawar Firman.
“Ah, tidak perlu, Bang. Alhamdulillah, Firsha sudah mahir pakai
kruk ini.” timpal Firsha dengan senyuman di wajahnya yang belia. Gadis itu pun
melangkah tertatih dengan kruknya menuju kamar mandi.
Firman yang tadi sempat bangkit ketika
menawarkan bantuan pada Firsha, seketika terhenti mendengar jawaban adiknya
itu. Firsha, gadis belia yang 2 tahun lalu masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Adiknya
semata wayang, yang kini harus bergantung pada sepasang kruk penyangga untuk
dapat berjalan. Sungguh tak tega ia menyaksikan Firsha yang tampak terlihat
bersusah payah menggunakan kruk itu untuk berpindah dari satu tempat ke tempat
lain. Adiknya yang seharusnya kini sudah bisa masuk perguruan tinggi dengan
segala bakat yang ia miliki. Namun keinginan itu masih harus tertunda entah
sampai kapan batas waktunya.
>> <<
Firman kembali teringat pada
kejadian 2 tahun lalu. Kejadian yang bagaikan pil pahit yang terpaksa
ditelannya waktu itu. Sebuah kenyataan yang mesti menamparnya berkali-kali,
bahkan hingga kini. Sebuah penyesalan yang masih sangat sulit ia hindari. Ketika
itu, ia belum terpikirkan satu hal itu. Satu hal yang membuatnya bersumpah
untuk tak mengulangi kesalahan itu. Ya, kesalahan yang telah begitu terlambat
diakuinya.
Ah, aku masih ingin menikmati masa-masa ini. Untuk apa terburu-buru
melepas status sebagai mahasiswa? Toh, setelah
lulus nanti belum tentu aku tahu ke mana aku akan pergi. Lebih baik di kampus
saja dulu. Begitulah yang terlintas di pikirannya semasa kuliah dulu.
Sesuatu yang tadinya hanya dianggap sebagai suatu hal yang perlu
dipermasalahkan. Namun, ternyata hal itulah yang kini menghantui hari-hari
Firman.
Firman yang masih mahasiswa, hidup
terpisah dari keluarganya. Ayah, ibu, serta adik perempuannya, menetap di
Pangkal Pinang, sementara Firman belajar di sebuah perguruan tinggi negeri di
Sumatera Utara. “Bagaimana dengan penelitianmu, Man?” tanya Anto, sahabat
karibnya semasa kuliah dulu.
“Penelitian?” Firman justru balik
bertanya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Kau ini bagaimana? Kita kan sudah semester delapan. Masuk
tingkat akhir, Man. Sudah saatnya kita mempersiapkan kelulusan.” timpal Anto.
“Kau sendiri bagaimana, To?”
Firman masih tampak enggan menjawab pertanyaan Anto.
“Aku sudah beberapa kali
berkonsultasi dengan dosen pembimbing perihal penelitianku. Ya, memang masih
tahap perencanaan. Tapi ini termasuk satu langkah ke depan, Kawan.” ujar Anto
bangga.
“Kau ini memang rajin sejak dulu,
To. Wajar saja kalau kau sudah melaju satu langkah di depanku.” Imbuh Firman.
“Ah, bukan masalah itu, Man. Yang
terpenting itu niat dari dalam diri kita. Kita tidak akan bisa lulus dengan
sendirinya jika kita tidak mengupayakannya. Memangnya kau mau seumur hidup
terperangkap di kampus ini? Menjadi mahasiswa abadi?” terang Anto.
“Iya, iya. Tenang saja, To. Nanti
penelitianku juga akan kukerjakan, hanya saja kecepatan kita tidak perlu sama,
kan? Kita urus saja penelitian masing-masing,” timpal Firman.
“Baiklah, kalau begitu kita
berlomba, Man. Siapa yang akan lulus lebih dulu. Jangan sampai kita terhenti di
tengah jalan, Kawan.” ujar Anto yang telah mengulurkan tangan kanannya ke arah
Firman.
“Baiklah,” sahut Firman masih
setengah malas. Mereka berdua pun saling berjabat tangan.
Dengan mudahnya kompetisi itu
berakhir 6 bulan kemudian. Hari itu Firman mengenakan kemeja terbaiknya berdiri
rapi di samping Anto yang telah berkostum serba hitam dengan topi segilima khas
pelepasan wisuda. Mereka tengah berpose bersama di antara kerumunan wisudawan
universitas ternama itu.
“Selamat sekali lagi, To. Tak
kusangka kau melaju secepat ini,” ujar Firman yang tampak memeluk Anto usai
berfoto.
“Segeralah kau menyusul, Man. Aku
tunggu undangan wisudamu, ya.” kata Anto yang masih dalam rangkulan Firman.
Hari itu Firman menyaksikan 1 lagi
temannya sesama mahasiswa secara resmi membawa pulang gelar sarjana. Satu per
satu mereka meninggalkan Firman yang masih berkutat dengan penelitiannya. Entahlah,
Firman justru tampak tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Nanti juga akan tiba saatnya aku wisuda. Tak perlu terburu-buru. Begitu
pikirnya waktu itu. Ketika Anto belum wisuda dulu, mereka sempat terlibat
perbincangan serius menyangkut hal yang satu itu.
“Apa rencanamu selepas lulus
nanti, Man?” tanya Anto suatu hari di kantin kampus.
“Selepas lulus? Apa kita tidak
terlalu jauh memikirkan hal itu, To? Penelitianmu kan, masih seumur jagung.
Sedangkan penelitianku, topiknya saja belum kutemukan.” timpal Firman yang
tengah asyik dengan semangkuk baksonya.
“Kau ini bagaimana, Man? Hal itu penting
sekali bagi mahasiswa tingkat akhir seperti kita. Menentukan langkah
selanjutnya setelah lulus sama saja dengan merancang masa depan kita nanti. Memangnya
kau mau kalau masa depanmu sama tidak jelasnya dengan topik penelitianmu yang
belum kau temukan itu?” pungkas Anto sambil menunjuk-nunjuk Firman dengan
batang sate santapannya.
“Entahlah, To. Aku belum
terpikirkan sama sekali tentang hal itu. Bagiku cukup biarkan semua berjalan
dengan sendirinya. Tak perlu memaksakan diri. Hidup itu sudah ada yang
mengatur, kan?” jawab Firman sedikit
asal.
“Firman, Firman, kau ini. Memikirkan diri
sendiri saja tidak, bagaimana mau memikirkan orang lain?” timpal Anto dengan
nada ringan sambil sedikit menggelengkan kepalanya.
Mendengar jawaban itu, kunyahan
bihun Firman terhenti. Kini ia mengalihkan perhatiannya pada Anto yang tengah
menikmati suapan-suapan terakhir santap siangnya. “Orang lain? Memikirkan diri
sendiri saja aku belum becus, To. Bagaimana mau memikirkan orang lain?”
Seketika Anto terkejut mendengar
ucapan Firman dengan nada yang terdengar agak lebih tinggi itu. “Wah, tenang,
Man. Tak perlu terlalu serius seperti itu. Ini kan hanya sekedar obrolan makan siang. Hmm… Maksudku ya, orang
lain. Keluargamu misalnya. Tentu kau masih punya keluarga, bukan? Apa kau ingin
terus tinggal di kota ini sebagai mahasiswa? Lalu bagaimana dengan keluargamu
di Pangkal Pinang sana, Kawan? Aku saja sudah diminta ayahku untuk segera
pulang membantu menjalankan bisnis baja milik ayahku di Blora sana.”
Seketika itu pula, Firman
tertunduk. Menatap kosong mangkuk baksonya yang kini hanya tinggal berisi tauge
dan kuahnya saja. Menelan bulat-bulat sisa bihun yang belum terkunyah sempurna
di dalam mulutnya. Keluarga? Bapak? Ibu?
Firsha? Di benaknya melintas satu per satu wajah-wajah itu. Wajah-wajah
yang sudah lama ditinggalkannya nun jauh di kampung halaman sana.
Firman teringat pada ayahnya.
Sosok lelaki tambun yang telah menggantungkan harapan yang sangat besar pada
putera pertamanya itu. Firman tak mungkin lupa dengan kebiasaan yang lebih
sering ayahnya lakukan belakangan ini. Sejak Firman mulai menginjak tahun ke-4
kuliahnya. Ayah Firman tanpa bosan mengirim pesan singkat pada puteranya.
Biasanya terdapat pertanyaan mengenai kabar Firman dalam pesan itu, namun
selanjutnya pertanyaan yang muncul tak jauh dari hal yang satu itu: SKRIPSI.
Selama ini Firman hanya menjawab
seadanya. Lebih sering dengan balasan, Masih
proses, Pak. Malas menjelaskan panjang lebar mengenai penelitiannya. Toh, belum ada perkembangan yang
signifikan pula dari penelitiannya itu.
Ibunya pun tak jauh berbeda. Hanya
saja, tak seperti ayah Firman, ibu firman lebih sering menghubungi Firman
melalui telepon. “Bagaimana kabarmu, Firman? Kapan kau diwisuda? Ibu sudah
tidak sabar ingin datang ke wisudamu, Man.” Hanya seputar itulah kalimat yang
diucapkan ibu Firman dalam setiap panggilan telepon darinya. Lagi-lagi, Firman
hanya menjawab sekenanya. Selalu saja ucapan bernada menenangkan yang keluar
dari lisannya. “Ibu tenang saja, nanti Firman pasti kabari kalau sudah waktunya
Bapak dan Ibu datang ke wisuda Firman.” Begitu saja jawabannya. Hanya terkadang
berganti redaksi atau urutannya saja. Menjanjikan kabar bahagia itu dengan
harapan ibunya tak lagi menghubunginya untuk menanyakan hal yang sama. Ya,
janji yang hanya sekedar janji. Karena Firman tak terlalu mengambil pusing soal
hal itu.
>> <<
Berbulan berlalu. Kabar baik yang
dijanjikan Firman tak kunjung dapat ia sampaikan. Bahkan kini ia telah menjadi
kalangan minoritas mahasiswa seangkatannya yang masih belum berhasil meluluskan
diri. Hal ini terjadi bukan karena keberuntungan yang belum sudi membersamai
Firman. Namun, lebih karena Firman yang masih berpikir tak ingin terburu-buru. Firman
yang masih ingin membiarkan semuanya berjalan dengan sendirinya. Ditambah lagi
perkembangan penelitiannya yang ternyata menghadapi sejumlah rintangan. Revisi
berkali-kali, data yang begitu sulit diambil, dan berbagai rintangan lainnya.
Semuanya bagai datang silih berganti memperlambat perkembangan penelitian
Firman.
Pesan singkat serta panggilan dari
orang tuanya melalui telepon seluler pun sudah tak terhitung jumlahnya hingga
kini. Bahkan beberapa pesan maupun panggilan sempat tak dijawab dengan sengaja
oleh Firman. Bapak ini, SMS terus! Tak
tahukah kalau penelitian itu tak semudah yang ia kira? Ibu juga! Tak
bosan-bosannya menelepon! Aku bosan menjawab pertanyaan Ibu yang itu-itu saja! Begitu
protesnya dalam batin.
Sampai suatu hari, Firman mendapatkan
sebuah pesan singkat dari ayahnya yang kini isinya berbeda dari pesan-pesan
sebelumnya. Firman, akhir pekan ini
Bapak, Ibu, dan Firsha mau menengok kau di Medan. Kami akan naik penerbangan terakhir hari Jumat ke Medan. Kamu tolong
jemput kami di bandara, ya. Jangan telat.
Pesan singkat kali itu makin malas
dibalas oleh Firman. Meskipun kabar itu cukup mengejutkannya. Sebelumnya,
keluarganya belum pernah mengunjunginya seperti ini. Mungkin ini karena SMS dan telepon dari Bapak-Ibu yang tak kubalas
sebulan terakhir. Pasti mereka semua
ingin menagih janjiku langsung di sini. Macam PNS saja, disidak[1]
segala! Firman menyeret langkahnya menuju tempat tidur setelah membaca
pesan singkat itu. Sama sekali tak ingin menanggapinya.
Jumat petang itu Firman tengah bersiap-siap
menuju bandara. Sesiangan tadi ia bekerja keras merapikan kamarnya demi
menyambut kedatangan keluarganya. Wajah Firman masih tampak kusut pasca
pertemuan dengan dosen pembimbingnya pagi tadi. Masih tak ada perkembangan yang
signifikan dari penelitiannya hingga saat ini.
Jam
sembilan. gumamnya ketika diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan
tangan kanannya. Segera ia mempercepat langkah mengambil kunci sepeda motor
yang tergeletak di atas meja. Pergerakan tangan Firman kemudian terhenti
seketika setelah televisi yang baru saja hendak ia matikan menyela acara komedi
yang sejak tadi disaksikannya dengan berita cepat.
“Pesawat Mandiri Air Lines dengan
nomor penerbangan AK-5700 mengalami gagal landas di landasan pacu Bandar Udara Depati
Amir, Pangkal Pinang. Badan pesawat sempat terangkat selama 10 menit di landasan
pacu, namun kemudian pilot Aiman sempat melaporkan adanya kegagalan sistem navigasi,
sehingga pilot memutuskan untuk mendarat kembali. Namun saat mendarat kembali,
roda depan pesawat mengalami kemacetan dan tidak dapat dikeluarkan kembali.
Sehingga pesawat mendarat dengan badan pesawat yang menyebabkan gesekan serta
percikan api dan memicu ledakan dari tangki bahan bakar pesawat. Tim penyelamat
masih berupaya mencari korban yang selamat. Dikabarkan terdapat sepuluh dari total
seratus dua puluh tujuh penumpang di dalam pesawat yang telah dinyatakan tewas
dalam kecelakaan ini. Demikian laporan kami langsung dari Bandar Udara Depati
Amir, Pangkal Pinang.”
>> <<
“Hati-hati,
ini agak licin tanahnya,” ujar Firman membantu adiknya berjalan di tanah itu. Baru
saja mereka melewati pintu gerbang memasuki komplek lahan bertanah itu. Pintu
gerbang bertuliskan nama TPU Karang Melati. Di sini, hari ini Firman dan Firsha
akan menemui kedua orang tua mereka yang telah terbaring untuk selamanya.
Pasca
disiarkannya berita kecelakaan pesawat itu 2 tahun lalu, Firman bergegas menuju
Pangkal Pinang. Esoknya, barulah ia sampai di rumah sakit yang menangani para
korban. Firman masih belum tahu bagaimana kondisi keluarganya saat itu. Telepon
genggam mereka yang tidak dapat dihubungi memastikan kekhawatirannya. Setelah
mencari beberapa waktu, akhirnya Firman menemukannya. Meski hanya salah satu di
antara mereka.
Di
bangsal itu, salah satu di antara pasien di ruangan itu adalah Firsha. Betapa
pedih hatinya menyaksikan kondisi adiknya saat itu. Luka bakar di beberapa
bagian tubuhnya, serta perban tebal di kaki kirinya. Firman melangkah gontai
menghampiri Firsha yang terbaring seorang diri.
“Firsha,
maafkan abang,” air matanya pun buncah saat itu juga.
Firsha
yang menyadari kehadiran kakaknya, kembali menangis meski dengan sisa-sisa
tenaganya. “A… abang… Bapak… Ibu…” ucapnya lirih berusaha mengabarkan sesuatu.
Firman
tahu apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Meski Firsha tak pernah
menyelesaikan kata-katanya. Sebab Firman tak menemukan mereka berdua di
manapun. Termasuk di ruangan ini. Inilah pil pahit yang terpaksa ditelan oleh
Firman, sebagai harga dari sebuah kesadaran. Maafkan abang, Firsha. Maafkan abang! Suara itu terus mengalun
dalam batinnya bersama lelehan tangis.
Firman
tertunduk di samping pusara itu. Firsha yang mesti bergantung pada kruk itu
terpaksa berdiri saja di sebelahnya. Kaki kiri Firsha remuk akibat terhimpit
saat kecelakaan itu terjadi. Dokter pun tak memiliki pilihan lebih baik selain
mengamputasi kaki kirinya. Begitulah keadaan yang membuat Firsha tak bisa
terlepas dari sepasang kruk itu.
Seperti
kunjungan-kunjungan sebelumnya, Firman tetap terlarut dalam doa yang dalam. Doa
untuk mereka yang telah terbaring di sana. Mereka yang langkahnya harus
terhenti dalam perjalanan untuk menjenguk putera satu-satunya. Mereka yang dulu
selalu menunggu kapan kabar bahagia itu akan disampaikan.
Inilah
penyesalan terbesar Firman. Ia terlambat. Sungguh terlambat. Berbulan bahkan
bertahun lamanya kedua orang tuanya menunggu, namun ia tak pernah sempat
memenuhi janji itu semasa mereka hidup. Satu penyesalan yang tak pernah bisa ia
perbaiki. Ia tak akan pernah bisa mewujudkan mimpi kedua orang tuanya untuk
tersenyum gembira di upacara wisudanya. Ia yang kini begitu menyesali hal itu.
Firman
kini hanya dapat mengambil alih tanggung jawab kedua orang tuanya. Demi
menghidupi Firsha, adik satu-satunya yang juga harus menerima nasib buruk
akibat kesalahannya. Adiknya yang sebelum kecelakaan itu terjadi begitu aktif
dan berprestasi di sekolah. Adiknya yang mesti mengubur cita-citanya sebagai
pramugari.
“Bapak
dan ibu dulu khawatir dengan Abang. Satu bulan Abang tidak memberi kabar pada
kami. Mereka takut Abang sakit. Firsha tidak tega kalau mengingat Ibu yang
terus bertanya-tanya kapan Abang diwisuda. Ibu dan Bapak sangat menginginkan
hal itu, Bang.” kata Firsha suatu hari ketika Firman tampak begitu terpuruk
dengan penelitiannya yang belum juga diselesaikan.
Hari
ini pusara itukembali basah. Tidak hanya basah karena air yang disiramkan oleh
Firman dan Firsha, namun juga basah karena air mata. Meski ingin, tapi mereka
tak bisa berlama-lama. Firman harus segera menuju tempat kerjanya. Ya,
pekerjaan yang akhirnya diperolehnya setelah ia berhasil lulus setahun yang
lalu.
Meski harus meninggalkan kedua
pusara itu dengan enggan, tapi Firman kini yakin dengan langkahnya. Meski
penyesalan itu masih sering menghantui malam-malamnya, tapi ia harus
mempertanggungjawabkannya. Meski hadiah itu terlambat diserahkan pada kedua
orang tuanya, tapi Firman tahu bahwa ayah-ibunya telah bahagia di sisi-Nya.
No comments:
Post a Comment