Aku
tidak pernah mengharapkan yang seperti ini. Tak mampu berbuat banyak hal. Pun
termasuk untuk menjalankan tugas utamaku. Aku terjebak bersama benda ini. Benda
yang hanya membuatku tampak tak berdaya di hadapan orang lain. Termasuk di
hadapan keluargaku sendiri. Aku tak ingin selamanya seperti ini. Aku ingin bisa
bangkit dari kursi roda ini.
Ah,
aku sudah hampir muak dengan keadaan seperti ini. Aku ingin berdiri.
Beraktivitas normal seperti dulu lagi. Aku masih ingin menjalankan tugasku di
rumah ini. Bekerja, mencari nafkah, menopang kehidupan keluarga ini. Hatiku
miris sekali jika menatap Davi, si bungsu. Ia masih kelas 4 SD. Masih butuh
banyak biaya untuk keperluan pendidikannya nanti. Aku lebih merasa tak sanggup
melihat Diva. Ya, Diva puteri sulungku. Ia masih muda. Baru saja lulus dari
pendidikan sarjananya 3 tahun lalu. Kini aku terpaksa menyaksikannya mengambil
alih semuanya. Hampir semua yang seharusnya menjadi tugasku.
Tahun
ini usianya genap 25 tahun. Seharusnya menjadi masa-masa paling bahagia bagi
wanita muda yang mandiri seperti Diva. Menikmati dunianya bersama teman-teman
sebayanya, memanjakan diri dengan hasil jerih payah sendiri. Tapi, aku seperti
tidak melihat itu pada Diva. Ia begitu serius menjalani karirnya. Berangkat
pagi, pulang malam. Hampir setiap hari seperti itu. Bahkan kerja lembur hampir
menjadi rutinitas setiap harinya. Pekerjaannya sebagai junior architect di sebuah agensi memang menuntut ia bekerja dalam
buruan deadline. Entah karena memang
itu permintaan dari kantornya, atau justru keinginannya sendiri.
Setelah
aku tak mampu lagi kembali bekerja akibat kecelakaan di area konstruksi yang
aku mandori dulu, Diva memang terlihat lebih giat bekerja. Aku takut dia
melakukannya karena merasa harus menggantikan posisiku. Aku tak mau ia merasa
terbebani dengan kondisiku yang seperti ini.
***
Diva
praktis menjadi tulang punggung bagi keluarga ini. Istriku yang memang semula
hanya seorang ibu rumah tangga biasa, mulai membantu dengan mengelola warung
makan kecil di halaman rumah. Namun, hasilnya hanya bisa menjadi penambal biaya
makan sehari-hari. Sementara Diva, aku tahu di pundaknya sekarang bagai
tertumpuk berton-ton beras. Biaya sekolah Davi, biaya listrik, air, cicilan
rumah, belum lagi sejumlah pinjaman dari beberapa kerabat yang dulu sempat kami
gunakan. Semua itu harus ia tanggung di usia semuda itu. Padahal dia perempuan,
dan masih memiliki kedua orang tua.
Aku
tahu. Aku tidak bisa berbuat banyak sekarang. Pengobatan rutin yang harus aku
jalani saja, sudah cukup menjadi satu beban tersendiri bagiku. Aku seperti tak
sanggup menjalaninya lagi. Tapi, keenggananku terpatahkan oleh semangat yang
Diva tunjukkan padaku. Dia mengatakan ini padaku ketika aku malas pergi ke
rumah sakit suatu hari. “Ayah, Diva pengen banget liat ayah bisa segera pulih.
Ayah harus rajin terapi dan check-up-nya,
ya.” Hanya kalimat itu. Memang hanya kata-kata sederhana yang keluar dari
mulutnya. Tapi, bagai mantra ajaib, kata-kata itu seketika mampu mengusir
keenggananku. Kata-kata itu mengingatkanku bahwa semua ini adalah pemberiannya.
Ya,
Diva jugalah yang membiayai perawatanku selama ini. Dengan begitu hati-hati, ia
mengatur semua pendapatan yang mampu ia hasilkan untuk berbagai keperluan
keluarga kami. Termasuk tidak melupakan biaya untuk terapiku. Ah, aku malu
sekali jika aku justru merajuk seperti anak kecil, enggan menerima perawatan
itu. Padahal, kepulihanku adalah yang paling diinginkan oleh Diva, oleh
keluargaku. Sekali lagi aku harus mengalah. Mungkin itulah bentuk pengorbanan
kecil yang saat ini baru bisa kuberikan pada mereka. Memenuhi permintaan mereka
untuk menjalani perawatan.
***
Suatu
malam aku merasa sulit tidur. Rasa kantuk tampaknya tidak segera mampir di
mataku. Aku pun menggerakkan roda-roda kursiku menuju ke teras depan. Berniat
mencari udara segar di sana. Ketika melewati ruang makan, pemandangan yang
begitu menghujam hatiku terpaksa kusaksikan. Di meja makan itu, Diva tampak
tertidur di tengah berbagai kelengkapan kantornya. Sepertinya lagi-lagi ia
mendapat tugas besar dari atasannya. Aku tak sanggup menggerakkan roda kursiku
segera. Tubuhku serasa mematung di sana. Menyaksikan puteriku yang tertidur
lelah seperti itu, membuatku semakin merasa bersalah. Merasa semakin tidak
berguna sebagai seorang ayah.
Wajah
Diva yang tertidur dengan posisi duduk itu, tampak begitu kuyu. Tampak
kelelahan hebat tergurat di wajahnya. Tangannya tampak masih menggenggam lem
dan batangan triplek. Sepertinya ia tengah menyelesaikan sebuah maket lagi. Ah,
ayah macam apa aku ini? Aku hanya bisa menatap sedih puteriku yang tengah
berjuang sendiri menopang keluarga ini, tanpa bisa berbuat suatu hal apapun
untuk membantunya. Padahal aku yang seharusnya melakukan hal itu. Seharusnya
itu aku.
Kuakui
aku menangis. Meski hanya di dalam hati. Aku tak bisa jadi tampak lebih lemah
daripada ini, apalagi dengan menangis. Aku tak boleh menagis di hadapan mereka.
Aku harus bisa jadi ayah yang lebih kuat untuk mereka. Walau saat ini, aku
hanya bisa mengucapkan beribu maaf. Maaf atas kepayahanku, ketidakmampuanku,
dan atas penderitaan mereka. Maaf karena aku tidak bisa berada di garis depan
untuk melindungi mereka.
***
Aku
melihat dia berbeda. Diva tak seperti wanita-wanita sebayanya yang lain. Dunia
wanita seusia Diva yang biasanya diwarnai dengan warna-warni hedonitas. Tapi,
kulihat tidak dengan dunia Diva. Sesekali aku khawatir padanya, kalau-kalau
Diva sengaja mengekang keinginannya sendiri karena terbentur kondisi ekonomi
keluarga.
Pernah
suatu hari aku bertanya padanya yang seperti biasanya menghabiskan akhir pekan
di rumah saja. “Va, kamu kok, di rumah aja? Temen-temen kantor gak ada yang
ngajakin kemana, gitu?” Dengan ringannya ia membalas, “Weekend gini waktunya istirahat, Yah. Seminggu full Diva kerja, bosen pergi-pergi mulu. Mumpung libur, Diva mau di
rumah aja. Jarang-jarang bisa nyantai di rumah kayak gini, Yah.” Senyum yang
tampak begitu tulus itu selalu mengiringi kata-katanya. Entah, alasan apapun
darinya, selalu bisa melegakanku. Semoga itu benar adanya.
Diva,
puteriku yang hebat. Meski dia wanita, dia tampak begitu santai menjalaninya.
Bahkan kehidupan pribadinya sendiri, tampak begitu dikesampingkannya. Ya, ia
sudah memasuki usia yang cukup matang bagi seorang wanita. Cukup dewasa untuk
memulai kehidupannya sendiri yang lebih serius. Sebagai seorang ayah, aku
sendiri sebenarnya menanti saat itu datang. Ketika Diva menemukan kehidupannya
sendiri yang lebih baik bersama seorang pria yang benar-benar mampu menjaganya.
Jika
Diva terus menjalani kehidupan seperti sekarang ini, sangat sulit bagiku untuk
bisa tenang. Tentu saja begitu. Sebab, Diva tentu masih menjadi bagian dari
tanggung jawabku. Karena aku masih walinya yang sah. Tapi, kondisi saat ini,
hanya kian menyiksaku. Karena aku seolah tak sanggup melindunginya lagi dengan
keadaan seperti ini. Rasanya aku ingin segera melepas tanggung jawabku atas
dirinya. Menyerahkannya pada pria yang tepat, yang mampu membahagiakannya kelak.
Suatu
pagi di tengah sarapan, aku sempat menyinggung masalah yang satu ini. Meski
agak canggung dan takut ia tersinggung, aku tetap memberanikan diri untuk
menanyakannya langsung. “Va, kok ayah merasa belum pernah ketemu pacar kamu,
ya?” Wajahnya seketika tampak terkejut mendengar pertanyaanku. Mungkin karena
sebelumnya aku tak pernah menyinggung masalah yang cukup sensitif ini.
“Ayah
ini ngomong apa, sih? Kok tiba-tiba nanyanya gitu? Kayak gak ada topik lain
aja, Yah.” balasnya dengan simpul mengerucut di bibir.
“Ya,
ayah kan cuma pengen tau, lagian kan kamu udah dewasa, Va. Udah saatnya mikir
ke arah sana.” sambungku.
Dia
tak segera menanggapi ucapanku barusan. Masih tampak sibuk mengunyah potongan
kentang rebus yang baru saja dilahapnya. “Ayah, Diva ngerti kok, maksud ayah.
Tapi, buat Diva pacaran itu gak penting. Diva pengen fokus ke karir Diva, Yah.
Diva kan masih junior architect. Belum
jadi arsitek beneran. Kalo Diva dibikin pusing sama urusan pacaran, bisa kacau
semuanya, Yah. Diva gak mau ambil resiko, ah. Lagian jodoh kan gak akan kemana,
Yah. Gak perlu dikejar, nanti juga dateng sendiri. Kayak ayah dulu kan, yang
langsung berani lamar ibu.”
Diva,
dia memang selalu mantap dengan pilihannya sendiri. Pilihan kecil sekalipun
dalam hidupnya. Puteriku yang tampak begitu bijaksana. Selalu cerdas dalam
mengambil pilihan terbaik dalam hidupnya. Meski menurutku, mungkin tak semuanya
tampak adil baginya. Dia yang masih muda. Dia yang berhak memiliki kehidupannya
sendiri.
***
Waktu
terus berjalan. Kehidupan semacam ini pun masih kami jalani sampai sekarang.
Aku masih belum bisa bangkit dari kursi roda ini. Dokter bilang, aku masih
harus bersabar lebih lama lagi, meskipun perkembangan terus terlihat, hasil
dari terapi yang rutin kujalani.
Warung
makan yang dikelola istriku memiliki penggemar-penggemar baru. Sejak sebuah kos
mahasiswa dibuka di ujung jalan sana. Penghasilan dari warung makan itu pun
kini sedikit meningkat. Istriku mulai bisa menyisihkan uang untuk ditabung,
demi mempersiapkan investasi pengembangan bisnis di masa yang akan datang. Aku
senang sekali melihatnya jadi lebih mandiri.
Diva
pun tetap menjadi tulang punggung keluarga kami. Ia yang kini telah mendapat
promosi di kantornya, tampak maikn giat bekerja. Cinta. Itulah yang kulihat
dari wajahnya terhadap pekerjaannya itu. Satu hal yang telah menjadi
cita-citanya sejak masih kanak-kanak dulu.
Sebagai
seorang ayah, saat ini aku hanya bisa mendoakannya. Karena memang belum banyak
yang bisa kulakukan demi meringankan bebannya saat ini, dengan kondisiku yang
seperti ini. Meski dalam hatiku, begitu besar keinginanku, untuk bangkit lagi
dan kembali pada peranku yang sebenarnya.
Pagi
itu, dia menghampiriku yang tengah menghirup udara pagi di halaman rumah.
Seperti biasa, dia hendak mencium tanganku demi berpamitan untuk pergi ke
kantor. “Diva, pamit ya, Yah.” senyumnya yang begitu segar pagi itu,
menyiratkan semangatnya yang membara untuk pergi bekerja. Namun, tak seperti
biasanya, aku merasa tak bisa segera melepas tangan puteriku itu. Aku tak bisa
menahan kata-kata ini untuk tak keluar dari mulutku.
“Diva,
kalo kamu capek, kamu bilang ya, sama Ayah. Kamu juga harus kasih tau ayah,
ayah bisa bantu apa buat kamu? Kamu maunya ayah gimana, juga bilang ya, ke
ayah. Ayah gak mau kamu capek sendiri.” Kukatakan itu seraya tanganku masih
menggenggam tangan kanannya yang semula mulai ditariknya ketika hendak berdiri
meninggalkanku.
Dia
menoleh dan tersenyum mendengar kalimat itu. Alih-alih beranjak pergi bekerja,
ia malah kembali menghampiriku, berjongkok di depan lututku. Digenggamnya
tanganku dengan kedua tangannya, lalu ia berkata, “Ayah, Diva maunya ayah sehat
lagi. Cuma itu yang Diva inginkan. Diva gak papa kok. Ayah gak perlu khawatir
sama Diva. Diva seneng ngelakuin ini semua, Yah. Ini cita-cita Diva dari dulu.
Diva ingin bisa berbuat banyak untuk keluarga kita. Diva ingin membalas apa
yang udah ayah sama ibu kasih ke Diva dari kecil. Diva gak mungkin capek untuk
ngebahagiain keluarga kita. Bikin ayah dan ibu bangga sama Diva. Ayah gak perlu
mikir macem-macem, ya. Diva bakal inget terus pesen ayah untuk jaga diri. Jadi,
ayah tenang aja, ya. Percaya sama Diva ya, Yah.”
Sungguh
tak kusangka dia akan mengatakan hal itu. Suatu hal yang sungguh-sungguh
mengharukan bagiku. Kini dia sudah mengatakan semuanya. Meyakinkanku bahwa dia
memang baik-baik saja. “Makasih ya, Diva. Maaf ayah belum bisa banyak bantu
kamu.”
“Cukup,
Yah. Ayah udah ngelakuin banyak hal buat Diva.” Kuusap ujung kepalanya yang
kini kembali tertunduk mencium tanganku yang masih digenggamnya. Ia pun segera
bangkit setelah kembali meminta izin untuk pergi bekerja.
Dia,
puteriku pun pergi. Melangkahkan kaki menapaki jalan hidup yang telah
dipilihnya sendiri. Meski masih sedikit berat kurasakan melepasnya seperti ini.
Tapi mungkin ini yang bisa kulakukan sekarang untuknya. Melihatnya melakukan
apa yang ia inginkan. Dan memastikan aku pun juga melakukan apa yang
diinginkannya. Mempercayainya dan membiarkannya belajar menjadi wanita yang
hebat. Ya, puteriku yang hebat.
great!!
ReplyDeletekenalin dong sama Diva :">
Diva, she is my dream girl... :)
ReplyDeleteI hope she will be really live... even just her kindness...
Thank you my first reader... ;)
ah.. fine then
ReplyDeleteaamiin..
u're welcome!! :)