Tuesday, 26 March 2013

You're Great, My Girl!

Aku tidak pernah mengharapkan yang seperti ini. Tak mampu berbuat banyak hal. Pun termasuk untuk menjalankan tugas utamaku. Aku terjebak bersama benda ini. Benda yang hanya membuatku tampak tak berdaya di hadapan orang lain. Termasuk di hadapan keluargaku sendiri. Aku tak ingin selamanya seperti ini. Aku ingin bisa bangkit dari kursi roda ini.

Ah, aku sudah hampir muak dengan keadaan seperti ini. Aku ingin berdiri. Beraktivitas normal seperti dulu lagi. Aku masih ingin menjalankan tugasku di rumah ini. Bekerja, mencari nafkah, menopang kehidupan keluarga ini. Hatiku miris sekali jika menatap Davi, si bungsu. Ia masih kelas 4 SD. Masih butuh banyak biaya untuk keperluan pendidikannya nanti. Aku lebih merasa tak sanggup melihat Diva. Ya, Diva puteri sulungku. Ia masih muda. Baru saja lulus dari pendidikan sarjananya 3 tahun lalu. Kini aku terpaksa menyaksikannya mengambil alih semuanya. Hampir semua yang seharusnya menjadi tugasku. 

Tahun ini usianya genap 25 tahun. Seharusnya menjadi masa-masa paling bahagia bagi wanita muda yang mandiri seperti Diva. Menikmati dunianya bersama teman-teman sebayanya, memanjakan diri dengan hasil jerih payah sendiri. Tapi, aku seperti tidak melihat itu pada Diva. Ia begitu serius menjalani karirnya. Berangkat pagi, pulang malam. Hampir setiap hari seperti itu. Bahkan kerja lembur hampir menjadi rutinitas setiap harinya. Pekerjaannya sebagai junior architect di sebuah agensi memang menuntut ia bekerja dalam buruan deadline. Entah karena memang itu permintaan dari kantornya, atau justru keinginannya sendiri.
Setelah aku tak mampu lagi kembali bekerja akibat kecelakaan di area konstruksi yang aku mandori dulu, Diva memang terlihat lebih giat bekerja. Aku takut dia melakukannya karena merasa harus menggantikan posisiku. Aku tak mau ia merasa terbebani dengan kondisiku yang seperti ini.
***
Diva praktis menjadi tulang punggung bagi keluarga ini. Istriku yang memang semula hanya seorang ibu rumah tangga biasa, mulai membantu dengan mengelola warung makan kecil di halaman rumah. Namun, hasilnya hanya bisa menjadi penambal biaya makan sehari-hari. Sementara Diva, aku tahu di pundaknya sekarang bagai tertumpuk berton-ton beras. Biaya sekolah Davi, biaya listrik, air, cicilan rumah, belum lagi sejumlah pinjaman dari beberapa kerabat yang dulu sempat kami gunakan. Semua itu harus ia tanggung di usia semuda itu. Padahal dia perempuan, dan masih memiliki kedua orang tua.

Aku tahu. Aku tidak bisa berbuat banyak sekarang. Pengobatan rutin yang harus aku jalani saja, sudah cukup menjadi satu beban tersendiri bagiku. Aku seperti tak sanggup menjalaninya lagi. Tapi, keenggananku terpatahkan oleh semangat yang Diva tunjukkan padaku. Dia mengatakan ini padaku ketika aku malas pergi ke rumah sakit suatu hari. “Ayah, Diva pengen banget liat ayah bisa segera pulih. Ayah harus rajin terapi dan check-up-nya, ya.” Hanya kalimat itu. Memang hanya kata-kata sederhana yang keluar dari mulutnya. Tapi, bagai mantra ajaib, kata-kata itu seketika mampu mengusir keenggananku. Kata-kata itu mengingatkanku bahwa semua ini adalah pemberiannya. 

Ya, Diva jugalah yang membiayai perawatanku selama ini. Dengan begitu hati-hati, ia mengatur semua pendapatan yang mampu ia hasilkan untuk berbagai keperluan keluarga kami. Termasuk tidak melupakan biaya untuk terapiku. Ah, aku malu sekali jika aku justru merajuk seperti anak kecil, enggan menerima perawatan itu. Padahal, kepulihanku adalah yang paling diinginkan oleh Diva, oleh keluargaku. Sekali lagi aku harus mengalah. Mungkin itulah bentuk pengorbanan kecil yang saat ini baru bisa kuberikan pada mereka. Memenuhi permintaan mereka untuk menjalani perawatan.
***
Suatu malam aku merasa sulit tidur. Rasa kantuk tampaknya tidak segera mampir di mataku. Aku pun menggerakkan roda-roda kursiku menuju ke teras depan. Berniat mencari udara segar di sana. Ketika melewati ruang makan, pemandangan yang begitu menghujam hatiku terpaksa kusaksikan. Di meja makan itu, Diva tampak tertidur di tengah berbagai kelengkapan kantornya. Sepertinya lagi-lagi ia mendapat tugas besar dari atasannya. Aku tak sanggup menggerakkan roda kursiku segera. Tubuhku serasa mematung di sana. Menyaksikan puteriku yang tertidur lelah seperti itu, membuatku semakin merasa bersalah. Merasa semakin tidak berguna sebagai seorang ayah.

Wajah Diva yang tertidur dengan posisi duduk itu, tampak begitu kuyu. Tampak kelelahan hebat tergurat di wajahnya. Tangannya tampak masih menggenggam lem dan batangan triplek. Sepertinya ia tengah menyelesaikan sebuah maket lagi. Ah, ayah macam apa aku ini? Aku hanya bisa menatap sedih puteriku yang tengah berjuang sendiri menopang keluarga ini, tanpa bisa berbuat suatu hal apapun untuk membantunya. Padahal aku yang seharusnya melakukan hal itu. Seharusnya itu aku.

Kuakui aku menangis. Meski hanya di dalam hati. Aku tak bisa jadi tampak lebih lemah daripada ini, apalagi dengan menangis. Aku tak boleh menagis di hadapan mereka. Aku harus bisa jadi ayah yang lebih kuat untuk mereka. Walau saat ini, aku hanya bisa mengucapkan beribu maaf. Maaf atas kepayahanku, ketidakmampuanku, dan atas penderitaan mereka. Maaf karena aku tidak bisa berada di garis depan untuk melindungi mereka.
***
Aku melihat dia berbeda. Diva tak seperti wanita-wanita sebayanya yang lain. Dunia wanita seusia Diva yang biasanya diwarnai dengan warna-warni hedonitas. Tapi, kulihat tidak dengan dunia Diva. Sesekali aku khawatir padanya, kalau-kalau Diva sengaja mengekang keinginannya sendiri karena terbentur kondisi ekonomi keluarga. 

Pernah suatu hari aku bertanya padanya yang seperti biasanya menghabiskan akhir pekan di rumah saja. “Va, kamu kok, di rumah aja? Temen-temen kantor gak ada yang ngajakin kemana, gitu?” Dengan ringannya ia membalas, “Weekend gini waktunya istirahat, Yah. Seminggu full Diva kerja, bosen pergi-pergi mulu. Mumpung libur, Diva mau di rumah aja. Jarang-jarang bisa nyantai di rumah kayak gini, Yah.” Senyum yang tampak begitu tulus itu selalu mengiringi kata-katanya. Entah, alasan apapun darinya, selalu bisa melegakanku. Semoga itu benar adanya.

Diva, puteriku yang hebat. Meski dia wanita, dia tampak begitu santai menjalaninya. Bahkan kehidupan pribadinya sendiri, tampak begitu dikesampingkannya. Ya, ia sudah memasuki usia yang cukup matang bagi seorang wanita. Cukup dewasa untuk memulai kehidupannya sendiri yang lebih serius. Sebagai seorang ayah, aku sendiri sebenarnya menanti saat itu datang. Ketika Diva menemukan kehidupannya sendiri yang lebih baik bersama seorang pria yang benar-benar mampu menjaganya. 

Jika Diva terus menjalani kehidupan seperti sekarang ini, sangat sulit bagiku untuk bisa tenang. Tentu saja begitu. Sebab, Diva tentu masih menjadi bagian dari tanggung jawabku. Karena aku masih walinya yang sah. Tapi, kondisi saat ini, hanya kian menyiksaku. Karena aku seolah tak sanggup melindunginya lagi dengan keadaan seperti ini. Rasanya aku ingin segera melepas tanggung jawabku atas dirinya. Menyerahkannya pada pria yang tepat, yang mampu membahagiakannya kelak.

Suatu pagi di tengah sarapan, aku sempat menyinggung masalah yang satu ini. Meski agak canggung dan takut ia tersinggung, aku tetap memberanikan diri untuk menanyakannya langsung. “Va, kok ayah merasa belum pernah ketemu pacar kamu, ya?” Wajahnya seketika tampak terkejut mendengar pertanyaanku. Mungkin karena sebelumnya aku tak pernah menyinggung masalah yang cukup sensitif ini.

“Ayah ini ngomong apa, sih? Kok tiba-tiba nanyanya gitu? Kayak gak ada topik lain aja, Yah.” balasnya dengan simpul mengerucut di bibir.

“Ya, ayah kan cuma pengen tau, lagian kan kamu udah dewasa, Va. Udah saatnya mikir ke arah sana.” sambungku.

Dia tak segera menanggapi ucapanku barusan. Masih tampak sibuk mengunyah potongan kentang rebus yang baru saja dilahapnya. “Ayah, Diva ngerti kok, maksud ayah. Tapi, buat Diva pacaran itu gak penting. Diva pengen fokus ke karir Diva, Yah. Diva kan masih junior architect. Belum jadi arsitek beneran. Kalo Diva dibikin pusing sama urusan pacaran, bisa kacau semuanya, Yah. Diva gak mau ambil resiko, ah. Lagian jodoh kan gak akan kemana, Yah. Gak perlu dikejar, nanti juga dateng sendiri. Kayak ayah dulu kan, yang langsung berani lamar ibu.”

Diva, dia memang selalu mantap dengan pilihannya sendiri. Pilihan kecil sekalipun dalam hidupnya. Puteriku yang tampak begitu bijaksana. Selalu cerdas dalam mengambil pilihan terbaik dalam hidupnya. Meski menurutku, mungkin tak semuanya tampak adil baginya. Dia yang masih muda. Dia yang berhak memiliki kehidupannya sendiri.
***
Waktu terus berjalan. Kehidupan semacam ini pun masih kami jalani sampai sekarang. Aku masih belum bisa bangkit dari kursi roda ini. Dokter bilang, aku masih harus bersabar lebih lama lagi, meskipun perkembangan terus terlihat, hasil dari terapi yang rutin kujalani. 

Warung makan yang dikelola istriku memiliki penggemar-penggemar baru. Sejak sebuah kos mahasiswa dibuka di ujung jalan sana. Penghasilan dari warung makan itu pun kini sedikit meningkat. Istriku mulai bisa menyisihkan uang untuk ditabung, demi mempersiapkan investasi pengembangan bisnis di masa yang akan datang. Aku senang sekali melihatnya jadi lebih mandiri.

Diva pun tetap menjadi tulang punggung keluarga kami. Ia yang kini telah mendapat promosi di kantornya, tampak maikn giat bekerja. Cinta. Itulah yang kulihat dari wajahnya terhadap pekerjaannya itu. Satu hal yang telah menjadi cita-citanya sejak masih kanak-kanak dulu.

Sebagai seorang ayah, saat ini aku hanya bisa mendoakannya. Karena memang belum banyak yang bisa kulakukan demi meringankan bebannya saat ini, dengan kondisiku yang seperti ini. Meski dalam hatiku, begitu besar keinginanku, untuk bangkit lagi dan kembali pada peranku yang sebenarnya.

Pagi itu, dia menghampiriku yang tengah menghirup udara pagi di halaman rumah. Seperti biasa, dia hendak mencium tanganku demi berpamitan untuk pergi ke kantor. “Diva, pamit ya, Yah.” senyumnya yang begitu segar pagi itu, menyiratkan semangatnya yang membara untuk pergi bekerja. Namun, tak seperti biasanya, aku merasa tak bisa segera melepas tangan puteriku itu. Aku tak bisa menahan kata-kata ini untuk tak keluar dari mulutku.

“Diva, kalo kamu capek, kamu bilang ya, sama Ayah. Kamu juga harus kasih tau ayah, ayah bisa bantu apa buat kamu? Kamu maunya ayah gimana, juga bilang ya, ke ayah. Ayah gak mau kamu capek sendiri.” Kukatakan itu seraya tanganku masih menggenggam tangan kanannya yang semula mulai ditariknya ketika hendak berdiri meninggalkanku.

Dia menoleh dan tersenyum mendengar kalimat itu. Alih-alih beranjak pergi bekerja, ia malah kembali menghampiriku, berjongkok di depan lututku. Digenggamnya tanganku dengan kedua tangannya, lalu ia berkata, “Ayah, Diva maunya ayah sehat lagi. Cuma itu yang Diva inginkan. Diva gak papa kok. Ayah gak perlu khawatir sama Diva. Diva seneng ngelakuin ini semua, Yah. Ini cita-cita Diva dari dulu. Diva ingin bisa berbuat banyak untuk keluarga kita. Diva ingin membalas apa yang udah ayah sama ibu kasih ke Diva dari kecil. Diva gak mungkin capek untuk ngebahagiain keluarga kita. Bikin ayah dan ibu bangga sama Diva. Ayah gak perlu mikir macem-macem, ya. Diva bakal inget terus pesen ayah untuk jaga diri. Jadi, ayah tenang aja, ya. Percaya sama Diva ya, Yah.”

Sungguh tak kusangka dia akan mengatakan hal itu. Suatu hal yang sungguh-sungguh mengharukan bagiku. Kini dia sudah mengatakan semuanya. Meyakinkanku bahwa dia memang baik-baik saja. “Makasih ya, Diva. Maaf ayah belum bisa banyak bantu kamu.”

“Cukup, Yah. Ayah udah ngelakuin banyak hal buat Diva.” Kuusap ujung kepalanya yang kini kembali tertunduk mencium tanganku yang masih digenggamnya. Ia pun segera bangkit setelah kembali meminta izin untuk pergi bekerja. 

Dia, puteriku pun pergi. Melangkahkan kaki menapaki jalan hidup yang telah dipilihnya sendiri. Meski masih sedikit berat kurasakan melepasnya seperti ini. Tapi mungkin ini yang bisa kulakukan sekarang untuknya. Melihatnya melakukan apa yang ia inginkan. Dan memastikan aku pun juga melakukan apa yang diinginkannya. Mempercayainya dan membiarkannya belajar menjadi wanita yang hebat. Ya, puteriku yang hebat.


3 comments:

  1. great!!

    kenalin dong sama Diva :">

    ReplyDelete
  2. Diva, she is my dream girl... :)
    I hope she will be really live... even just her kindness...

    Thank you my first reader... ;)

    ReplyDelete
  3. ah.. fine then
    aamiin..

    u're welcome!! :)

    ReplyDelete