“Bener ini bukan, ya alamatnya?”
ditatapnya sekeliling jalan yang cukup sepi di selatan kota Tangerang itu.
Berulang kali diamatinya selembar kartu bertuliskan nama dan alamat sebuah
tempat yang sedang dicari-carinya. Jalan itu terletak di kawasan pertokoan yang
tampaknya belum lama dibuka. Terlihat dengan masih sepinya sejumlah petak rumah
toko yang tersedia.
Wanita muda berpenampilan rapi
itu tampak kebingungan setelah memutari jalan yang sama dengan motor matiknya
hingga empat kali. Ia terlihat kesal setelah tak kunjung menemukan lokasi yang
dicarinya. Apa gue salah masuk tikungan,
ya? Kenapa susah banget sih, ketemunya? Jangan-jangan yang ditulis di kartu
nama ini alamat palsu, lagi? Gerutunya dalam hati. Tampaknya ia mulai
kesal.
Ia pun memutuskan untuk berhenti
sejenak di depan sebuah ATM. Setelah menghela napas dalam-dalam serta melepas
kaca mata hitam yang dikenakannya saat mengendarai motor, ia tampak
mengeluarkan telepon genggam dari dalam tasnya. Tak lama kemudian, ia tampak
berbicara dengan seseorang di seberang telepon, “Pak, kartu nama yang Bapak
kasih ke saya itu masih valid, kan? Alamatnya
belum pindah kan, Pak? Ini beneran kartu nama perusahaan konsultan ‘Mega Prima
Consultant’?” pertanyaannya memberondong pada lawan bicaranya.
Lalu, saat ia tengah mendengarkan
jawaban dari lawan bicaranya di seberang sana, tiba-tiba dirasakannya sentuhan
di pundaknya dibarengi suara seseorang dari arah belakang. “Maaf, Mbak mau ke
‘Mega Prima Consultant’?” Mendengar pertanyaan itu, ia pun sontak menoleh dan
bermaksud menanggapi pertanyaan itu.
Namun, ketika didapatinya wajah
orang yang menyapanya barusan, justru rasa terkejutlah yang mengepungnya
tiba-tiba. Kok kayaknya gue kenal orang
ini, ya? Siapa? Gak asing kok, mukanya. Hatinya langsung bergumam sendiri.
“Lho, Vita, ya? Anisa Previta
Sari?” tiba-tiba sosok dihadapannya menyahut. Dia tahu nama gue? Orang ini siapa, sih? Diselidikinya kembali
wajah orang yang menyapanya itu. Mencoba mengenali siapa identitasnya yang
sebenarnya.
Seseorang di hadapannya itu pun
berkata lagi, “Ini beneran Vita, kan? Vita SMA Tunas Cendekia? Gue Iva, Vit.
Temen sebangku lo dulu.” Mendengar nama itu disebut Vita pun bereaksi, “Ivanka
Dewi Pratama yang itu?” Sejenak ditelusurinya sosok wanita muda di hadapannya
itu. “Eh, seriusan? Kok Iva jadi kayak gini?”
“Iya, gue Iva, Vit. Ya Allah, apa
kabar lo? Lama juga ya, kita gak ketemu.” Iva langsung menghambur memeluk Vita
yang masih tampak bingung. Ini beneran
Iva? Dia kenapa sampai berubah sedrastis ini? Pertanyaan terus berkecamuk
dalam benak Vita.
“Eh, lo tadi beneran cari ‘Mega
Prima Consultant’? Kebetulan gue kerja di sana. Nih, gue juga mau ke sana, abis
dari ATM. Ikutin motor gue aja, ya.” Vita pun hanya mengangguk lirih dan segera
menuruti apa yang diinstruksikan Iva.
Lima menit kemudian sampailah
mereka di sebuah gedung kantor berlantai empat, yang terletak di samping sebuah
restoran. “Nah, yuk masuk. Kantor kami di lantai 3 gedung ini. Tuh, papan
namanya,” jelas Iva sambil menunjuk ke arah papan nama yang tertutup dedaunan
pohon besar di depan gedung. “Oh, pantes aja gue gak liat dari tadi.” Senyum
tipis disunggingkan Vita yang kemudian mengikuti Iva memasuki gedung kantor
itu.
Usai menyelesaikan urusannya
dengan pihak konsultan, Vita memenuhi ajakan Iva untuk makan siang bersama.
“Va, gue sebenernya belum 100%
percaya lho, kalo lo itu Iva sahabat gue di SMA dulu. Abis lo beda banget, sih.
Mana sekarang lo pake kerudung gini. Pake rok pula. Ada angin puyuh dari mana,
nih?”
“Tega banget lo, gak percaya gini
sama gue. Ya, gue ini gini sekarang, Vit. Alhamdulillah, gue ngerasa lebih baik
kayak gini,” ujar Iva sambil menyeruput jus stroberinya.
“Tapi, gue heran banget, Va. Kita
kan dulu dijulukin anak kembar. Kemana-mana bareng. Seneng keluyuran bareng. Jagoan
di tim basket sekolah. Gimana ceritanya lo bisa kayak gini, sih?” Vita masih
mencoba mendalami kisah sahabatnya itu.
“Alhamdulillah, lingkungan di kampus gue
dulu bagus banget, Vit. Gue banyak belajar dari temen-temen gue di sana. Sampai
akhirnya gue memilih perubahan ini untuk jadi bagian dari diri gue.” kenang
Iva.
Dalam benak Vita, masih terbersit
rasa penasaran terhadap perubahan Iva. Apakah perubahan itu telah mengubah
sahabatnya menjadi orang lain? Apakah mereka masih bisa bersahabat seperti
dulu?
Vita pun bangun dari lamunannya.
“Eh, Va. Besok kita hangout bareng,
yuk. Mumpung weekend. Lagian kita kan
dah lama gak jalan bareng kayak dulu.” ajak Vita dengan pandangan berbinar.
“Wah, boleh-boleh. Gue juga lagi
suntuk banget, nih. Lagi banyak kerjaan di kantor seminggu ini.” sahut Iva tak
kalah antusias.
Keesokan harinya…
Iva dan Vita mengunjungi pusat
perbelanjaan yang sering mereka kunjungi bersama dulu. Mereka bermaksud
mengenang kebersamaan semasa sekolah yang sudah lama tidak mereka lakukan
bersama.
“Lo mau ke mana lagi sekarang,
Va?” tanya Vita dengan beberapa kantung belanja di tangan. “Ini gue juga lagi
nyari tempatnya. Udah lama gak kesini, jadi udah agak berubah, ya. Ah, itu
dia!” sahut Iva sambil menarik tangan Vita menuju salah satu distro.
“Oh, lo mau beli kerudung?” ujar
Vita ketika baru memasuki distro yang menjual busana muslim beserta
perlengkapannya. “Liat-liat dulu aja, Vit.” Iva berkata sambil melangkahkan
kaki berkeliling distro. Vita pun tampak melihat-lihat koleksi produk yang
dipamerkan di sana.
Beberapa saat kemudian, Iva
tampak mengambil beberapa barang dan lantas membawanya ke kasir. Usai membayar,
iya pun menghampiri Vita yang ternyata menunggu di depan pintu. “Lo gak pengen
beli apa gitu di sini, Vit?” tanya Iva membuyarkan lamunan Vita.
“Eh, gak dulu, deh. Lagian gue
juga jarang pake.” jawab Vita yang agak terperanjat.
“Oke, sekarang mau kemana lagi?”
tanya Iva yang masih tampak bersemangat. Vita tampak berpikir sejenak. “Hmm…
dah lama juga nih, kita gak basketan bareng. Masih berani sparing gak, Va?” tantang Vita. Ia sangat penasaran dengan respon
Iva. Apakah ia masih mampu berlaga di lapangan basket seperti dulu?
Wajah Iva tampak berubah setelah
mendengar tawaran Vita itu. Ia justru tampak lebih bersemangat dan sumringah.
Lalu membalas, “Ide seru, tuh. Oke, gue terima tantangan lo. Besok pagi di GOR,
gimana? Gue deh, yang bawa bolanya. Gini-gini gue juga rajin latihan, Vit.
Sekedar buat nyegerin badan aja. Muslim itu kan harus sehat, ya gak?”
“Oke, deh. Kita liat bukti
latihan lo besok. Jam 7 pagi, on time
ya!” ujar Vita. “Siap!!” ucap Iva bersemangat seraya menyambut jabat tangan
yang sering dilakukannya dulu dengan Vita.
Hari Minggu, jam 7 pagi, di
gelanggang olahraga…
“Assalamualaykum, Vit. Eh, ternyata lo
nyampe duluan. Tapi gue gak telat, kan? Ya udah deh, kita mulai pemanasan aja
dulu. Yuk!” ujar Iva sesampainya di GOR dan berjumpa dengan Vita yang tampak
sudah siap dengan kaos lengan pendek dan celana training-nya.
Vita justru tampak bingung, “Eh,
lo serius mau pake itu, Va? Kita kan mau sparing
basket? Kenapa gak pake celana olahraga aja? Ribet lho nanti,”
“Kita cuma mau olahraga aja, kan?
Bukan tanding beneran, kan? Gapapa kok, Vit. Gue masih bisa lari kok, walaupun
pake rok kayak gini.” Sanggah Iva dengan penuh percaya diri.
Tak lama kemudian mereka memulai
pemanasan yang dilanjutkan dengan pertandingan kecil basket satu lawan satu.
Mereka tampak sangat menikmati permainan. Saling berebut bola, mencetak angka.
Susul-menyusul, diiringi canda tawa. Seolah mereka masih bertanding bersama di
pertandingan sekolah dulu.
Tak terasa waktu berlalu begitu
saja. Matahari kini sudah semakin tinggi. Keringat pun bercucuran dari kedua
wajah muda Iva dan Vita. Kini mereka tampak duduk bersandar di punggung
masing-masing sambil menikmati air minum yang mereka bawa.
“Wah… Ternyata… asyik banget, Va.
Udah lama…. gue gak main basket…. seseru ini.” ucap Vita dengan napas yang
masih terengah-engah. “Sepakat! Lo masih jago kayak dulu mainnya. Serius. ”
Balas Iva pendek yang lalu minum lagi.
“Gue lagi yang salut sama lo, Va.
Lo yang pake rok kayak gini, masih sama gesitnya kayak dulu. Kok, bisa sih?
Bukannya ribet ya, pake rok kayak gitu? Apalagi lo pake kerudung, pasti gerahnya
lebih-lebih deh. Ya, kan?” ujar Vita berterus terang.
Iva yang mendengar pertanyaan itu
tersenyum tipis dan menjawab, “Gak lagi, Vit. Gue udah terbiasa kok,
beraktivitas dengan pakaian kayak gini. Selama ini gue ngerasa bebas dan
nyaman-nyaman aja, tuh. Gak ada ceritanya lo pake rok terus gak bisa
ngapa-ngapain. Justru gue ngerasa lebih safe
dengan pakaian kayak gini, Vit. Apalagi gue tinggal di kota besar kayak
gini, bermanfaat banget buat ngelindungin diri. Gue malah ngerasa respect orang lain ke gue meningkat, lho.
Dibanding waktu gue masih buka-bukaan kayak dulu. Lagian ini kan kewajiban kita
sebagai muslimah, Vit. Yah, gak ada salahnya juga kan, kita laksanain.” Iva
bertutur dengan lancar dan sabar. Vita pun tampak mendengarkan ucapan Iva
sambil merenungkan sesuatu.
“Gue yakin, pasti lo udah
ngalamin hal yang besar, kan? Sampai bisa jadi Iva yang kayak gini? Lo
beruntung banget Va, bisa dapet hidayah kayak gitu. Padahal gak gampang kan,
berubah sedrastis ini dalam waktu beberapa tahun. Gue aja sering liat cewek-cewek
yang masih buka-tutup pake kerudungnya. Alesannya macem-macem. Ah, berat Va,
godaannya.”
“Sebenernya, siapa aja bisa kok,
Vit. Asal ada kemauan yang kuat dari dalam dirinya. Dimulai dari benerin
niatnya dulu. Untuk apa kita mau berhijab, menutup aurat. Apa untuk sekedar
gaya? Atau biar gak ketinggalan zaman? Yah, kalo begitu sih, jelas aja
godaannya berat.”
“Tapi, Va. Berubah kayak gini
kan, belum tentu cocok untuk semua orang. Menurut gue itu tergantung
karakternya juga, gak sih? Kalo cewek yang feminim gitu pasti lebih gampang
berubahnya. Nah, kalo yang kayak gue ini, bisa jadi kayak burung pelatuk
dipakein buntut merak.”
“Emangnya lo pikir dulu gue
feminim macem putri Solo? Kita kan dah kayak anak kembar dulu, Vit. Pasti bisa,
kok. Asalkan kita punya niat untuk memperbaiki diri. Terus kita gak ragu untuk
membuka diri kita supaya pendidikan attitude
itu bisa kita adaptasi. Semua butuh proses, Vit. Gak bisa instan juga.
Pelan-pelan aja.”
“Tapi, kalo justru kita malah
kayak berubah jadi seseorang yang lain, gimana? Jadi gak gue banget gitu. Ih,
gengsi, kan?”
“Gak
gitu juga kali, Vit. Tenang aja. Kita masih bisa jadi diri kita sendiri, kok.
Buktinya gue masih bisa ngebasket kayak dulu, kan? Dan apapun kesukaan lo, asal
itu gak ngelanggar norma-norma yang berlaku, sah-sah aja kok, untuk lo lakuin.
Percaya, deh!” ujar Iva seraya tersenyum ke arah Vita yang masih tampak ragu.
Terdiam
sejenak, Vita pun angkat bicara. “Gue rasa, gue butuh waktu untuk ngambil
keputusan besar kayak lo, Va. Gue gak mau nanti malah gak konsisten setelah
pake kerudung. Mending gue pertimbangin mateng-mateng dulu, deh.”
“Gak
apa-apa lagi, Vit. Take your time.
Tapi, jangan kelamaan, mumpung kita masih dikasih umur dan kesempatan lho, sama
Allah. Lo bisa cerita apa aja ke gue kalo lo butuh. Insyaallah gue akan dampingin lo selama proses ini. Jadi, jangan
takut sendirian, ya.” ujar Iva sambil merangkul bahu Vita.
“Thanks banget ya, Va. Gue akan berusaha, deh. Mudah-mudahan gue gak
butuh waktu lama ya, sampe gue bisa bener-bener mantep.” Vita pun menghambur ke
dalam pelukan Iva.
“Eh, tunggu bentar ya, ada yang
mau gue ambil dulu di motor.” ujar Iva seraya meninggalkan Vita yang
bertanya-tanya dalam hati.
Beberapa saat kemudian, Iva
kembali masih dengan senyuman yang sama, dengan membawa kantung kertas. “Nih,
buat lo, Vit.” ujarnya sambil menyerahkan kantung kertas itu kepada Vita yang
masih terduduk.
“Eh, apa nih? Lo bawa sarapan
dari rumah?” tanya Vita. “Buka aja, Vit.” balas Iva seraya kembali duduk di
samping Vita.
“Ini…” Vita tak sanggup
melanjutkan kata-katanya ketika mengeluarkan benda yang ada di dalam kantung
kertas tadi. Sehelai kerudung manis berwarna peach.
“Kemarin gue nemu di distro, dan
gue inget dulu lo suka warna ini, kan?
Semoga lo masih suka, deh.” terang Iva.
Tiba-tiba, Vita menghambur ke
arah Iva, kembali memeluknya. Kali ini lebih erat. “Makasih banyak, ya Va. Lo
emang selalu bisa jadi sahabat gue.”
No comments:
Post a Comment