Wednesday, 6 June 2012

CerBung Juni 2012

Panggil Aku Perempuan #5

(cont...)
 
Terik matahari cukup membakar siang itu. Di samping jendela kamar kosnya yang terletak di lantai dua, Ari menyandarkan kepalanya di dinding dengan tatapan matanya yang memandang ke luas sudut pandang. Melihat matahari yang begitu menyengat, mengingatkannya pada latihan basketnya di sekolah dulu. Dulu ia selalu menghabiskan siang hingga sore harinya dengan rutinitas latihan bersama teman-temannya.

Mengingat masa itu, membangkitkan sedikit kerinduan dalam hati Ari. Saat-saat ia merasa begitu menjadi dirinya sendiri. Bermain dan bergerak bebas. Bergaul dengan teman-temannya yang selalu bisa menerimanya apa adanya. Entah mengapa ia merasa kehilangan hal itu.

Gue kenapa sih? Kenapa gue tiba-tiba ngerasa berubah? Sekarang anak-anak pada ngetawain gue. Seharusnya emang gue gak usah berpikir berubah drastic kayak gini. Buang-buang energi. Seharusnya gue lebih liat siapa gue sebenernya. Jelas-jelas gue gak kayak Kak Indah. Batinnya tak hentinya menghujat apa yang telah terjadi. Sedikit sesal mulai menggoyahkan pertahanan Ari.

Tapi, gue masih pengen nemuin proses kayak yang Kak Indah bilang. Gue masih pengen jadi juara dalam proses ini. Tapi kenapa sekarang gue jadi galau gini? Gue malu banget sama Kak Indah. Gue harus gimana dong?

Tiba-tiba lamunan yang tengah dinikmatinya terbuyarkan oleh suara deruman sepeda motor di jalan depan kosnya. Tampak sesosok wanita muda berkerudung yang masih mengenakan helmnya melontarkan pandangannya ke sekeliling, terlihat mencari sesuatu. Kak Indah? Dari mana dia tau kos gue? Ari segera berlari kecil ke arah luar setelah pandangannya tak sengaja bertemu dengan mata Indah yang semula masih sibuk mencari kos Ari.

Setelah memarkir sepeda motornya di depan pintu kos Ari dan menanggalkan helmnya, Indah pun menunggu Ari datang membukakan pintu kos untuknya. Begitu wajah Ari muncul dari balik pintu, Indah tak ragu mengalungkan pelukan hangatnya pada Ari yang masih tampak sedikit kikuk dengan kedatangannya secara tiba-tiba.

Assalamualaykum, kamu apa kabar, Dek? Kakak nyariin kamu sejak seminggu yang lalu, Ri. Afwan ya, kakak baru sempet nyari kos kamu sekarang.” sapa Indah lembut di awal perjumpaannya dengan Ari.

Ari sendiri masih tampak salah tingkah, seolah tidak tahu harus melakukan apa. Kunjungan Indah langsung ke kosnya sama sekali tidak diduganya sebelumnya. “Kak Indah kok bisa sampe sini? Maaf ya, Kak. Aku gak ngabarin Kakak beberapa hari ini?” ujar Ari dengan wajahnya yang ditekuk.

Sambil melontarkan senyumnya, Indah pun berkata, “Justru itu, Dek. Itulah kenapa kakak sekarang ada disini. Kamu pasti butuh temen cerita kan?”

“Kita naik aja ya, Kak. Kamarku di atas.” ajak Ari diteruskan dengan langkahnya yang diikuti Indah menuju lantai dua.

“Kamu kenapa, Dek? Kok kakak cari di kampus gak ada, di forum pekanan kita kamu juga dateng, gak ngasih kabar sama sekali. Kakak udah sempet khawatir sama kamu,” ujar Indah ketika baru saja duduk di lantai kamar kos Ari, bermaksud menuntut penjelasan.

Wajah Ari kini tampak sulit ditebak. Antara ragu, sedih, marah, sepertinya berpadu satu. Selepas satu helaan nafas dalam, Ari pun berusaha menjawab, “Kak Indah, maafin aku, ya Kak. Aku juga gak tau kenapa sulit banget nata batinku sendiri.”

“Kamu bisa cerita ke kakak, Ri. Siapa tau bisa sedikit ngurangin beban pikiran kamu. Ada apa sebenernya?” sambung Indah seraya mengambil tangan Ari yang terkepal keras sejak tadi.

Ari hanya terdiam. Sepertinya ia merasa sulit memutuskan apakah ia harus menceritakan apa yang dirasakannya atau tidak. Setelah ia kembali bertemu pandang dengan mata Indah yang meyiratkan kepercayaan, ia pun mulai yakin untuk menceritakan hal itu.

“Kak Indah, aku malu sama Kakak. Aku… aku ngeraguin langkah ini, Kak. Aku gak tau kenapa aku begitu. Tapi hatiku bilang, it’s not suitable for me. Perubahan ini malah bikin aku aku ngerasa jadi orang lain, Kak.” Kini air wajah Ari melukiskan kekalutan yang mengkhawatirkan.

Mendengar hal itu, Indah pun tak kuasa menahan ekspresi wajahnya yang secara otomatis berangsur memucat seiring debar jantungnya yang kini berdentum tak teratur. Ada apa ini, ya Rabb. Kenapa Ari turun lagi seperti ini? Bukannya kemarin dia udah keliatan siap? Indah yang masih terus berujar khawatir dalam hatinya mulai angkat bicara, “Emangnya kenapa kamu jadi ragu lagi, Dek? Kakak liat kamu udah mantap kemarin. Malah kakak cenderung lebih suka sama penampilan kamu belakangan ini. Lebih cantik, Dek.” senyumnya tampak disunggingkan meskipun dengan sulitnya demi melambungkan keyakinan diri Ari lagi.

Ari yang sepertinya semakin terpancing untuk mengungkapkan segala hal kini melanjutkan curahan hatinya. “Entah, Kak. Saat aku ke kampus dengan penampilan kayak kemarin, dengan apa yang Kakak ajarin, aku justru merasa gak jadi diri aku sendiri yang dulu. Aku ngerasa kayak udah berubah dari karakter asliku, Kak. Aku malu sama temen-temenku di kampus. Kata mereka aku kayak orang salah kostum. Aku jadi ngerasa kayak badut, Kak. Aku gak suka!”

Kini Indah memutuskan untuk merapatkan duduknya dengan Ari. “Ari, kamu inget apa motivasi awal kamu untuk ngejalanin proses ini? Kamu pengen belajar, kan? Kamu pengen jadi Ari yang lebih baik, kan? Ari yang jadi wanita yang lebih layak dimuliakan, kan Dek?” Ari hanya mengangguk lemah. “Kakak bisa jamin, Dek. Kamu gak perlu jadi orang lain. Kamu akan tetap jadi Ari. Ari yang ceria, Ari yang jago basket. Ari yang anak Metal. Malah kamu bisa jadi Ari yang lebih baik. Karena kamu hanya menambah kualifikasi diri kamu, Dek. Kamu hanya meng-up grade diri kamu. Gak ada sesuatu yang kedengeran salah, kan?”

“Tapi, Kak. Temen-temenku udah bikin aku ngerasa jadi alien dengan perubahan kayak gitu. Sekarang aku malah jadi gak pede sama sekali, Kak. Aku jadi bingung. Mau tetep pake penampilan baru, tapi gak pede. Atau balik lagi kayak dulu, tapi aku jadi ngerasa munafik, Kak. Aku bener-bener bingung sekarang,” timpal Ari cepat.

“Hmm… Kakak sekarang paham dimana letak masalah kamu. Gini, Dek. Sekarang coba kamu tanya ke diri kamu sendiri. Kamu ingin ngelakuin perubahan ini untuk apa? Untuk siapa? Karena apa?” lanjut Indah, kali ini dengan nada yang lebih lembut.

Ari tampak berpikir. Ia tak segera menjawab pertanyaan itu. Sejujurnya Ari sendiri tidak pernah memikirkan hal itu sebenarnya. Semula ia hanya yakin bahwa langkah yang telah diputuskannya itu adalah cara yang baik untuk diambil. Hanya bermodalkan keyakinannya saja. Wajah di hadapannya masih tampak menunggu jawaban. Namun, Ari sendiri justru tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia pun menyerah.

“Hmm… kamu harus ngembaliin semua ini ke niat kamu lagi, Dek. Ingat hadits yang kita bahas waktu forum pekanan kita yang terakhir kan? Jika hijrahnya seseorang diniatkan hanya karena dunia yang dikehendakinya, maka ia hanya akan mendapatkan balasan sebatas hal keduniaan saja. Tapi jika hijrahnya seseorang diniatkan demi mendapatkan keridhoan Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan menuju kepada keridhoan itu.” jelas Indah perlahan.

Wajah Ari kini justru semakin tampak bingung. Indah pun melanjutkan, “Singkatnya, kalo kamu meniatkan ikhtiar ini untuk Allah, maka ejekan dari temen-temen kamu itu gak akan jadi rintangan berarti, Dek. Kamu gak akan ngerasa terganggu atau pun malu dengan apa kata orang. Karena yang terpenting buat kamu cuma cinta dari Allah buat kamu yang udah berusaha berubah ke arah yang lebih baik.”

“Jadi maksud Kakak, aku harus gimana?” ujar Ari polos.

Tangan Indah kini telah merangkul bahu Ari yang duduk di sampingnya. “Yuk, kita sama-sama benahin niat kita dulu, Dek. Coba kamu ikhlaskan semua ini sebagai sebuah ibadah. Cuma buat Allah, Dek. Dan manfaatnya, nanti kamu juga yang bakal nikmatin. Meskipun orang lain bilang kamu jadi aneh, gak usah dipikirin. Yang penting kamu harus yakin bahwa Allah udah muji-muji kamu dengan keberhasilan kamu dalam proses ini.”

“Apa bener bakal semudah itu, Kak?” tanya Ari lagi, kali ini dengan wajah penuh harap.

Senyum di paras berjilbab Indah kini makin sejuk, “Insyaallah, Dek. Allah akan mempermudah jalan hamba-Nya yang mau berikhtiar dengan ikhlas. Kakak janji kita akan belajar bareng untuk itu. Kamu harus yakin ya!”

Perlahan senyum tipis kini menghias wajah Ari. “Makasih, Kak. Sekarang aku ngerasa jauh lebih baik. Aku gak mau mundur lagi, Kak. Ayo, sekarang Kakak bantu aku ngelancarin ngaji lagi, ya!”

Ari segera beranjak mengambil mushafnya dan mengenakan mukena. Kini Indah telah siap dihadapannya, untuk membimbingnya adiknya yang satu itu memperbaiki dan memahami petuah suci Ilahi dalam kitab nan suci.
***
Gusti baru saja keluar dari kelas siang itu. Niat hatinya ingin mengisi waktu luang di masjid untuk beribadah Dhuha. Ketika sampai di jalan setapak dekat kantin, langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan seseorang yang seperti dikenalnya. Hanya saja ia agak lupa. Seorang wanita yang terlihat seperti mahasiswi, sedang berjalan ke arahnya, dengan pandangan yang terfokus pada ponsel di genggamannya. Setelah memutar otak sekali lagi akhirnya ia menyadari sesuatu.

“Ari? Ari Metal 2011?” tanyanya dengan sedikit nada ragu. Mahasiswi di depannya itu pun mengangkat wajahnya karena merasa dipanggil seseorang. “Gusti? Assalamualaykum,” sapanya singkat setelah mengkonfirmasi kehadiran seseorang yang memanggilnya.

Sejenak Gusti termangu dalam pemandangan baru yang tampak di hadapannya ini. Namun, beberapa detik kemudian ia pun tersadar dan mencoba kembali dalam percakapan yang baru saja dimulainya. “Oh, iya. Wa’alaykumsalam. Eh, dari mana, Ri?” kini bahkan senyum tipis telah menempel di wajahnya.

“Tadi dari masjid,” jawab Ari seperlunya dengan pandangan yang agak menunduk. “Lo mau ke masjid juga?” kali ini Ari yang bertanya sekedar basa-basi.

“Eh, iya. Mumpung luang, nanti masi ada kuliah lagi soalnya.” Kata Gusti.

“Oh, oke. Kalo gitu gue duluan ya, mau ada kelas nih. Assalamualaykum,” Ari berpamitan seraya melemparkan seulas senyum dengan pandangannya yang masih menatap lurus pada langkah kakinya sendiri. “Wa’alaykumsalam,” balas Gusti.

Gusti pun mulai memahami apa yang telah terjadi. Alhamdulillah. Ternyata Kak Indah udah berhasil. Akhirnya Ari paham juga. Dakwah akan tetap tegak di muka bumi ini. Insyaallah. Gusti pun meneruskan perjalanannya menuju masjid dengan senyum lega di wajahnya.
***
Pintu kelas masih terbuka. Pertanda dosen pengampu belum memasuki ruangan meskipun kelas sudah terdengar ramai. Ari yang kini telah siap masuk ke dalam ruangan menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu. Kali ini gue gak akan kalah hanya karena kata orang. Gue udah mantep sama keputusan gue. Gue suka jadi gue yang sekarang. Gue suka jadi perempuan. Gue bakal lebih konsisten dalam proses ini. Kak Indah, makasih ya atas dukungan Kakak. Aku gak akan ngecewain Kakak. Demi cinta Allah, aku akan berusaha jadi perempuan yang layak dimuliakan, Kak. Bismillahirrohamnirrohim.

Ari pun melangkahkan kakinya dengan tegas ke dalam kelas. Jilbab panjangnya pun terayun sepanjang perjalanan mencapai tempat duduknya. Tak lupa dilengkapinya penampilannya hari itu dengan senyum ramah sebagai salah satu amalannya kecilnya hari ini. Ari Indra Putri, dia telah menyukai dirinya yang seperti terlahir kembali.
***
(the end)

1 comment:

  1. Alhamdulillah, sekuel terakhir dari Cerbung 'Panggil Aku Perempuan' udah lahir.... setelah penundaan beberapa lama...

    Sebelum baca yang ini, ikutin juga ya sekuel 'Panggil Aku Perempuan' #1-#4, biar nyambung sama ceritanya... :)

    Makasih buat temen2 readers...^_^
    Nantikan cerita2 lainnya di label 'Story Telling'...

    Mohon doanya yaaa...

    ReplyDelete