“Bangun telat, kecipratan aer becekan, diceramahin Pak Sigalingging, aduh apalagi malapetaka yang bakal nimpa gue hari ini?” keluh Eya yang terlihat meratapi nasibnya di gazebo dekat kantin. Ia terus-menerus menekuk wajahnya, sambil menyimpulkan bibirnya yang nampak bagaikan roti lapis.
“Oi, Eya! Di sini lo kita cariin. Lagi dapat giliran ronda di gazebo?” datang Mia dengan suara khas yang keluar dari mulut embernya, bersama tiga orang sahabat mereka yang lain. “Iya, nih. Ngapain di sini lo sendirian? Enggak biasanya, Ya?” tanya Jiska yang tampak asyik BBM-an di Blackberry-nya.
Selepas helaan napasnya, Eya pun menjawab keingintahuan teman-temannya. “Duh, gue enggak tau nih, bencana alam apa lagi yang bakal nimpa gue abis ini?”
Iyus yang nampak bingung pun segera bertanya, “Hah? Emang bencana alam apa aja yang udah nimpa lo, Ya? Tsunami? Gempa bumi? Apa jebolnya tanggul Situ Ganteng?”
“Situ Gintung, Iyus.” koreksi Abi yang sejak tadi tampak menganalisa perbincangan.
“Aduh, plis deh. Kalo Eya kena bencana alam kayak gitu, kita udah pasti ikut jadi korban, secara kita kan 24 jam non-stop lengket sama Eya,” serobot Mia.
“Sebenernya emang lo kena apa, Ya? Cerita aja ama kita,” kata Jiska.
“Bayangin deh. Beberapa hari ini tuh gue kena malapetaka terus, ya semacam kesialan gitu deh,” jelas Eya.
Abi pun yang terkenal paling serius di antara mereka, akhirnya angkat bicara, “Emang lo percaya sama kesialan, Ya?”
“Gue enggak tau harus nyebut hal ini apa? Kemaren gue lupa bawa PR, kemarennya lagi ada burung yang nganggep pala gue ini toilet, trus hari ini gue kena semprot Pak Sigalingging, gimana besok?” keluh Eya sekali lagi.
Jiska yang tetap asyik BBM-an pun mencoba mendinginkan kepala Eya, “Tenang aja, Ya. Ada kesialan, ada hoki. Walaupun sekarang lo lagi sial, tapi suatu saat nanti lo bakalan hoki kayak gue. Lo tau kan, kalo Blackberry gue ini hadiah dari kuis di majalah Lucky Star. Hoki banget kan gue.”
“Iya, tapi kapan gue hoki? Gue udah capek nih, enggak ada hari tanpa masalah,” protes Eya.
Tiba-tiba Mia pun mengusulkan sesuatu, “Gini aja, kita kan sohib, Ya. Gimana kalo kita bantuin lo buat nemuin hoki lo itu. Gimana menurut kalian?”
“Sebenernya gue sih enggak terlalu percaya sama yang namanya hoki, menurut gue keberuntungan itu bakal datang sendiri saat waktunya tiba, tanpa harus kita cari. Tapi ya, asal itu bisa bikin temen kita yang satu ini semangat lagi, oke deh gue ikut,” ujar Abi.
“Gue sih setuju aja. Kalo Iyus sih, gue yakin enggak usah ditanya dia udah pasti mau. Ya enggak, Yus?” tanya Jiska sambil menyikut tangan Iyus.
Iyus yang tersentak pun menjawab, “Berhubung gue ini orang yang kompak dan setia kawan, jadi It’s OK, lah…”
Sambil tersenyum Eya berkata, “Thanks ya, guys! Kalian udah mau bantuin gue. Tapi, gimana caranya kita bisa nemuin hoki gue itu?”
“Nah, itu dia yang gue enggak tau,” jawab Mia singkat.
“Gimana kalo kita tanya sama orang yang paling hoki di dunia?” usul Iyus.
“Siapa? Emang ada orang kayak gitu?” tanya Abi yang tampak heran.
Dengan cepat Iyus menjawab, “Tukang Siomay.”
“Kok?” tanya Jiska keheranan.
“Kan kapanpun dan ke manapun tukang siomay pergi, dia selalu cetak di gerobaknya ‘Siomay Hoki’,” gurau Iyus.
“Ya, ilah, Yus,…Yus. Enggak sekalian aja lo bilang tukang ikan mas hoki?” celetuk Mia.
“Udah, udah. Kalian ini gimana sih? Katanya mau bantuin Si Eya. Malah becanda mulu. Serius dong! Serius!” tegas Abi.
“Ya, udah. Kayaknya kita juga enggak mungkin nemuin jalan keluarnya sekarang. Gimana kalo kita bicarain besok lagi, sambil kita cari cara di rumah,” usul Jiska.
****
Keesokan harinya, mereka membicarakan hal itu kembali di perjalanan mereka pulang sekolah.
“Hari ini apa lagi, Ya?” tanya Mia kepada Eya yang masih tampak lesu.
“Nih, muka gue ketumpahan bubur ayamnya Si Dodo. Sampe-sampe gue diketawain sama semua orang di kantin. Malu banget gue,” ujar Eya dengan ekspresi yang meyakinkan.
Mendengar kisah Eya, Iyus pun bersimpati, “Sabar, Ya. Dodo kan orangnya emang ceroboh, ya mungkin lo tadi salah tempat aja ada di situ.”
“Salah tempat sih salah tempat, Yus. Tapi pas banget tuh bubur nemplok di muka gue,” keluh Eya kesal.
Abi pun berusaha mendinginkan suasana, “Ya, udah. Sekarang kita balik ke topik semula. Ada yang udah dapet rencana belom buat nemuin hokinya Si Eya?”
Mia pun berteriak tiba-tiba, hingga membuat keempat temannya, mengorek telinga mereka.
“Gue….gue,” seru Mia.
“Slow aja kali, Mi. udah kaya ada di hutan aja,” protes Jiska.
Mia pun langsung melanjutkan apa yang ingin dikatakannya, “Gue denger dari tetangga gue yang tukang ikan, katanya kalo kita piara ikan arwana, itu bisa bawa hoki, lho,” ujar Mia dengan semangat.
Iyus pun segera berkomentar, “Kenapa enggak sekalian aja Si Eya dicium sama bibir sensualnya Tukul Arwana, siapa tau bisa lebih hoki.”
“Ih, Iyus. Gue serius,” ujar Mia kesal.
Kini Abi pun turut ambil bagian, “Kalo menurut gue, tetangga lo itu kan tukang ikan, siapa tau itu Cuma taktiknya aja biar ikan arwana dagangannya laku. Jadi ya, kita enggak boleh percaya gitu aja, dong.”
“Ya, gue kan cuma ngasih saran, kita denger aja dulu komentarnya Eya. Gimana, Ya?” tanya Mia dengan antusias.
Setelah terdiam sejenak, Eya pun berkomentar, “Emm, gimana ya? Gue ini kan orangnya enggak telaten kalo masalah ngurusin binatang piaraan, kalian inget kan Si Cucut, hamster gue yang mati gara-gara gue tinggal liburan. Ah, daripada gue bunuh satu hewan enggak berdosa lagi, mendingan pake cara lain aja, ya. Tapi gue hargain kok, usul lo. Thanks ya, Mi.”
“Enggak usah segen, Ya. Kita kan temen, ya enggak?” ujar Mia sambil tersenyum pada Eya.
“Oi, Jis! BBM-an mulu lo!” sahut Iyus spontan melihat Jiska yang sejak tadi asyik di hadapan Blackberry-nya.
Jiska yang nampak kesal pun memprotes Iyus, “Jas-jis, Jas-jis, Jiska! Panggil gue Jiska, J-I-S-K-A! Jangan seolah-olah dong.”
“Iya deh., Jiska. Lagian lu facebook-an mulu sih,” ujar Iyus.
“Gua BBM-an sekarang juga buat bantuin Eya, tau!” omel Jiska.
“Tunggu, deh. Apa hubungannya BBM-an sama bantuin Eya, Jis?” telisik Abi.
“Jiska! Yang lengkap dong! Nih, gue kasih tau, ya. Barusan gue udah tanya sama temen BBM-an gue yang moyangnya itu keturunan Cina. Nah, menurut ilmu Fengshui yang dia peajarin di Taipei sana, kesialannya Eya itu mungkin aja terjadi karena ada energi negatif yang belom dikeluarin dari dalam dirinya Eya,” jelas Jiska yang mendapat julukan ‘The Master of BBM’.
Mia yang mulai bingung pun bertanya, “Energi negatif? Maksud lo apaan sih? Bisa tolong diperjelas?”
Iyus yang tak kalah bingung pun, tak mau kalah, “Iya, lo ada-ada aja deh. Emangnya Eya itu batere apa, ada kutub positif ama kutub negatifnya?”
Jiska yang tampaknya tidak begitu mengerti pun mencoba menjelaskan, “Ya, mungkin Eya harus ngelakuin sesuatu biar energi negatifnya keluar.”
Mereka berlima kini terdiam sejenak. Mencoba memaknai energi negatif yang dimaksud. Setelah beberapa saat menguras otak, mereka pun mulai mendapat titik terang.
“Gimana kalo kita pake logika ujian. Kalo kita salah, kita dapat nilai minus. Sebaliknya kalo kita bener, kita dapet nilai plus,” jelas Abi yang selalu berpikir rasional.
Tiba-tiba Mia berusaha mengambil kesimpulan, “Jadi, mungkin lo udah ngelakuin kesalahan yang udah bikin energi negatif itu masuk ke dalam diri lo,….”
Seketika Iyus memotong dan melanjutkan kesimpulan Mia, “Dan elo harus ngelakuin suatu kebenaran dan perbaikin kesalahan itu biar elo dapat energi positif, trus lo bisa hoki, deh.”
“Wah, tumben lu nyambung, Yus. Kesamber gledek mana, lu?” sahut Jiska spontan.
“Biasa, sinyal kuat nyambung teruuus!” balas Iyus.
“Jadi, gimana Ya?” tanya Abi pada Eya yang masih tampak berpikir.
“Masuk akal juga sih. Tapi, apa bener kemalangan gue ini bakal berakhir, kalo energi negatif yang ada dalam diri gue udah keluar?” tanya Eya yang tampak ragu.
Jiska pun berusaha meyakinkan Eya, “Kita enggak bakal tau sebelum kita coba, Ya. Jadi menurut gue enggak ada salahnya kalo lo coba cara ini.”
“Oke deh, gue akan nerima saran kalian. Gue akan mulai dengan nginget-nginget kesalahan apa aja yang udah gue lakuin. Tapi nanti kalian bantuin gue perbaikin, ya!” ujar Eya optimis.
“Pastinya!!” sahut mereka kompak.
****
Di hari Minggu pagi yang cerah itu, Eya mengendarai sepeda gunungnya dengan maksud menikmati olahraga pagi sekaligus menyusuri kembali jalan yang telah ia lalui saat ia mengalami kesialan tempo hari.
“Semoga di pagi hari yang cerah ini, gue enggak ngalamin malapetaka kayak kemaren-kemaren. Gua harus ekstra waspada, nih,” gumam Eya yang kini mengamankan dirinya dengan atribut keselamatan lengkap. Mulai dari helm, pelindung sikut, lutut, sampai sepatu yang cukup safety.
Tempat tujuannya yang pertama ialah tempat di mana kepalanya menjadi korban jatuhnya kotoran burung. Tibalah ia di dekat pohon besar di mana peristiwa menyebalkan itu terjadi. Ditariknya tuas rem hingga sepeda yang ditumpanginya itu berhenti.
Eya pun mengamati keadaan sekeliling, termasuk bagian atas pohon besar itu. Ternyata di sana memang alamat di mana sarang keluarga burung dara berada.
Diamatinya lagi keadaan sekitar dengan lebih cermat guna menemukan kesalahannya. Tiba-tiba Eya dikejutkan oleh sesuatu hal. Ternyata di areal itu terdapat papan peringatan bertuliskan ‘Keep off the Grass’.
“Ya, ampun. Sekarang gue tau kesalahan gua apa. Gua yakin banget kalo waktu itu gua lewat pas di bawah pohon gede ini, dan ternyata gue nginjek rumput yang enggak boleh diinjek. Coba gue enggak ngelewatin rumput itu, pasti gue enggak bakal kejatuhan kotoran burung itu. Ceroboh banget gue,” gumam Eya spontan.
Setelah mengetahui kesalahannya yang pertama, ia pun melanjutkan kayuhan sepedanya menuju ke TKP lainnya. Dalam perjalanan itu, Eya mencoba berpikir mengenai apa yang telah menyebabkan dirinya lupa membawa PR dan terlambat bangun beberapa hari yang lalu.
“Kenapa waktu hari Selasa gue lupa bawa PR Kimia, ya?” pikir Eya dalam hati sambil tetap mengayuh sepedanya. Setelah memutar otaknya, akhirnya Eya teringat akan suatu hal.
“Oh, iya. Kalo enggak salah waktu itu gue ketiduran trus lupa masukin buku PR. Aduh coba gue enggak ketiduran. Lagi-lagi gara-gara kelalaian gue.” Katanya dalam hati saat ia menyadari satu lagi kesalahnnya.
“Sekarang, kenapa gue bangun telat waktu hari Rabu? Kenapa ya? Ayo pikir, Eya!” Eya terus mencoba berpikir. Tak lama kemudian ia pun tersadar akan sesuatu hal.
Eya baru ingat bahwa malam sebelumnya ia facebook-an hingga menjelang pagi. Pantas saja jika keesokan harinya ia terlambat bangun dan tergesa-gesa berangkat ke sekolah, hingga ia terkena cipratan air kubangan dan kemudian dimarahi Pak Sigalingging lantaran seragamnya yang kotor.
Ia pun berpikir bahwa semua ini semakin masuk akal. Namun tiba-tiba, “Gedubrak, Brak, Brak, Bruk…!!!” Eya kini mendapati dirinya tersungkur di dalam parit. Apakah ini masih bagian dari kesialannya?
****
Senin pagi menyapa kembali. Aktivitas kembali menggeliat. Eya, Mia, Jiska, Abi, dan Iyus nampak saling berpapasan di persimpangan jalan untuk berangkat sekolah bersama.
Eya yang tampak berseri pun menyapa, “Pagi semua!” Tampak senyumannya berkibar di pagi hari yang agak terik itu.
Mia yang merasa sedikit aneh pun bertanya kepada sahabat karibnya itu. “Wah,wah,wah. ada angin apa nih, Ya? Pagi-pagi gini lo udah sumringah.”
“Iya, padahal kemaren-kemaren kan lo selalu nekuk muka lo itu, ya kan?” tambah Jiska.
Iyus pun ingin ikut menyemarakkan suasana, “Lo abis menang undian, ya? Atau dapet souvenir cuma-cuma dari minimarket? Bagi-bagi dong, Ya!”
Setelah mendengar usikan dari sahabat-sahabatnya, Eya pun mulai berkata-kata, “Kemaren gue jatoh dari sepeda sampe nyemplung got.” Itulah yang Eya ceritakan sambil tetap menunjukkan wajahnya yang ceria.
Seketika itu pula Mia, Jiska, Abi, dan Iyus ternganga. Mereka hanya dapat saling memandang satu sama lain. Mereka benar-benar tak habis pikir terhadap gelagat temannya yang satu ini.
“Ya, ampun. Jangan-jangan lo udah jadi sinting gara-gara kesialan lo beberapa hari ini, ya? Duh sadar Eya, sadar!!” tukas Mia tanpa pikir panjang sambil menepuk-nepuk pipi Eya.
“Kalian ini kenapa, sih? Gue kan belom cerita soal kronologis kejadiannya,” ujar Eya.
“Oh, jadi masih ada ‘Misteri di balik jatuhnya Eya dari sepeda sampe kecebur got’ yang belom kita tau? Trus apa dong?” desak Jiska.
Eya pun memulai kisahnya mengenai apa yang telah disadarinya kemarin dari kemalangan yang selama ini menimpanya.
“….Jadi, gue sekarang sadar kalo ‘kesialan’ gue kemaren-kemaren itu, ya buah dari kesalahan dan kelalaian gue sendiri. Menurut gue, gue harus bisa lebih introspeksi diri lagi. Biar hal-hal semacam itu enggak terulang lagi suatu hari nanti,” jelas Eya.
“Jadi, kemaren itu lo jatoh gara-gara lo keasyikan mikir trus enggak liat-liat jalan? Emm, pantesan aja. Tapi syukur deh lo enggak jadi sinting,” ujar Mia.
“Ya enggak lah, Mi. Tapi setelah insiden itu, gue justru seneng. Karena gue udah tau kalo itu bukan kesialan, tapi emang guenya aja yang meleng. Dan untungnya karena gue udah prepare dari awal pake atribut lengkap, jadi enggak ada luka serius deh,” sambung Eya.
Abi yang sejak tadi hanya menjadi pendengar setia, akhirnya mengungkapkan isi kepalanya. “Ya, syukur deh, kalo elo udah sadar bahwa sesuatu hal itu enggak datang dengan sendirinya. Pasti ada sebab musababnya. Makanya, kita harus bisa belajar dari pengalamannya Eya. Kalo jadi orang itu harus selalu berpikir positif dan introspektif.”
“Bahasa lo, Bi, Bi. Udah kayak engkong-engkong haji. Ketinggian!” sambar Iyus.
“Tapi, gue setuju kok sama ceramahnya Engkong Haji Abi,” tambah Eya dengan senyumannya.
“Oh, gitu. Eh, tapi Ya. Soal hoki lo yang lagi lo cari itu gimana? Apa udah ada something special yang lo alamin? Ayo dong cerita!” desak Jiska ingin tahu.
“Something Special? Kayaknya belom tuh,” jawab Eya singkat.
“Yah… kalo gitu kita belom berhasil dong, buat bantuin lo nemuin keberuntungan lo itu,” keluh Mia.
“Something special sih, emang kayaknya belom ada, tapi kalo someone special, kayaknya gue tau deh siapa, “ ujar Eya.
“Serius lo, Ya? Wah kenapa lo enggak cerita-cerita ama kita. Emangnya someone special lo itu siapa sih?” telisik Mia.
Perjalanan mereka pun kini telah mencapai mulut gerbang sekolah. Di sana Eya menghentikan langkah sejenak untuk memberi tahu jawaban dari pertanyaan hati teman-temannya.
“Emm…someone special itu namanya…. Mia, Jiska, Abi ama Iyus,” jelas Eya.
“Hah,…kita? Gue aja kaleee,” celetuk Iyus. “Hu…. ngarep lo?” sambar Jiska.
“Kok kita?” tanya Abi.
Dengan nada meyakinkan Eya menjawab, “Kalian itu udah bikin gue ngerasa jadi orang yang paling beruntung di dunia ini. Gue ngerasa beruntung karena gue punya sahabat kayak kalian. Sahabat yang selalu support gue, dan selalu ada saat gue seneng atau pun susah.”
“Ah, Eya. Bikin kita jadi ge-er aja. Lagian kita seneng kok, kalo bisa bisa bentuin sahabat kita, ya enggak?” ujar Jiska sambil merangkul Eya.
“Bener banget tuh,” tambah Iyus.
“Jadi masih mau cari hoki lo, Ya?” tanya Mia.
“Emmm, ….. sebenenernya gue udah merasa beruntung banget kok, tapi … boleh deh. Dengan syarat kalian harus tetep jadi ‘Agen Rahasia Pencari Hoki Eya. OK?” ujar Eya dengan sedikit gurauan.
“Pastinya!!” sahut Mia, Jiska, Abi, dan Iyus diikuti gelak tawa.
****
No comments:
Post a Comment