Dunia
perfilman tanah air semakin berwarna dengan kehadiran film “Hanya Kerudung
Sampah” yang dirilis pada 29 September lalu. Film garapan rumah produksi
Bedasinema Pictures ini mengangkat tema yang berani sekaligus amat sensitif.
Melalui drama yang sederhana dan dekat dengan kehidupan masyarakat, film ini
ingin menyampaikan kritik sosial terhadap berbagai fenomena yang telah terjadi
dewasa ini. Fenomena sosial yang agaknya makin menjamur meski berjuta pasang
mata melihatnya sebagai penyimpangan yang abnormal.
Kini tidak
bisa dipungkiri bahwa pecandu narkoba, transgender
(waria), bahkan penyuka sesama jenis telah begitu populer eksistensinya di
kalangan masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa mereka adalah wabah dan
radang yang menyakiti sendi-sendi moral kehidupan manusia. Namun, sayup-sayup
mulai terdengar mulut-mulut yang berkata bahwa mereka juga punya hak, mereka
hanya tak punya pilihan lain, dan mereka juga bagian dari masyarakat. Paham-paham
yang mulai ditelusupkan untuk membuka pemakluman yang sebesar-besarnya bagi
mereka yang dicap menyimpang itu.
Fenomena
janggal yang mulai menggelitik berbagai kalangan itu disajikan oleh sang
sutradara-Humar Hadi-dalam balutan cerita yang akan membuat siapapun
penikmatnya hanyut dalam sebuah refleksi. Melalui kisah Salma (RN. Azizah M.),
seorang mahasiswi yang begitu teguh memegang prinsip hidupnya sebagai seorang
muslimah. Di tengah perjalanan hidupnya, ia pun mengalami kejadian yang membuka
matanya akan suatu hal yang selama ini tak disadarinya. Tentang bagaimana ia
memandang orang lain yang berbeda di sekitarnya, juga tentang bagaimana ia
memandang dirinya sendiri. Pemahaman yang akhirnya ia peroleh ketika dikenalnya
sosok Pingkan (Bismo Satrio), Rio (Abie Jie Assegaff), dan Bayu (Mikoyanoferdi)
melalui sebuah buku harian yang tak sengaja ia temukan di kamar kosnya. Sebuah
buku harian tua yang mengungkap kisah hidup ketiga sahabat dengan penyimpangan
masing-masing itu; Pingkan yang seorang waria pekerja seks, Rio yang seorang
pecandu narkoba, dan Bayu yang menyukai sesama jenis.
Dalam
ulasannya, Humar Hadi menyampaikan bahwa film ini berusaha mengungkap tabir di
balik fenomena yang mulai merajalela di masyarakat itu. Tentang orang-orang
yang banyak dianggap mengalami penyimpangan karena tidak memiliki pilihan lain
dalam hidupnya. Mereka yang memilih jalan menyimpang tersebut atas nama hak
asasi manusia. Perjuangan orang-orang menyimpang dalam upaya kembali meluruskan
jalannya yang dikisahkan dalam film ini, menggambarkan bagaimana HKS berusaha menunjukkan
bahwa sesungguhnya tidak ada yang lebih baik selain menjalani kehidupan
sebagaimana mestinya. Bahwa penyimpangan bukanlah satu-satunya pilihan, namun
masih terbuka kesempatan bagi siapapun yang ingin kembali pada fitrahnya
sebagai manusia. Siapapun, dengan catatan kehidupan segelap apapun, punya
peluang untuk menuju cahaya-Nya kembali.
Sajian yang
menggugah dari film berdurasi 50 menit ini, pastinya menjadi angin segar bagi insan
pecinta film di Indonesia. Sehingga bukan hanya soal keuntungan semata,
melainkan pesan moral serta teknik sinematografi yang berkualitaslah yang menjadi
nilai tambah bagi film ini. Tentunya, tidak ada yang lebih baik daripada mampu
tersampaikannya pesan moral tersebut secara massif
kepada kalangan masyarakat, khususnya kaum muda Indonesia. (fun)
Image taken from:
http://umankady.blogspot.com/2013/06/resensi-film-pendek-hanyakerudungsampah.html
No comments:
Post a Comment