Thursday, 14 June 2012

CerBung Juni 2012

Sepasang Matahari #1

"Tetap diatur nafasnya Bu, ini rambutnya udah keliatan!" suara bidan wanita terampil itu terdengar kembali memotivasi calon ibu yang tengah terbaring berjuang di hadapannya. Kedua tangan pasien ini tampak menggenggam tepian bantal yang mengalasi kepalanya dengan daya yang kian menguat. Tampak kelelahan di wajahnya terlukis dari buliran peluh yang berkerumun di sekitar dahinya. Persalinan tersebut telah berlangsung setengah jam lamanya. Di luar ruang bersalin tengah menunggu seorang pria yang tampak tak bisa menyembunyikan raut cemasnya. Berulang kali diliriknya arloji yang melingkari pergelangan tangan kanannya demi memastikan seberapa jauh pergerakan sang jarum menit.

"Gimana Mar?" tanya seorang pria yang tampak seumuran dengannya ketika tepukan tangan pria itu di bahunya memecah perhatiannya yang terus tertuju pada pintu kamar bersalin. "Ah, Diq. Udah setengah jam di dalem. Masih proses. Gimana istri kamu, Diq?" balas Umar.

"Sabrina juga masih di dalem, Mar. Aku cuma bisa berdoa semoga semuanya dimudahkan. Tenangkan diri kamu, Mar. Lebih baik kita banyak berdoa. Itu hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk mendukung istri-istri kita yang lagi berjuang di sana." ujar Sidiq.

"Terima kasih kamu udah ngingetin aku, Diq. Aku yakin Afifah juga bisa melalui ini semua dengan baik. Semoga keberkahan mengiringi kelahiran anak-anak pertama kita, ya." kata Umar seraya menepuk punggung sahabatnya yang kini juga tengah menanti kelahiran anak pertamanya di bidan yang sama.

"Keluarga Ibu Sabrina?" sahut seorang wanita berseragam putih bersih dengan masker yang menggantung di dagunya. Sidiq yang segera merasa terpanggil pun menyahut seraya menuju kea rah datangnya suara. "Iya, saya. Duluan ya, Mar."

Tak lama kemudian panggilan serupa kembali terdengar, "Keluarga Ibu Afifah?" "Alhamdulillah. Ya, saya." sahut Umar dengan senyuman yang segera terlukis di wajahnya.

"Selamat Pak, Alhamdulillah, bayinya laki-laki, lahir dengan sehat. Beratnya 3kg, Pak." lapor salah seorang petugas persalinan yang menemui Umar di muka pintu. Mendengar kabar gembira tersebut, Umar pun seketika menyeruak ke dalam kamar bersalin untuk segera menemui Afifah.

"Fah, Alhamdulillah. Bayi kita lahir dengan sehat. Kamu hebat, Fah." ucap Umar ketika telah mencapai tepi ranjang tempat Afifah yang masih tampak banjir peluh terbaring lemas. Dikecupnya kening Afifah demi menenangkan jiwa istrinya yang kini teraliri bulir-bulir bening penuh keharuan. "Alhamdulillah," ucap Afifah yang tampak masih lemah demi mensyukuri anugerah terindah yang telah dikaruniakan-Nya sehingga kini ia telah menyandang status sebagai seorang ibu. Disambutnya genggaman tangan Umar dengan genggaman tangannya yang lebih erat.

"Oh ya. Aku mau menemui Sidiq dulu, Fah. Aku tak sabar membagi kabar bahagia ini. Aku juga akan segera menghubungi Bapak dan Ibu di rumah." ujar Umar lalu diikuti langkah kakinya yang bergegas menuju ke luar ruangan.

Sesampainya Umar di muka pintu kamar bersalin Afifah, tampak Sidiq yang tengah berjalan ke arahnya dengan wajah yang tak kalah berseri darinya. Dalam hati Umar, ia sudah menerka apa gerangan kabar yang ingin disampaikan oleh sahabat karibnya itu.

"Umar, seharusnya kamu udah bisa nebak apa yang mau kusampaikan," ujar Sidiq dengan rona wajah yang kian berbinar. "Alhamdulillah, Bro. Selamat ya," ucap Umar dengan tawa bahagianya seraya menyambut Sidiq yang telah menghambur memeluk tubuhnya. "Selamat juga buat kamu, Mar. Gak nyangka ya, kita bisa jadi ayah di saat yang sama." timpal Sidiq diikuti oleh tawa yang lebih renyah.

Baru saja melepaskan pelukan Sidiq, terbersit sebuah ide di kepala Umar. "Tunggu, jangan ada yang tanya duluan anak kita laki-laki atau perempuan. Kita mesti sebutin bareng-bareng." "Oke, siap ya Bro." timpal Sidiq dengan wajah ceria. "Satu, dua, tiga! Laki-laki." "Perempuan." ujar Umar dan Sidiq bersamaan dengan semangat yang sama-sama memuncak. Keduanya lantas berjabat tangan erat begitu mendengar jenis kelamin anak pertama mereka masing-masing. Senyum sumringah tak pernah terlepas dari wajah mereka.

"Eh, udah siap nama belom, Mar?" tanya Sidiq dengan nada sedikit menggoda. "Hmm… tiba-tiba barusan dapet ide, berani sebut nama anak kita?" timpal Umar yang diakhiri kembali dengan tantangan pada Sidiq. "Boleh." Ujar Sidiq. Kembali keduanya bersiap menyebutkan jawaban yang kini adalah nama anak mereka masing-masing. Dan dalam waktu yang tak meleset kesamaannya, keduanya pun menyahut dengan semangat, "Mentari." "Surya." Seketika pikiran Umar dan Sidiq terlempar sejenak pada pencernaan informasi yang baru saja sama-sama mereka dapatkan dari satu sama lain. Menyadari kebetulan yang amat menarik ini, keduanya pun kembali berpelukan dengan tawa yang pecah kembali.

"Ini pasti kehendak Allah buat kita, Mar." ujar Sidiq masih dalam pelukan akrabnya dengan Umar. "Iya, Diq. Ini pasti jalan-Nya untuk mempersaudarakan kita, kawan." sahut Umar tak kalah bahagianya. Kedua ayah muda ini pun mengakhiri prosesi berbagi kebahagiaan itu dengan janji untuk saling menjaga persaudaraan mereka bersama istri dan anak mereka. 

Dan hari itu menjadi hari yang indah bagi Umar dan Sidiq. Kehadiran Surya dan Mentari kini menjadi pelengkap kehidupan pernikahan keduanya, yang sekaligus juga menjadi pemupuk tali sillaturahmi yang kian erat bagi keluarga sepasang sahabat itu.

Dua matahari kecil pun kini terlahir ke dunia. Siap menjelajah bumi demi meraih pelajaran yang tersimpan dalam setiap inchi relung dunia. Surya dan Mentari, mereka kini siap mengembara demi mencari makna dari kata menyinari.
∞∞∞
(to be continued…)


No comments:

Post a Comment