Tuesday, 22 May 2012

Begitulah Seorang Guru di Negeri ini

Di negeri ini, pendidikan tidak hanya sebatas aktivitas formal yang berlangsung di dalam kelas. Pendidikan tidak hanya diwarnai dengan kegiatan belajar mengajar atau sekedar meneliti di laboratorium. Pendidikan adalah bagian dari kultur negeri ini. Bukan sekedar hak asasi yang wajib dinikmati oleh setiap warga Negara. Namun lebih dari itu, pendidikan telah mendarah daging dalam jiwa setiap penduduk negeri.

Guru dan murid. Mereka bukanlah orang lain. Mereka bukan hanya orang-orang yang terkoneksi karena profesi. Tidak hanya terhubung karena urusan akademis belaka. Tapi di negeri ini, mereka adalah keluarga. Mereka selayaknya orang tua dan anaknya. Mereka berbagi banyak hal, tentang pengetahuan, tentang kehidupan.

Seorang guru. Di negeri ini, mereka tidak hanya mentrasfer ilmu kepada murid-muridnya. Seorang guru tidak hanya menjabarkan berbagai rumus di papan tulis. Mereka tidak hanya melakukan itu semua untuk memenuhi tanggung jawab profesinya. Seorang guru, mereka memberi dan menyentuh muridnya lebih dalam, lebih jauh. Mereka tidak hanya menjadi referensi pendidikan bagi muridnya. Tapi lebih dari itu. Begitulah seorang guru di negeri ini.

Aku telah merasakannya. Sebagai murid tentunya. Aku telah menemukan guruku. Pengajarku sekaligus orang tua bagiku. Ya, semasa SMP dulu, aku telah merasakannya. Ikatan yang istimewa antara aku dan guruku. Kisah yang indah di masa putih biruku. Bahkan senyum lekat selalu terlukis di wajahku di kala aku mengenangnya saat ini.

Masa-masa aku menikmati pendidikan di sekolah menengah pertama memang saat-saat yang tak dapat tergantikan. Di sana aku tidak hanya menuntut ilmu, tapi aku juga dapat merasakan menantangnya kompetisi, menariknya organisasi, juga nyamannya persahabatan. Ya, persahabatanku semasa SMP. Memang terdengar biasa saja. Namun, persahabatanku tidak hanya sekedar bersenda dan belajar bersama teman sepemainan. Persahabatanku lebih istimewa. Persahabatanku dengan guruku.

Begitulah hubungan kami. Lebih dari sekedar guru dan murid. Kami bersahabat. Ada kalanya aku begitu patuh pada instruksinya di kelas, dan ada saatnya aku dapat sedikit bermanja dengan mereka, selayaknya orang tua kandungku. Mereka tidak pernah enggan mendengarkan celoteh muridnya. Mereka tidak pernah menganggap itu sebagai sebuah gangguan. Mereka tidak ragu memberiku rangkulan akrab. Mereka tidak ragu mengajakku mendengarkan kisah hidupnya di rumah. Mereka melakukannya dengan senang hati. Mereka selalu ada bagi muridnya yang senantiasa istimewa bagi mereka.

Sampai saat ini, keistimewaan itu pun masih terasa. Persahabatan kami tidak pernah sirna. Setiap kunjunganku, disambut mereka dengan senyuman. Tak ragu mereka menggenggam tanganku sambil berkisah panjang lebar tentang aku dan teman-temanku di bangku sekolah dulu. Mungkin itu adalah sebuah penghiburan kecil baginya. Nostalgia manis di usianya yang semakin senja. Ah, mereka tak bosan melakukannya. Hatiku pun merasa nyaman, ketika dapat kurasakan kehangatan genggaman tangan itu. Genggaman yang tak pernah mengendur keeratannya, bahkan lebih erat seolah tak ingin melepas pergi murid yang disayanginya. Mereka lah guruku yang mengasihiku layaknya keluarga mereka sendiri. Betapa bersyukurnya aku.

Guruku, mereka selalu istimewa bagiku. Begitupun aku dan murid-murid yang lain di mata mereka. Mereka selalu kukagumi, bahkan sampai saat ini. Mereka menyayangi muridnya selayaknya putera-puteri kandung mereka sendiri. Mereka mendidik tidak hanya dengan tenaga dan pikiran, namun mereka juga mendidik dengan hati. Aku selalu dapat merasakan hal itu. Kehangatan kasih seorang guru.
****

Terkadang aku dan teman-temanku sulit diatur. Kami menjadi lepas kendali dan lupa situasi. Kenakalan anak-anak remaja. Mungkin bisa disebut wajar. Terkadang guruku pun menjadi marah. Kesabaran mereka merasa diuji. Mereka pun mengambil tindakan yang sedikit tegas. Mereka pun sengaja menguji mental kami. Sedikit kejutan bagi jiwa remaja kami yang masih labil. Melihat mereka naik pitam, kami pun takut. Kami pun terdiam seketika. Seluruh energi kami serasa diserap habis-habisan. Mereka bagaikan pesulap yang menyihir kami semua dalam satu kali sentakan. 

Begitulah guruku. Meskipun mereka terlihat begitu menakutkan saat memarahi kami, tapi aku dapat memahaminya. Mereka pasti merasa terpaksa melakukan hal itu. Semuanya hanya karena kenakalan kami. Aku tahu mereka melakukan hal itu demi kebaikan kami. Sama sekali tidak ada maksud lain. Semua itu demi mendidik kami. Agar kami menjadi kuat. Agar kami semakin mengerti. Aku tahu itu, karena mereka tidak selalu melakukannya. Hanya jika diperlukan saja. Bijak. Itulah kata yang tepat.

Menjadi murid mereka adalah masa-masa terindah bagiku. Bahkan sampai saat ini, ketika aku sudah tidak bersama mereka lagi. Dulu, aku selalu berusaha untuk menjadi murid yang baik. Murid yang berprestasi. Murid yang bisa membanggakan guru-guru yang kucintai. Ya, aku hanya ingin melihat mereka tersenyum bangga. Demi mengapresiasi pengorbanan mereka sedikit lebih tinggi. Walaupun sedikit saja.

Aku pun dengan senang hati mengejar hal itu. Dan aku semakin senang setelah dapat menjadi salah satu kebanggaan mereka. Ya, aku dapat melihatnya. Ketika aku memenangkan kompetisi satu per satu, semakin sering senyum kudapati di wajah guruku. Mereka pun terlihat makin menyayangiku. Itulah hadiah manis bagi seorang murid dari gurunya. Begitulah seorang guru di negeri ini. Mereka tidak hanya mengajar, tapi juga mendukung muridnya sepenuh hati. 

Itulah yang kusadari sebagai karakter guru di negeri ini. Guru yang akan selalu mengingat muridnya, bahkan sekalipun sang murid sudah tak sanggup mengingat namanya. Betapa sebuah kemampuan yang begitu hebat. Mengingat nama seorang murid yang istimewa baginya, di antara ratusan bahkan ribuan murin yang telah dididiknya. Itulah yang telah kurasakan dari guru di negeri ini.

Inilah mengapa aku mengatakannya. Suatu ketika aku berkunjung kembali ke bangunan tempatku belajar di masa SMP itu. Saat itu jam pulang sekolah sudah datang. Para guru masih tampak berbincang di ruang guru sambil mengemasi barang-barang mereka. Aku pun memberanikan diri untuk masuk. Lebih karena didorong oleh rasa rindu setelah sekian bulan-bahkan tahun tidak berjumpa dengan mereka. 

Betapa malunya aku. Mereka semua masih mengingatku. Sungguh senang hati ini mendengarnya. Namun mengapa aku malu? Bagaimana tidak? Aku melupakan nama salah satu guru yang pernah menjadi pembimbingku pada salah satu perlombaan yang kuikuti dulu. Memang bukan sengaja aku melupakannya. Tapi tetap saja itu benar-benar membuatku merasa serba salah. Aku pun tak hentinya meminta maaf setelah menyerah menebak nama Beliau, dan terpaksa bertanya kembali seperti orang yang baru pertama kali berkenalan. Dalam hati aku benar-benar mengutuk diriku sendiri. Murid macam apa aku ini?  

Saat itu aku takut sekali. Aku takut akan kesalahan yang kuanggap fatal ini. Tersinggungkah Beliau? Terlukakah Beliau? Ah, tak sedikitpun tersirat rasa itu di wajahnya. Beliau tetap tersenyum ramah padaku seperti seharusnya. Padahal muridnya yang satu ini dengan teganya telah melupakan namanya. Maaf Pak, saya benar-benar menyesal. Saya bukan murid yang baik.

Tidak. Tak sekalipun mereka menyalahkanku. Tak sekalipun mereka mendendam pada muridnya. Hanya membiarkan muridnya belajar dari kesalahan itu. Itu saja. Begitu cara mereka mendidikku.

Mereka tak pernah menuntutku. Mereka tak butuh diingat oleh semua muridnya. Hanya jika muridnya berhasil, itulah kebahagiaan bagi mereka. Memang benar. Pahlawan tanpa tanda jasa. Sungguh tak ada tanda penghargaan yang dapat melukiskan betapa mulia jasa mereka. Guruku. Begitulah mereka.
****

Betapa pemandangan yang khas, yang hanya dapat kutemukan di negeri ini. Hanya dapat kurasakan dalam pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang berlandaskan keikhlasan. Pendidikan yang ada bukan hanya demi pengakuan. Di sinilah letak keistimewaan pendidikan di negeri ini. Kualitasnya bukan hanya dilihat dari pencapaian luarnya. Tapi tampak pada kepribadian pelaku-pelakunya. Karakter guru dan muridnya. 

Bahasa itu sangat kental. Bahasa di negeri ini, antara guru dan muridnya. Bahasa yang menghubungkan mereka dalam tali keluarga. Membuat pendidikan di negeri ini semakin menarik untuk diselami, semakin menantang untuk ditumbuhkan. Bahasa itulah yang akan menjadi kunci bagi peradaban pendidikan yang lebih baik di negeri ini.

Kepribadian bahasa ini yang kelak akan menghasilkan kualitas pendidikan yang tak diragukan lagi di negeri ini. Pendidikan yang berkarakter. Pendidikan yang tidak hanya tersedia di dalam kelas, namun juga pendidikan yang berjalan kontinyu di setiap detik keseharian. Pendidikan yang tidak hanya disampaikan oleh guru saat jam pelajarannya, namun juga pendidikan yang dihembuskan seorang guru pada sang murid dalam setiap helaan nafasnya.

Betapa bersyukur aku menjadi bagian dari pendidikan di negeri ini. Menjadi seorang murid yang telah mengecap asam manisnya pendidikan di sini. Indahnya kisahku dengan guruku adalah satu-satunya alasan yang membuatku tak sanggup mengecam pendidikan di negeri ini. Tidak, jika hanya untuk sekedar mengecam. Karena aku bisa melakukan yang lebih dari itu. 

Kusadari negeri ini telah memiliki modal utama yang dapat diberdayakan. Pendidikan di negeri ini telah memiliki karakter yang kuat sehingga mampu memperbaiki kualitasnya dari waktu ke waktu. Senjatanya adalah atmosfer pendidikan itu sendiri yang ramah dan bersahabat.

Ya, inilah yang seharusnya diberdayakan, dilanjutkan, dilestarikan. Karakter pendidikan yang seperti inilah yang menjadi kepribadian negeri ini. Guru dan murid lah yang ada di belakangnya. Tidak lain tidak bukan, guru dan murid di negeri ini sendiri yang akan dapat mencipta pendidikan yang jauh lebih berkualitas dari sebelumnya.

Aku ingin menjadi salah satu kontributornya. Berkat pengalaman yang telah kurasakan. Berkat pendidikan bersahabat yang telah kukecap selama ini. Aku ingin meneruskannya di negeri ini. Aku ingin juga jadi pendidik yang baik di sini. Pendidik yang menjadikan muridnya sebagai someone special, untuk diedukasi sekaligus dikasihi. Seperti yang telah dicontohkan oleh guru-guru di negeri ini.

Mereka yang telah membentukku. Mengantarkan pola pikirku pada sudut pandang yang lebih luas. Menginspirasiku untuk bertindak lebih mulia. Berkontribusi dalam perjuangan yang lebih menantang. Perjuangan dalam medan pendidikan negeri ini. Sungguh, mereka lah inspiratorku. Penuntunku sekaligus sahabatku.
****

Mengajar akan selalu menjadi cara terefektif untuk menyentuh setiap hati. Mendidik akan selalu menjadi jalan keluar bagi permasalahan di negeri ini. Dan kuncinya adalah ketulusan dari para guru. Mereka yang melaksanakan amanah sepenuh hati, tidak hanya sekedar menyelesaikan tanggung jawab profesi. Mereka yang tidak memandang seberapa besar mereka digaji, demi tersampaikannya ilmu dan informasi. Mereka yang mampu mengenal dan memahami murid-muridnya untuk keefektifan pendidikan itu sendiri.

Aku ingin jadi seperti mereka. Guruku. Yang akan selalu senang dapat mengingat muridnya yang brilian. Yang tidak peduli apakah dirinya akan dikenang atau dilupakan. Yang hanya berharap hal terbaik untuk setiap muridnya dari generasi ke generasi. Aku ingin jadi seperti mereka. Guru di negeri ini.

Harapan kecil ini mungkin hanya pemanis saja. Pemanis di antara beribu pemeluk harapan lainnya, yang senantiasa menginginkan masa depan pendidikan negeri ini yang lebih baik. Lebih berkualitas, lebih merata. Tak ada satu pun murid yang tak tersentuh kasih seorang guru. Tak ada satu pun guru yang tak dapat menjangkau jemari muridnya.

Dedikasi adalah semangat yang dapat mewujudkan itu semua. Pasti. Dedikasi untuk pendidikan negeri ini. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Dan menjadi salah seorang pewujudnya adalah sebuah prestasi. Kebanggaan tersendiri. Penghargaan yang akan tetap istimewa walaupun tidak datang dari pengakuan orang lain. Penghargaan sebagai buah dari ketulusan yang kupelajari dari mereka, guruku.

Betapa ingin aku menemui mereka saat ini. Memohon izin dan restu untuk niatku yang satu ini. Berterima kasih atas segala teladan yang telah mereka tunjukkan padaku. Mengutarakan kebahagiaanku telah memiliki guru terbaik di negeri ini. Berujar bahwa aku sudah tak sabar untuk meneruskan jejak mereka. Segera bertemu dengan murid-murid kecilku, dan mengajar banyak hal tentang dunia. Mengedukasi dengan pendidikan moral dan pelajaran kehidupan. Persis seperti yang mereka wariskan padaku.

Ya, kelak aku akan menjadi salah seorang dari mereka. Seorang yang akan mendidik tanpa batasan profesi. Ini semua karena kutahu, mendidik adalah salah satu cara untuk hidup selamanya. Saat kelak usiaku tak dapat dirajut lagi, aku akan tetap hidup dalam jiwa murid-muridku. Sebagai seorang yang berarti dalam perjalanan hidup pendekar-pendekar kecil itu. Sama seperti mereka, guruku yang akan selalu hidup dalam sanubariku. Guruku yang akan selalu tercermin dalam kepribadianku.

Mengenang masa sekolah itu, semakin membakar semangatku. Memacu adrenalinku untuk terus melaju di lajur ini. Aku tidak akan berhenti, tidak ingin mengecewakan mereka. Kali ini aku ingin meneruskan cita-cita mereka. Cita-cita mulia dari para guru di negeri ini. Karena inilah dedikasiku, inilah ucapan terima kasihku. Untuk mereka, guru-guru terbaik di negeri ini.
****

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Lirik dan lagu oleh: Sartono

Terpujilah wahai engkau
Ibu-Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup
dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir
di dalam hatiku

Sebagai prasasti terima kasihku
tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita
dalam kegelapan
Engaku laksana embun penyejuk
dalam kehausan

Engkau patriot pahlawan bangsa
tanpa tanda jasa…


Untuk para guru,
 penggenggam masa depan pendidikan di negeri ini…

No comments:

Post a Comment