Di negeri ini,
pendidikan tidak hanya sebatas aktivitas formal yang berlangsung di dalam kelas.
Pendidikan tidak hanya diwarnai dengan kegiatan belajar mengajar atau sekedar
meneliti di laboratorium. Pendidikan adalah bagian dari kultur negeri ini.
Bukan sekedar hak asasi yang wajib dinikmati oleh setiap warga Negara. Namun
lebih dari itu, pendidikan telah mendarah daging dalam jiwa setiap penduduk
negeri.
Guru dan murid.
Mereka bukanlah orang lain. Mereka bukan hanya orang-orang yang terkoneksi
karena profesi. Tidak hanya terhubung karena urusan akademis belaka. Tapi di
negeri ini, mereka adalah keluarga. Mereka selayaknya orang tua dan anaknya.
Mereka berbagi banyak hal, tentang pengetahuan, tentang kehidupan.
Seorang guru. Di
negeri ini, mereka tidak hanya mentrasfer ilmu kepada murid-muridnya. Seorang
guru tidak hanya menjabarkan berbagai rumus di papan tulis. Mereka tidak hanya
melakukan itu semua untuk memenuhi tanggung jawab profesinya. Seorang guru,
mereka memberi dan menyentuh muridnya lebih dalam, lebih jauh. Mereka tidak
hanya menjadi referensi pendidikan bagi muridnya. Tapi lebih dari itu.
Begitulah seorang guru di negeri ini.
Aku telah
merasakannya. Sebagai murid tentunya. Aku telah menemukan guruku. Pengajarku
sekaligus orang tua bagiku. Ya, semasa SMP dulu, aku telah merasakannya. Ikatan
yang istimewa antara aku dan guruku. Kisah yang indah di masa putih biruku.
Bahkan senyum lekat selalu terlukis di wajahku di kala aku mengenangnya saat ini.
Masa-masa aku
menikmati pendidikan di sekolah menengah pertama memang saat-saat yang tak
dapat tergantikan. Di sana aku tidak hanya menuntut ilmu, tapi aku juga dapat
merasakan menantangnya kompetisi, menariknya organisasi, juga nyamannya
persahabatan. Ya, persahabatanku semasa SMP. Memang terdengar biasa saja.
Namun, persahabatanku tidak hanya sekedar bersenda dan belajar bersama teman
sepemainan. Persahabatanku lebih istimewa. Persahabatanku dengan guruku.
Begitulah hubungan
kami. Lebih dari sekedar guru dan murid. Kami bersahabat. Ada kalanya aku
begitu patuh pada instruksinya di kelas, dan ada saatnya aku dapat sedikit
bermanja dengan mereka, selayaknya orang tua kandungku. Mereka tidak pernah
enggan mendengarkan celoteh muridnya. Mereka tidak pernah menganggap itu
sebagai sebuah gangguan. Mereka tidak ragu memberiku rangkulan akrab. Mereka
tidak ragu mengajakku mendengarkan kisah hidupnya di rumah. Mereka melakukannya
dengan senang hati. Mereka selalu ada bagi muridnya yang senantiasa istimewa
bagi mereka.
Sampai saat ini,
keistimewaan itu pun masih terasa. Persahabatan kami tidak pernah sirna. Setiap
kunjunganku, disambut mereka dengan senyuman. Tak ragu mereka menggenggam tanganku
sambil berkisah panjang lebar tentang aku dan teman-temanku di bangku sekolah
dulu. Mungkin itu adalah sebuah penghiburan kecil baginya. Nostalgia manis di
usianya yang semakin senja. Ah, mereka tak bosan melakukannya. Hatiku pun
merasa nyaman, ketika dapat kurasakan kehangatan genggaman tangan itu.
Genggaman yang tak pernah mengendur keeratannya, bahkan lebih erat seolah tak
ingin melepas pergi murid yang disayanginya. Mereka lah guruku yang mengasihiku
layaknya keluarga mereka sendiri. Betapa bersyukurnya aku.
Guruku, mereka selalu
istimewa bagiku. Begitupun aku dan murid-murid yang lain di mata mereka. Mereka
selalu kukagumi, bahkan sampai saat ini. Mereka menyayangi muridnya selayaknya
putera-puteri kandung mereka sendiri. Mereka mendidik tidak hanya dengan tenaga
dan pikiran, namun mereka juga mendidik dengan hati. Aku selalu dapat merasakan
hal itu. Kehangatan kasih seorang guru.
****
Terkadang aku dan
teman-temanku sulit diatur. Kami menjadi lepas kendali dan lupa situasi.
Kenakalan anak-anak remaja. Mungkin bisa disebut wajar. Terkadang guruku pun
menjadi marah. Kesabaran mereka merasa diuji. Mereka pun mengambil tindakan
yang sedikit tegas. Mereka pun sengaja menguji mental kami. Sedikit kejutan
bagi jiwa remaja kami yang masih labil. Melihat mereka naik pitam, kami pun
takut. Kami pun terdiam seketika. Seluruh energi kami serasa diserap
habis-habisan. Mereka bagaikan pesulap yang menyihir kami semua dalam satu kali
sentakan.
Begitulah guruku.
Meskipun mereka terlihat begitu menakutkan saat memarahi kami, tapi aku dapat
memahaminya. Mereka pasti merasa terpaksa melakukan hal itu. Semuanya hanya
karena kenakalan kami. Aku tahu mereka melakukan hal itu demi kebaikan kami.
Sama sekali tidak ada maksud lain. Semua itu demi mendidik kami. Agar kami menjadi
kuat. Agar kami semakin mengerti. Aku tahu itu, karena mereka tidak selalu
melakukannya. Hanya jika diperlukan saja. Bijak. Itulah kata yang tepat.
Menjadi murid mereka
adalah masa-masa terindah bagiku. Bahkan sampai saat ini, ketika aku sudah tidak
bersama mereka lagi. Dulu, aku selalu berusaha untuk menjadi murid yang baik.
Murid yang berprestasi. Murid yang bisa membanggakan guru-guru yang kucintai.
Ya, aku hanya ingin melihat mereka tersenyum bangga. Demi mengapresiasi
pengorbanan mereka sedikit lebih tinggi. Walaupun sedikit saja.
Aku pun dengan senang
hati mengejar hal itu. Dan aku semakin senang setelah dapat menjadi salah satu
kebanggaan mereka. Ya, aku dapat melihatnya. Ketika aku memenangkan kompetisi
satu per satu, semakin sering senyum kudapati di wajah guruku. Mereka pun
terlihat makin menyayangiku. Itulah hadiah manis bagi seorang murid dari
gurunya. Begitulah seorang guru di negeri ini. Mereka tidak hanya mengajar,
tapi juga mendukung muridnya sepenuh hati.
Itulah yang kusadari
sebagai karakter guru di negeri ini. Guru yang akan selalu mengingat muridnya,
bahkan sekalipun sang murid sudah tak sanggup mengingat namanya. Betapa sebuah
kemampuan yang begitu hebat. Mengingat nama seorang murid yang istimewa
baginya, di antara ratusan bahkan ribuan murin yang telah dididiknya. Itulah
yang telah kurasakan dari guru di negeri ini.
Inilah mengapa aku
mengatakannya. Suatu ketika aku berkunjung kembali ke bangunan tempatku belajar
di masa SMP itu. Saat itu jam pulang sekolah sudah datang. Para guru masih
tampak berbincang di ruang guru sambil mengemasi barang-barang mereka. Aku pun
memberanikan diri untuk masuk. Lebih karena didorong oleh rasa rindu setelah
sekian bulan-bahkan tahun tidak berjumpa dengan mereka.
Betapa malunya aku.
Mereka semua masih mengingatku. Sungguh senang hati ini mendengarnya. Namun
mengapa aku malu? Bagaimana tidak? Aku melupakan nama salah satu guru yang
pernah menjadi pembimbingku pada salah satu perlombaan yang kuikuti dulu.
Memang bukan sengaja aku melupakannya. Tapi tetap saja itu benar-benar
membuatku merasa serba salah. Aku pun tak hentinya meminta maaf setelah
menyerah menebak nama Beliau, dan terpaksa bertanya kembali seperti orang yang
baru pertama kali berkenalan. Dalam hati aku benar-benar mengutuk diriku sendiri.
Murid macam apa aku ini?
Saat itu aku takut
sekali. Aku takut akan kesalahan yang kuanggap fatal ini. Tersinggungkah
Beliau? Terlukakah Beliau? Ah, tak sedikitpun tersirat rasa itu di wajahnya.
Beliau tetap tersenyum ramah padaku seperti seharusnya. Padahal muridnya yang
satu ini dengan teganya telah melupakan namanya. Maaf Pak, saya benar-benar menyesal. Saya bukan murid yang baik.
Tidak. Tak sekalipun
mereka menyalahkanku. Tak sekalipun mereka mendendam pada muridnya. Hanya
membiarkan muridnya belajar dari kesalahan itu. Itu saja. Begitu cara mereka
mendidikku.
Mereka tak pernah
menuntutku. Mereka tak butuh diingat oleh semua muridnya. Hanya jika muridnya
berhasil, itulah kebahagiaan bagi mereka. Memang benar. Pahlawan tanpa tanda
jasa. Sungguh tak ada tanda penghargaan yang dapat melukiskan betapa mulia jasa
mereka. Guruku. Begitulah mereka.
****
Betapa pemandangan
yang khas, yang hanya dapat kutemukan di negeri ini. Hanya dapat kurasakan
dalam pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang berlandaskan keikhlasan.
Pendidikan yang ada bukan hanya demi pengakuan. Di sinilah letak keistimewaan
pendidikan di negeri ini. Kualitasnya bukan hanya dilihat dari pencapaian
luarnya. Tapi tampak pada kepribadian pelaku-pelakunya. Karakter guru dan
muridnya.
Bahasa itu sangat
kental. Bahasa di negeri ini, antara guru dan muridnya. Bahasa yang
menghubungkan mereka dalam tali keluarga. Membuat pendidikan di negeri ini
semakin menarik untuk diselami, semakin menantang untuk ditumbuhkan. Bahasa
itulah yang akan menjadi kunci bagi peradaban pendidikan yang lebih baik di
negeri ini.
Kepribadian bahasa
ini yang kelak akan menghasilkan kualitas pendidikan yang tak diragukan lagi di
negeri ini. Pendidikan yang berkarakter. Pendidikan yang tidak hanya tersedia
di dalam kelas, namun juga pendidikan yang berjalan kontinyu di setiap detik keseharian.
Pendidikan yang tidak hanya disampaikan oleh guru saat jam pelajarannya, namun
juga pendidikan yang dihembuskan seorang guru pada sang murid dalam setiap helaan
nafasnya.
Betapa bersyukur aku
menjadi bagian dari pendidikan di negeri ini. Menjadi seorang murid yang telah
mengecap asam manisnya pendidikan di sini. Indahnya kisahku dengan guruku
adalah satu-satunya alasan yang membuatku tak sanggup mengecam pendidikan di
negeri ini. Tidak, jika hanya untuk sekedar mengecam. Karena aku bisa melakukan
yang lebih dari itu.
Kusadari negeri ini
telah memiliki modal utama yang dapat diberdayakan. Pendidikan di negeri ini
telah memiliki karakter yang kuat sehingga mampu memperbaiki kualitasnya dari
waktu ke waktu. Senjatanya adalah atmosfer pendidikan itu sendiri yang ramah
dan bersahabat.
Ya, inilah yang
seharusnya diberdayakan, dilanjutkan, dilestarikan. Karakter pendidikan yang
seperti inilah yang menjadi kepribadian negeri ini. Guru dan murid lah yang ada
di belakangnya. Tidak lain tidak bukan, guru dan murid di negeri ini sendiri
yang akan dapat mencipta pendidikan yang jauh lebih berkualitas dari
sebelumnya.
Aku ingin menjadi
salah satu kontributornya. Berkat pengalaman yang telah kurasakan. Berkat
pendidikan bersahabat yang telah kukecap selama ini. Aku ingin meneruskannya di
negeri ini. Aku ingin juga jadi pendidik yang baik di sini. Pendidik yang menjadikan
muridnya sebagai someone special,
untuk diedukasi sekaligus dikasihi. Seperti yang telah dicontohkan oleh
guru-guru di negeri ini.
Mereka yang telah
membentukku. Mengantarkan pola pikirku pada sudut pandang yang lebih luas.
Menginspirasiku untuk bertindak lebih mulia. Berkontribusi dalam perjuangan
yang lebih menantang. Perjuangan dalam medan pendidikan negeri ini. Sungguh,
mereka lah inspiratorku. Penuntunku sekaligus sahabatku.
****
Mengajar akan selalu
menjadi cara terefektif untuk menyentuh setiap hati. Mendidik akan selalu
menjadi jalan keluar bagi permasalahan di negeri ini. Dan kuncinya adalah
ketulusan dari para guru. Mereka yang melaksanakan amanah sepenuh hati, tidak
hanya sekedar menyelesaikan tanggung jawab profesi. Mereka yang tidak memandang
seberapa besar mereka digaji, demi tersampaikannya ilmu dan informasi. Mereka
yang mampu mengenal dan memahami murid-muridnya untuk keefektifan pendidikan
itu sendiri.
Aku ingin jadi
seperti mereka. Guruku. Yang akan selalu senang dapat mengingat muridnya yang
brilian. Yang tidak peduli apakah dirinya akan dikenang atau dilupakan. Yang hanya
berharap hal terbaik untuk setiap muridnya dari generasi ke generasi. Aku ingin
jadi seperti mereka. Guru di negeri ini.
Harapan kecil ini
mungkin hanya pemanis saja. Pemanis di antara beribu pemeluk harapan lainnya,
yang senantiasa menginginkan masa depan pendidikan negeri ini yang lebih baik. Lebih
berkualitas, lebih merata. Tak ada satu pun murid yang tak tersentuh kasih
seorang guru. Tak ada satu pun guru yang tak dapat menjangkau jemari muridnya.
Dedikasi adalah
semangat yang dapat mewujudkan itu semua. Pasti. Dedikasi untuk pendidikan
negeri ini. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Dan menjadi salah seorang pewujudnya
adalah sebuah prestasi. Kebanggaan tersendiri. Penghargaan yang akan tetap
istimewa walaupun tidak datang dari pengakuan orang lain. Penghargaan sebagai
buah dari ketulusan yang kupelajari dari mereka, guruku.
Betapa ingin aku
menemui mereka saat ini. Memohon izin dan restu untuk niatku yang satu ini. Berterima
kasih atas segala teladan yang telah mereka tunjukkan padaku. Mengutarakan
kebahagiaanku telah memiliki guru terbaik di negeri ini. Berujar bahwa aku
sudah tak sabar untuk meneruskan jejak mereka. Segera bertemu dengan
murid-murid kecilku, dan mengajar banyak hal tentang dunia. Mengedukasi dengan
pendidikan moral dan pelajaran kehidupan. Persis seperti yang mereka wariskan
padaku.
Ya, kelak aku akan
menjadi salah seorang dari mereka. Seorang yang akan mendidik tanpa batasan
profesi. Ini semua karena kutahu, mendidik adalah salah satu cara untuk hidup
selamanya. Saat kelak usiaku tak dapat dirajut lagi, aku akan tetap hidup dalam
jiwa murid-muridku. Sebagai seorang yang berarti dalam perjalanan hidup
pendekar-pendekar kecil itu. Sama seperti mereka, guruku yang akan selalu hidup
dalam sanubariku. Guruku yang akan selalu tercermin dalam kepribadianku.
Mengenang masa
sekolah itu, semakin membakar semangatku. Memacu adrenalinku untuk terus melaju
di lajur ini. Aku tidak akan berhenti, tidak ingin mengecewakan mereka. Kali
ini aku ingin meneruskan cita-cita mereka. Cita-cita mulia dari para guru di
negeri ini. Karena inilah dedikasiku, inilah ucapan terima kasihku. Untuk
mereka, guru-guru terbaik di negeri ini.
****
Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa
Lirik dan lagu oleh: Sartono
Terpujilah wahai engkau
Ibu-Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup
dalam sanubariku
Semua
baktimu akan kuukir
di
dalam hatiku
Sebagai
prasasti terima kasihku
tuk
pengabdianmu
Engkau sebagai pelita
dalam kegelapan
Engaku laksana embun penyejuk
dalam kehausan
Engkau
patriot pahlawan bangsa
tanpa
tanda jasa…
Untuk para guru,
penggenggam masa depan pendidikan di negeri ini…
No comments:
Post a Comment