“Sinta!” seorang wanita
muda tampak melambaikan tangannya pada salah seorang wanita lain yang sedang
mengantri di meja prasmanan. Yang merasa dipanggil pun memutar wajah,
mencari-cari sumber suara.
“Ah, Tika! Lama ya,
kita tidak bertemu. Apa kabar?” Sinta akhirnya menemukan siapa yang
memanggilnya tadi. Ia pun segera keluar dari antrian dan segera menghujani
kawan lamanya itu dengan rangkulan erat.
Tika yang akhirnya
berhasil menarik perhatian Sinta pun menyambut rangkulan itu dengan senyum
lebar, tak kalah riang. “Alhamdulillah,
aku baik. Iya, sudah sekitar dua tahun kita tak jumpa. Kudengar kamu pindah ke
Surabaya, ya?”
Kedua wanita yang
sekarang telah mengambil tempat di sisi ruangan itu pun tampak memulai
perbincangan. “Iya nih, setelah
menikah aku ikut suami. Kebetulan bisnisnya di sana. Mulai hidup baru lah aku,
Tik. Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku, di Bogor saja,
Ta. Masih bantu-bantu di yayasan orang tuaku. Untunglah ada resepsinya si Sekar
ya, jadi kita bisa sekalian reuni. Oh iya, suamimu mana? Tidak ikutkah dia?”
tawa ringan Tika mengiringi kalimatnya.
“Ikutlah. Dia tadi
sedang mengantri di bagian antrian prasmanan putera. Eh, iya, si Sekar itu mau menikah
diam-diam saja, ya. Tiba-tiba saja, undangannya sudah sampai ke alamat rumah
kita.” ujar Sinta menyambung obrolan. “Iya, aku sampai kaget, Ta. Padahal aku
tidak pernah tahu sejarahnya Sekar menaksir atau ditaksir seseorang.” tambah
Tika.
“Tapi kudengar,
suaminya Sekar ini mantan pacarnya dulu lho,
Tik.” lanjut Sinta. “Ah, malah menggosip kamu. Kita kan tahu, dari dulu Sekar itu anak baik, lurus-lurus saja
tingkahnya. Tak mungkinlah, Ta.” Tika tampak mengibaskan tangannya di hadapan
Sinta.
“Iya juga, sih. Mungkin kabar itu cuma isu saja,
ya. Yang pasti aku ikut senang dengan pernikahan Sekar. Dia dulu yang selalu
mengingatkan kita kan, untuk jaga
diri dan jaga hati sebelum dapat suami.” Sinta tersenyum ringan mengingat
pertemanan mereka dulu.
“Iya. Tak perlulah kita
mengurus kabar-kabar tidak jelas macam itu. Justru kita yang harus mendukung kehidupan
baru teman kita itu. Sekar dulu selalu baik pada kita. Sudah seperti ibu kita
sendiri, kan?” Barisan gigi putih
Tika ikut muncul bersama tawa renyahnya.
“Setujulah aku. Eh,
ambil makan, yuk! Sudah berdendang nih, perutku.” ajak Sinta. “Ayolah kalau
begitu,” sambut Tika sambil mengikuti langkah Sinta menuju antrian prasmanan
khusus puteri.
***
“Alhamdulillah, resepsi hari ini lancar, ya.” ujar Sekar usai mandi
dan berganti pakaian. Saat ini ia tengah berada di kediaman orang tuanya.
Segala persiapan gedung dan perlengkapan harus ia dan suaminya persiapkan
sendiri. Maklum saja, karena Sekar sendiri adalah anak tunggal. Ia lantas urung
menyibukkan ayah-ibunya yang sudah berumur.
“Ini baru yang pertama.
Kamu pasti belum lupa dengan resepsi di Lampung nanti, kan? Alhamdulillah, di
sana adik-adik perempuanku sudah membantu mempersiapkan keperluan. Sehingga nanti
kita tak perlu serepot ini.” Seorang pria yang kini duduk di sampingnya berucap
menenangkan.
Sekar kini tidak duduk
sendiri. Kebiasaan lama yang masih ia lakukan sampai sekarang pada setiap
malamnya, kini bertambah seorang partisipan lagi. Menatap langit dari beranda
kamar usai menunaikan sholat isya’ telah menjadi semacam kegemaran baginya sejak
bertahun lalu. Sejak sebuah awal cerita yang panjang.
Demi melunasi kerinduan
pada segala hal yang terpisah jauh darinya, Sekar memulai kebiasaan itu.
Menatap langit yang luas di malam hari. Ia berharap dapat melihat suatu benda
yang mampu menghibur hatinya. Benda itu. Benda langit yang sudah pasti sama
seperti yang dilihat oleh orang-orang terkasihnya di manapun mereka berada.
Rembulan.
Kini rembulan itu tak
hanya punya satu penonton setia. Sekar telah bersama seseorang yang tampaknya
akan menjadi teman setianya menatap sang dewi malam. “Kamu tidak pernah bosan,
ya? Rembulan yang sama dengan yang dilihat orang-orang yang kita sayangi di
mana saja.” Aji menyambung kalimatnya.
Sekar yang tak
menyangka akan mendapat lawan bicara pun menoleh ke arah pemilik suara itu.
“Kamu yakin akan tahan berlama-lama di sini bersamaku?”
Aji justru lebih
menyamankan posisi duduknya. “Bukankah ini ajaranku dulu? Kamu pikir aku lupa?”
Aji kini telah meletakkan kedua telapak tangannya di belakang kepala.
***
Seketika Sekar seperti
terbawa ke masa lalu. Jelas ia pun masih ingat saat-saat itu. Protesnya yang
terlontar berkali-kali, tampaknya tak mampu mengubah keadaan yang harus terjadi.
Bangku sekolah menengah pertama yang baru saja diselesaikannya dan juga Aji,
mesti menjadi penanda berpisahnya mereka dulu. Ya, saat itu Sekar merasa begitu
tidak terima. Ia tidak dapat menyetujui sama sekali kepindahan yang diputuskan
oleh Aji dan keluarganya.
Bapak Aji yang
merupakan seorang petugas polisi menerima surat pindah tugas ke daerah Lampung.
Terpaksalah mereka sekeluarga memboyong harta benda serta kehidupan yang telah
mereka bangun sejak lama di Badung. Sama seperti ketika mereka pertama kali
pindah ke Badung dari daerah asal mereka di Palangkaraya. Menjadi bagian dari
lingkungan baru sudah jadi semacam tuntutan yang harus pandai mereka amalkan.
Senyum tipis seketika
tersungging dari wajah Sekar begitu mendengar ucapan Aji barusan. “Kenapa?
Pasti kita dulu tampak bodoh sekali, ya?” sambung Aji begitu mendapati senyuman
aneh di wajah istrinya itu.
“Kamu ini. Kupikir lucu
saja, apa yang terjadi pada kita dulu. Anak-anak SMP ingusan yang senang coba
ini-itu. Tak tahu benar mana yang baik, mana yang bukan. Kerjanya hanya
ikut-ikutan saja.” ujar Sekar sambil kembali menatap langit yang malam itu
menyerupai lapangan bintang.
“Kamu yakin itu sekedar
ikut-ikutan? Hanya permainan yang tak berarti apa-apa?” usik Aji yang masih
tetap asyik dengan posisi duduknya.
Sekar tak lantas
menjawab pertanyaan itu. Pikirannya kini sibuk sendiri seperti mengamini
sesuatu. Sekar jelas tak dapat memungkiri bahwa apa yang telah dilaluinya
bersama Aji bukan sekedar pertemanan biasa. Mereka tumbuh bersama sejak
kanak-kanak di tanah Badung. Keluarga mereka memang tidak dekat. Tempat tinggal
pun berjauhan. Namun, kala itu mereka dipertemukan di sekolah yang sama. Hanya
beda kelas saja. Aji kelas 2A, Sekar kelas 2B.
Sekar masih ingat jelas
pertemuan pertama mereka di halaman belakang sekolah, ketika Aji kecil menolongnya
yang tersungkur saat sedang mengejar seekor kupu-kupu. Dari sana, mulailah
persahabatan mereka yang bagaikan kakak-beradik di masa kecil itu.
Mereka berdua sama-sama
terbiasa mandiri sejak kecil. Orang tua mereka sibuk dengan urusan pekerjaan masing-masing.
Jadilah Sekar dan Aji menjadi sahabat yang saling memperhatikan satu sama lain.
Aji tak segan mengantar Sekar sepulang sekolah. Dulu, Aji kecil hanya berani
mengantar sampai gerbang desa. Tentu karena hari sudah terlalu sore, sementara
dia sendiri juga harus pulang ke rumahnya di desa seberang.
Sekar masih ingat betul
kalimat sederhana yang amat lugu ketika mereka menghabiskan waktu istirahat di
halaman belakang sekolah dulu. Tempat rahasia mereka berdua. “Kamu tahu tidak,
apa cita-citaku?” Aji kecil berkata dengan semangatnya. Sekar kecil hanya
menggelengkan kepalanya. “Aku ingin jadi polisi gagah macam bapakku. Setelah
aku jadi polisi nanti, aku akan melindungi kamu, Sekar. Kamu akan kubela dari
semua penjahat di muka bumi ini. Ingat saja kata-kataku ini, Sekar.” Aji kecil
berseru lantang dengan telapak tangan yang ditepuk-tepukkannya ke dada.
Senyum Sekar kembali
muncul kala terlintas lagi ucapan Aji kecil itu. Sekar sendiri ingat betul
ketika ia begitu mempercayai kata-kata itu. Langsung membayangkan ketika kelak
punya pelindung pribadi seorang polisi gagah, macam body guard saja. Janji masa kecil yang dulu sempat dikiranya telah
pupus. Menguap begitu saja oleh jarak dan waktu yang memisahkan mereka setelah
kepindahan Aji. Meski selama ini Sekar akui bahwa ia tak pernah bisa melupakan
janji itu. Jauh di dalam hatinya, ia masih berharap janji itu sempat terwujud.
Ya, dulu janji itu
seolah telah terlupakan begitu saja. Sekar sendiri hampir menyerah dengan
perasaannya. Masa SMP yang juga mereka lewati bersama. Sebab kala itu tak
banyak gedung sekolah yang bisa mereka masuki. Maka peluang bersekolah di
tempat yang sama pun menjadi sangat besar bagi Aji dan Sekar yang baru lulus
SD. Mereka masih akrab seperti di masa SD dulu. Bedanya, Sekar dan Aji kini
sudah tumbuh menjadi sepasang remaja. Masa-masa pubertas, saat mereka makin
penasaran dengan dunia yang tengah mereka pijaki.
Suatu hari ketika
mereka tengah berjalan kaki bersama sepulang sekolah seperti biasanya, Sekar
yang tampak berkutat dengan pikirannya sendiri memulai pembicaraan. “Aji, boleh
aku tanya sesuatu?” Aji hanya menoleh, tentu
saja, begitu kira-kira arti air mukanya. Sekar sedikit mengulur ucapannya,
“Hmm… apa menurut kamu, kita ini… berpacaran?” Hening sejenak. “Seperti Kak
Doni dan Kak Vera?” imbuh Sekar dengan menyebutkan sepasang kakak kelas yang
belakangan menjadi bahan gosip satu sekolah.
Aji tiba-tiba
menghentikan langkahnya. Kini telah berdiri takzim menghadap Sekar yang ikut
berhenti setelahnya. “Sekar, dengarkan aku. Aku tidak peduli orang menyebut
kita berpacaran atau apalah. Yang pasti, kita akan tetap seperti ini sampai
kapanpun. Kamu tetap orang yang istimewa untuk aku, Sekar.” Aji menutup
jawabannya dengan tatapan yang langsung menjurus ke kedua mata Sekar. Pandangan
yang begitu dalam, hingga membuat Sekar tak mampu berkata apa-apa lagi.
Dalam batinnya, Sekar bagai
melayang ke langit tertinggi. Orang yang istimewa, predikat itu saja sepertinya
sudah lebih dari cukup bagi Sekar. Memang mereka tak memerlukan deskripsi untuk
sebuah hubungan. Hanya perlu saling berbagi dan melindungi satu sama lain.
Itulah yang begitu mereka yakini saat itu, sekaligus begitu ingin mereka
pertahankan sampai kapanpun.
Namun, waktu itu
ternyata ada batasnya. Ketika hari perpisahan itu tiba, Aji harus mengabarkan
kepergiannya dengan berat hati kepada Sekar. Air wajah Sekar berubah seketika. Berkali
ia bertanya kenapa dan mengingatkan Aji akan janji-janji kebersamaan mereka.
Namun, tak seorang pun di antara mereka yang bisa mengubah keadaan. Aji yang
masih SMP tak sanggup menolak keputusan orang tuanya. Lagipula mereka
sekeluarga telah sama-sama menyadari bahwa kepindahan tugas adalah suatu hal
yang lumrah bagi seorang petugas polisi.
“Sekar, maafkan aku.
Aku tak punya pilihan lain selain ikut bapak-ibuku pergi. Maafkan karena aku
harus meninggalkan kamu sendiri di sini. Biarpun kita terpisah jauh, tapi kita
tetap berada di bawah langit yang sama, Sekar. Kita masih bisa melihat rembulan
yang sama di langit. Percayalah, kamu akan tetap jadi orang yang istimewa
buatku.” Itulah kalimat perpisahan dari Aji untuk Sekar.
***
“Aku benar-benar tidak
menyangka, ternyata kita bisa bertemu di perguruan tinggi yang sama. Kupikir
kamu sudah menjadi polisi berpangkat-pangkat di Lampung sana. Sepeti
cita-citamu dulu.” Sekar yang masih menikmati udara malam Badung yang sejuk dari
beranda kamarnya, kembali membuka pembicaraan.
Mendengar kalimat itu,
Aji tersenyum tipis. “Itu cita-citaku waktu kecil dulu. Masih zaman SD. Masih
mungkin aku berubah pikiran, bukan? Entah kenapa, aku hanya ingin belajar lebih
banyak di perguruan tinggi, mencari bidang apa yang sebenarnya kugemari.
Jadilah aku kuliah di sana.” Dalam batinnya, Aji sendiri tahu, bahwa hanya ada
satu alasan atas putusnya cita-cita menjadi polisi itu.
Aji yang baru saja
lulus SMA dulu menolak anjuran bapaknya untuk melanjutkan pendidikan ke akademi
kepolisian. Ada satu alasan utama yang tidak ia utarakan pada bapaknya waktu
itu. Karena setiap kali membayangkan menjadi seorang polisi, ia langsung
teringat pada janji itu. Janji masa kecilnya di halaman belakang sekolah. Janji
untuk melindungi Sekar. Dipikirnya, untuk apa lagi melanjutkan cita-cita masa
kecil itu. Toh, orang yang begitu ingin dilindunginya tidak berada di dekatnya.
Jadilah Aji banting setir dengan dalih mencari jati diri, merantau di sebuah
kota di Jawa Barat. Tak disangka, ia justru bertemu dengan orang yang begitu
ingin dijumpainya di kota tersebut. Tanpa direncanakan sebelumnya.
“Kamu tahu, sebenarnya
aku sudah tahu kamu kuliah di sana sejak tahun pertamaku. Waktu itu, aku kenal
dengan salah seorang teman yang ternyata kuliah di fakultas yang sama denganmu.
Ia sedang memperlihatkan padaku foto-foto kegiatan konferensi yang ia ikuti.
Dan tanpa sengaja, aku lihat wajah yang seperti kukenal di sana. Lantas aku
bertanya pada temanku itu. Siapa gadis berkerudung hijau dalam salah satu foto
itu. Dari sanalah aku tahu bahwa itu kamu. Setelah kukonfirmasi mengenai asal
daerahmu, aku pun yakin bahwa kita tidak lagi terpisah jauh, Sekar. Padahal aku
sempat tidak percaya bahwa itu kamu. Karena dulu kan kamu tidak berkerudung.”
ujar Aji yang masih betah duduk di sampingnya.
Sekar tampak begitu
terkejut mendengar pengakuan itu. “Lalu, kenapa kamu tidak mencoba mengabariku?
Malah setelah lulus kamu baru berani menghubungiku, sambil melamar pula.” Sekar
jadi teringat ketika 6 bulan lalu, dari salah seorang kakak senior ia memperoleh
kabar bahwa ada tawaran dari seorang pria yang ingin mengenalnya lebih jauh,
dan meminangnya menjadi seorang istri. Bukan main terkejutnya ia waktu itu.
Bertanya-tanyalah ia siapa gerangan pria yang menginginkannya menjadi
pendamping hidup. Makin terkejut lagi ketika akhirnya ia tahu bahwa pria itu
adalah seseorang yang punya cerita tersendiri bersamanya. Hanya saja, kini
orang itu telah berubah menjadi pria yang dewasa dan matang. Tampak paham
dengan tindakan yang diambilnya.
“Sebenarnya, dulu aku
sempat ingin menghubungimu. Tapi kuurungkan niatku. Akhirnya, aku mulai
menghubungimu dengan bantuan seseorang setelah aku merasa mantap dengan
keputusanku. Lebih baik seperti ini, bukan?” terang Aji yang menyadari
keputusannya yang dirasa tepat.
Sebenarnya saat itu Aji
begitu takut belum bisa mengendalikan diri. Senangnya bukan main ketika ia tahu
Sekar juga berada di satu atap perguruan tinggi dengannya. Namun, ia tidak
ingin merusak apa yang telah dijaganya selama ini dengan baik. Sebentuk ruang
di hati yang sengaja dikosongkannya demi menjemput seorang yang akan bertahta
selamanya di sana. Dan sejujurnya, ia begitu tahu siapa yang diinginkannya
untuk menduduki singgasana itu. Namun apa daya. Mahasiswa tanggung yang masih
perlu banyak belajar tentang kehidupan, belum terhitung mampu mengambil
tanggung jawab atas hidup seseorang. Setidaknya itulah yang dirasakannya waktu
itu.
Ia pun memilih untuk
tetap menjaga semuanya seperti sedia kala. Mengikuti apa yang hendak diberikan
takdir padanya. Menunggu hingga waktu yang tepat tiba. Berharap Sekar yang tak
pernah menyadari keberadaannya, juga bersedia menanti jemputannya dengan sabar.
Mencegah tumbuhnya fitnah dan interaksi bodoh yang miskin manfaat, seperti yang
nekat mereka jalani dulu semasa remaja. Karena Aji hanya berusaha mengendalikan
hatinya.
“Tapi, aku senang.
Sekarang, aku bisa berakhir bersama kamu seperti ini. Kamu yang lebih baik.
Sekar yang sekarang sudah bukan anak kecil lagi. Persis seperti apa yang aku
cita-citakan. Melindungi kamu kelak. Meskipun aku bukan polisi, iya kan?” lelucon kecil mengiringi wajah Aji
yang kini menatap Sekar.
Rembulan yang malam itu
sempurna bundar pun, puas mereka tatap lekat sepanjang malam. Agenda menatap
sang dewi malam yang kini lebih hangat dengan genggaman tangan erat dari sang
kekasih sejati. Sekar dan Aji, cinta mereka kini kembali dengan cara yang baik.
No comments:
Post a Comment