Monday, 11 March 2013

Jalan Cintanya Kembali

“Sinta!” seorang wanita muda tampak melambaikan tangannya pada salah seorang wanita lain yang sedang mengantri di meja prasmanan. Yang merasa dipanggil pun memutar wajah, mencari-cari sumber suara.
“Ah, Tika! Lama ya, kita tidak bertemu. Apa kabar?” Sinta akhirnya menemukan siapa yang memanggilnya tadi. Ia pun segera keluar dari antrian dan segera menghujani kawan lamanya itu dengan rangkulan erat.
Tika yang akhirnya berhasil menarik perhatian Sinta pun menyambut rangkulan itu dengan senyum lebar, tak kalah riang. “Alhamdulillah, aku baik. Iya, sudah sekitar dua tahun kita tak jumpa. Kudengar kamu pindah ke Surabaya, ya?”
Kedua wanita yang sekarang telah mengambil tempat di sisi ruangan itu pun tampak memulai perbincangan. “Iya nih, setelah menikah aku ikut suami. Kebetulan bisnisnya di sana. Mulai hidup baru lah aku, Tik. Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku, di Bogor saja, Ta. Masih bantu-bantu di yayasan orang tuaku. Untunglah ada resepsinya si Sekar ya, jadi kita bisa sekalian reuni. Oh iya, suamimu mana? Tidak ikutkah dia?” tawa ringan Tika mengiringi kalimatnya.
“Ikutlah. Dia tadi sedang mengantri di bagian antrian prasmanan putera. Eh, iya, si Sekar itu mau menikah diam-diam saja, ya. Tiba-tiba saja, undangannya sudah sampai ke alamat rumah kita.” ujar Sinta menyambung obrolan. “Iya, aku sampai kaget, Ta. Padahal aku tidak pernah tahu sejarahnya Sekar menaksir atau ditaksir seseorang.” tambah Tika.
“Tapi kudengar, suaminya Sekar ini mantan pacarnya dulu lho, Tik.” lanjut Sinta. “Ah, malah menggosip kamu. Kita kan tahu, dari dulu Sekar itu anak baik, lurus-lurus saja tingkahnya. Tak mungkinlah, Ta.” Tika tampak mengibaskan tangannya di hadapan Sinta.
“Iya juga, sih. Mungkin kabar itu cuma isu saja, ya. Yang pasti aku ikut senang dengan pernikahan Sekar. Dia dulu yang selalu mengingatkan kita kan, untuk jaga diri dan jaga hati sebelum dapat suami.” Sinta tersenyum ringan mengingat pertemanan mereka dulu.
“Iya. Tak perlulah kita mengurus kabar-kabar tidak jelas macam itu. Justru kita yang harus mendukung kehidupan baru teman kita itu. Sekar dulu selalu baik pada kita. Sudah seperti ibu kita sendiri, kan?” Barisan gigi putih Tika ikut muncul bersama tawa renyahnya.
“Setujulah aku. Eh, ambil makan, yuk! Sudah berdendang nih, perutku.” ajak Sinta. “Ayolah kalau begitu,” sambut Tika sambil mengikuti langkah Sinta menuju antrian prasmanan khusus puteri.
***
Alhamdulillah, resepsi hari ini lancar, ya.” ujar Sekar usai mandi dan berganti pakaian. Saat ini ia tengah berada di kediaman orang tuanya. Segala persiapan gedung dan perlengkapan harus ia dan suaminya persiapkan sendiri. Maklum saja, karena Sekar sendiri adalah anak tunggal. Ia lantas urung menyibukkan ayah-ibunya yang sudah berumur.
“Ini baru yang pertama. Kamu pasti belum lupa dengan resepsi di Lampung nanti, kan? Alhamdulillah, di sana adik-adik perempuanku sudah membantu mempersiapkan keperluan. Sehingga nanti kita tak perlu serepot ini.” Seorang pria yang kini duduk di sampingnya berucap menenangkan.
Sekar kini tidak duduk sendiri. Kebiasaan lama yang masih ia lakukan sampai sekarang pada setiap malamnya, kini bertambah seorang partisipan lagi. Menatap langit dari beranda kamar usai menunaikan sholat isya’ telah menjadi semacam kegemaran baginya sejak bertahun lalu. Sejak sebuah awal cerita yang panjang.
Demi melunasi kerinduan pada segala hal yang terpisah jauh darinya, Sekar memulai kebiasaan itu. Menatap langit yang luas di malam hari. Ia berharap dapat melihat suatu benda yang mampu menghibur hatinya. Benda itu. Benda langit yang sudah pasti sama seperti yang dilihat oleh orang-orang terkasihnya di manapun mereka berada. Rembulan.
Kini rembulan itu tak hanya punya satu penonton setia. Sekar telah bersama seseorang yang tampaknya akan menjadi teman setianya menatap sang dewi malam. “Kamu tidak pernah bosan, ya? Rembulan yang sama dengan yang dilihat orang-orang yang kita sayangi di mana saja.” Aji menyambung kalimatnya.
Sekar yang tak menyangka akan mendapat lawan bicara pun menoleh ke arah pemilik suara itu. “Kamu yakin akan tahan berlama-lama di sini bersamaku?”
Aji justru lebih menyamankan posisi duduknya. “Bukankah ini ajaranku dulu? Kamu pikir aku lupa?” Aji kini telah meletakkan kedua telapak tangannya di belakang kepala.
***
Seketika Sekar seperti terbawa ke masa lalu. Jelas ia pun masih ingat saat-saat itu. Protesnya yang terlontar berkali-kali, tampaknya tak mampu mengubah keadaan yang harus terjadi. Bangku sekolah menengah pertama yang baru saja diselesaikannya dan juga Aji, mesti menjadi penanda berpisahnya mereka dulu. Ya, saat itu Sekar merasa begitu tidak terima. Ia tidak dapat menyetujui sama sekali kepindahan yang diputuskan oleh Aji dan keluarganya.
Bapak Aji yang merupakan seorang petugas polisi menerima surat pindah tugas ke daerah Lampung. Terpaksalah mereka sekeluarga memboyong harta benda serta kehidupan yang telah mereka bangun sejak lama di Badung. Sama seperti ketika mereka pertama kali pindah ke Badung dari daerah asal mereka di Palangkaraya. Menjadi bagian dari lingkungan baru sudah jadi semacam tuntutan yang harus pandai mereka amalkan.
Senyum tipis seketika tersungging dari wajah Sekar begitu mendengar ucapan Aji barusan. “Kenapa? Pasti kita dulu tampak bodoh sekali, ya?” sambung Aji begitu mendapati senyuman aneh di wajah istrinya itu.
“Kamu ini. Kupikir lucu saja, apa yang terjadi pada kita dulu. Anak-anak SMP ingusan yang senang coba ini-itu. Tak tahu benar mana yang baik, mana yang bukan. Kerjanya hanya ikut-ikutan saja.” ujar Sekar sambil kembali menatap langit yang malam itu menyerupai lapangan bintang.  
“Kamu yakin itu sekedar ikut-ikutan? Hanya permainan yang tak berarti apa-apa?” usik Aji yang masih tetap asyik dengan posisi duduknya.
Sekar tak lantas menjawab pertanyaan itu. Pikirannya kini sibuk sendiri seperti mengamini sesuatu. Sekar jelas tak dapat memungkiri bahwa apa yang telah dilaluinya bersama Aji bukan sekedar pertemanan biasa. Mereka tumbuh bersama sejak kanak-kanak di tanah Badung. Keluarga mereka memang tidak dekat. Tempat tinggal pun berjauhan. Namun, kala itu mereka dipertemukan di sekolah yang sama. Hanya beda kelas saja. Aji kelas 2A, Sekar kelas 2B.
Sekar masih ingat jelas pertemuan pertama mereka di halaman belakang sekolah, ketika Aji kecil menolongnya yang tersungkur saat sedang mengejar seekor kupu-kupu. Dari sana, mulailah persahabatan mereka yang bagaikan kakak-beradik di masa kecil itu.
Mereka berdua sama-sama terbiasa mandiri sejak kecil. Orang tua mereka sibuk dengan urusan pekerjaan masing-masing. Jadilah Sekar dan Aji menjadi sahabat yang saling memperhatikan satu sama lain. Aji tak segan mengantar Sekar sepulang sekolah. Dulu, Aji kecil hanya berani mengantar sampai gerbang desa. Tentu karena hari sudah terlalu sore, sementara dia sendiri juga harus pulang ke rumahnya di desa seberang.
Sekar masih ingat betul kalimat sederhana yang amat lugu ketika mereka menghabiskan waktu istirahat di halaman belakang sekolah dulu. Tempat rahasia mereka berdua. “Kamu tahu tidak, apa cita-citaku?” Aji kecil berkata dengan semangatnya. Sekar kecil hanya menggelengkan kepalanya. “Aku ingin jadi polisi gagah macam bapakku. Setelah aku jadi polisi nanti, aku akan melindungi kamu, Sekar. Kamu akan kubela dari semua penjahat di muka bumi ini. Ingat saja kata-kataku ini, Sekar.” Aji kecil berseru lantang dengan telapak tangan yang ditepuk-tepukkannya ke dada.
Senyum Sekar kembali muncul kala terlintas lagi ucapan Aji kecil itu. Sekar sendiri ingat betul ketika ia begitu mempercayai kata-kata itu. Langsung membayangkan ketika kelak punya pelindung pribadi seorang polisi gagah, macam body guard saja. Janji masa kecil yang dulu sempat dikiranya telah pupus. Menguap begitu saja oleh jarak dan waktu yang memisahkan mereka setelah kepindahan Aji. Meski selama ini Sekar akui bahwa ia tak pernah bisa melupakan janji itu. Jauh di dalam hatinya, ia masih berharap janji itu sempat terwujud.
Ya, dulu janji itu seolah telah terlupakan begitu saja. Sekar sendiri hampir menyerah dengan perasaannya. Masa SMP yang juga mereka lewati bersama. Sebab kala itu tak banyak gedung sekolah yang bisa mereka masuki. Maka peluang bersekolah di tempat yang sama pun menjadi sangat besar bagi Aji dan Sekar yang baru lulus SD. Mereka masih akrab seperti di masa SD dulu. Bedanya, Sekar dan Aji kini sudah tumbuh menjadi sepasang remaja. Masa-masa pubertas, saat mereka makin penasaran dengan dunia yang tengah mereka pijaki.
Suatu hari ketika mereka tengah berjalan kaki bersama sepulang sekolah seperti biasanya, Sekar yang tampak berkutat dengan pikirannya sendiri memulai pembicaraan. “Aji, boleh aku tanya sesuatu?” Aji hanya menoleh, tentu saja, begitu kira-kira arti air mukanya. Sekar sedikit mengulur ucapannya, “Hmm… apa menurut kamu, kita ini… berpacaran?” Hening sejenak. “Seperti Kak Doni dan Kak Vera?” imbuh Sekar dengan menyebutkan sepasang kakak kelas yang belakangan menjadi bahan gosip satu sekolah.
Aji tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kini telah berdiri takzim menghadap Sekar yang ikut berhenti setelahnya. “Sekar, dengarkan aku. Aku tidak peduli orang menyebut kita berpacaran atau apalah. Yang pasti, kita akan tetap seperti ini sampai kapanpun. Kamu tetap orang yang istimewa untuk aku, Sekar.” Aji menutup jawabannya dengan tatapan yang langsung menjurus ke kedua mata Sekar. Pandangan yang begitu dalam, hingga membuat Sekar tak mampu berkata apa-apa lagi.
Dalam batinnya, Sekar bagai melayang ke langit tertinggi. Orang yang istimewa, predikat itu saja sepertinya sudah lebih dari cukup bagi Sekar. Memang mereka tak memerlukan deskripsi untuk sebuah hubungan. Hanya perlu saling berbagi dan melindungi satu sama lain. Itulah yang begitu mereka yakini saat itu, sekaligus begitu ingin mereka pertahankan sampai kapanpun.
Namun, waktu itu ternyata ada batasnya. Ketika hari perpisahan itu tiba, Aji harus mengabarkan kepergiannya dengan berat hati kepada Sekar. Air wajah Sekar berubah seketika. Berkali ia bertanya kenapa dan mengingatkan Aji akan janji-janji kebersamaan mereka. Namun, tak seorang pun di antara mereka yang bisa mengubah keadaan. Aji yang masih SMP tak sanggup menolak keputusan orang tuanya. Lagipula mereka sekeluarga telah sama-sama menyadari bahwa kepindahan tugas adalah suatu hal yang lumrah bagi seorang petugas polisi.
“Sekar, maafkan aku. Aku tak punya pilihan lain selain ikut bapak-ibuku pergi. Maafkan karena aku harus meninggalkan kamu sendiri di sini. Biarpun kita terpisah jauh, tapi kita tetap berada di bawah langit yang sama, Sekar. Kita masih bisa melihat rembulan yang sama di langit. Percayalah, kamu akan tetap jadi orang yang istimewa buatku.” Itulah kalimat perpisahan dari Aji untuk Sekar.
***
“Aku benar-benar tidak menyangka, ternyata kita bisa bertemu di perguruan tinggi yang sama. Kupikir kamu sudah menjadi polisi berpangkat-pangkat di Lampung sana. Sepeti cita-citamu dulu.” Sekar yang masih menikmati udara malam Badung yang sejuk dari beranda kamarnya, kembali membuka pembicaraan.
Mendengar kalimat itu, Aji tersenyum tipis. “Itu cita-citaku waktu kecil dulu. Masih zaman SD. Masih mungkin aku berubah pikiran, bukan? Entah kenapa, aku hanya ingin belajar lebih banyak di perguruan tinggi, mencari bidang apa yang sebenarnya kugemari. Jadilah aku kuliah di sana.” Dalam batinnya, Aji sendiri tahu, bahwa hanya ada satu alasan atas putusnya cita-cita menjadi polisi itu.
Aji yang baru saja lulus SMA dulu menolak anjuran bapaknya untuk melanjutkan pendidikan ke akademi kepolisian. Ada satu alasan utama yang tidak ia utarakan pada bapaknya waktu itu. Karena setiap kali membayangkan menjadi seorang polisi, ia langsung teringat pada janji itu. Janji masa kecilnya di halaman belakang sekolah. Janji untuk melindungi Sekar. Dipikirnya, untuk apa lagi melanjutkan cita-cita masa kecil itu. Toh, orang yang begitu ingin dilindunginya tidak berada di dekatnya. Jadilah Aji banting setir dengan dalih mencari jati diri, merantau di sebuah kota di Jawa Barat. Tak disangka, ia justru bertemu dengan orang yang begitu ingin dijumpainya di kota tersebut. Tanpa direncanakan sebelumnya.
“Kamu tahu, sebenarnya aku sudah tahu kamu kuliah di sana sejak tahun pertamaku. Waktu itu, aku kenal dengan salah seorang teman yang ternyata kuliah di fakultas yang sama denganmu. Ia sedang memperlihatkan padaku foto-foto kegiatan konferensi yang ia ikuti. Dan tanpa sengaja, aku lihat wajah yang seperti kukenal di sana. Lantas aku bertanya pada temanku itu. Siapa gadis berkerudung hijau dalam salah satu foto itu. Dari sanalah aku tahu bahwa itu kamu. Setelah kukonfirmasi mengenai asal daerahmu, aku pun yakin bahwa kita tidak lagi terpisah jauh, Sekar. Padahal aku sempat tidak percaya bahwa itu kamu. Karena dulu kan kamu tidak berkerudung.” ujar Aji yang masih betah duduk di sampingnya.
Sekar tampak begitu terkejut mendengar pengakuan itu. “Lalu, kenapa kamu tidak mencoba mengabariku? Malah setelah lulus kamu baru berani menghubungiku, sambil melamar pula.” Sekar jadi teringat ketika 6 bulan lalu, dari salah seorang kakak senior ia memperoleh kabar bahwa ada tawaran dari seorang pria yang ingin mengenalnya lebih jauh, dan meminangnya menjadi seorang istri. Bukan main terkejutnya ia waktu itu. Bertanya-tanyalah ia siapa gerangan pria yang menginginkannya menjadi pendamping hidup. Makin terkejut lagi ketika akhirnya ia tahu bahwa pria itu adalah seseorang yang punya cerita tersendiri bersamanya. Hanya saja, kini orang itu telah berubah menjadi pria yang dewasa dan matang. Tampak paham dengan tindakan yang diambilnya.
“Sebenarnya, dulu aku sempat ingin menghubungimu. Tapi kuurungkan niatku. Akhirnya, aku mulai menghubungimu dengan bantuan seseorang setelah aku merasa mantap dengan keputusanku. Lebih baik seperti ini, bukan?” terang Aji yang menyadari keputusannya yang dirasa tepat.
Sebenarnya saat itu Aji begitu takut belum bisa mengendalikan diri. Senangnya bukan main ketika ia tahu Sekar juga berada di satu atap perguruan tinggi dengannya. Namun, ia tidak ingin merusak apa yang telah dijaganya selama ini dengan baik. Sebentuk ruang di hati yang sengaja dikosongkannya demi menjemput seorang yang akan bertahta selamanya di sana. Dan sejujurnya, ia begitu tahu siapa yang diinginkannya untuk menduduki singgasana itu. Namun apa daya. Mahasiswa tanggung yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan, belum terhitung mampu mengambil tanggung jawab atas hidup seseorang. Setidaknya itulah yang dirasakannya waktu itu.
Ia pun memilih untuk tetap menjaga semuanya seperti sedia kala. Mengikuti apa yang hendak diberikan takdir padanya. Menunggu hingga waktu yang tepat tiba. Berharap Sekar yang tak pernah menyadari keberadaannya, juga bersedia menanti jemputannya dengan sabar. Mencegah tumbuhnya fitnah dan interaksi bodoh yang miskin manfaat, seperti yang nekat mereka jalani dulu semasa remaja. Karena Aji hanya berusaha mengendalikan hatinya.
“Tapi, aku senang. Sekarang, aku bisa berakhir bersama kamu seperti ini. Kamu yang lebih baik. Sekar yang sekarang sudah bukan anak kecil lagi. Persis seperti apa yang aku cita-citakan. Melindungi kamu kelak. Meskipun aku bukan polisi, iya kan?” lelucon kecil mengiringi wajah Aji yang kini menatap Sekar.
Rembulan yang malam itu sempurna bundar pun, puas mereka tatap lekat sepanjang malam. Agenda menatap sang dewi malam yang kini lebih hangat dengan genggaman tangan erat dari sang kekasih sejati. Sekar dan Aji, cinta mereka kini kembali dengan cara yang baik.

No comments:

Post a Comment